31

8.5K 581 72
                                    

Sebulan berlalu semenjak kejadian kelam itu. Gue udah balik ke unit Sean. Dan Sean, dia lagi cari rumah untuk kita tinggalin berdua. Gue punya trauma sama unit Sean, apalagi meja di dapur yang buat gue harus kehilangan janin. Setiap ngeliat meja itu, perut gue ngerasa mual. Pernah dengar kalau orang yang di bully itu, kalau ketemu sama pembullynya selalu menghindar dan gak bisa makan apapun? Walau dia maksa makan, makanan itu akan keluar lagi dari mulutnya. Mungkin, sekarang gue lagi ngerasain kayak gitu. Apalagi, kalau liat dapur unit Sean, perasaan sedih gue kembali lagi.

Gue harus sabar. Sean lagi nyari rumah untuk kita berdua tempatin. Rumah yang cocok buat kita berdua. Pilihannya banyak, dan gue di suruh milih ketika Sean dapat beberapa rumah yang di jual. Sean juga memilih buat jual unitnya, karena menyimpan kenangan buruk.

"Gimana? Ada yang cocok?" tanya Sean yang ngeliat gue lagi milih-milih rumah lewat gambar yang di kasihin sama Sean.

Gue menunjuk satu rumah yang keliatan asri karena ada taman dan pepohonannya, "Ini dimana?"

"Itu? Di Puri Jimbaran dekat ancol. Mau disana?"

Gue berfikir ulang, "Kalau tsunami gimana? Nanti gak sempet kabur udah ke seret arus duluan,"

Sean terkekeh mendengar omongan gue. Tapi gue serius. Waktu gue di Jogja, gue sempat mimpi Merapi meletus sampai tsunami. Waktu sebelum nikah, gue juga pernah kebangun tengah malam karena suara petir yang menggelegar. Gue gak bisa tidur semalaman karena takut tsunami. Maklum aja, waktu itu lagi ada bencana tsunami di daerah, entah dimana, gue lupa. Udah lama beritanya. Makanya, gue sedikit takut sama pantai. Dan terutama Pantai Selatan di Jawa. Rumor tentang ke pantai itu gak di bolehin pakai baju hijau atau merah, selalu buat gue takut. Mungkin karena cerita mistis tentang Nyi Roro Kidul. Gue suka sebenarnya cerita kayak gitu. Tapi buat gue parnoan juga.

"Jadi? Mau dimana?" tanya Sean lagi yang ngeliat gue melamun.

Gue menggigit bibir bawah, "Aku mau disini, tapi.. Kalau dekat pantai, aku urungin lagi,"

Gambar rumah yang Sean kasih ke gue, itu daerahnya dekat sama kantor Sean. Dekat juga sama apartemen ini. Jadi, Sean gak perlu ke jebak macet kalau berangkat kerja.

Sean mengusap rambut gue, "Kan dua lantai. Kalau ada tsunami pun, ada peringatan dari BMKG. Gak usah terlalu takut. Kalau mau rumah ini, aku ambil rumah ini. Lagian, kalau emang udah waktunya mati, siapa yang bisa lari dari kematian? Gimana kita mati juga gak ada yang tau. Jadi gak usah berpikir yang gak gak dulu,"

Gue beralih menatap Sean, "Gak apa-apa?" Sean mengangguk memastikan baik letak rumah yang dekat pantai, sampai harga rumah, bukan masalah buat Sean. Karena Sean udah menyetujui rumah yang gue mau, akhirnya Sean menghubungi Egi buat ngambil rumah itu dengan sedikit tawar menawar. Karena biasanya, perempuan ahli dalam tawar menawar.

Sean menutup panggilannya. Sean banyak berubah. Kalau dulu, dia hubungin atau di hubungin orang, pasti menjauh dari gue. Tapi sekarang, dia gak pernah menjauh dari gue kalau lagi menghubungi siapapun.

"Kita perlu packing barang?"

Sean menggeleng, "Gak perlu. Aku beli rumah itu beserta isinya. Jadi, unit ini di jual beserta isinya. Kita cuma bawa barang-barang yang penting,"

"Bi Sum dibawa?" tanya gue dengan polos. Jujur, gue gak mau ninggalin Bi Sum. Beliau yang udah nemenin gue dari awal gue dateng ke unit Sean.

"Maunya gimana? Bi Sum dibawa?"

Gue mengangguk pasti, "Mau! Tapi, Bi Sum mau gak? Kan ada anaknya disini,"

"Kita omongin lagi nanti," Sean perbaikin selimut gue dan mengambil gambar iklan rumah dari tangan gue. Dia meletakkan di meja dekat ranjang, dan berbalik berhadapan lagi sama gue, "Udah malam. Kamu harus tidur," gue mengangguk patuh. Gue memeluk tubuh kekar Sean, dan Sean mengusap punggung gue dengan lembut. Entah sejak kapan, udah jadi kebiasaan sebelum tidur, Sean ngusap punggung gue. Dan entah sejak kapan, gue tidur dengan posisi berhadapan dengan dia. Bahkan meluk tubuh dia.

married without love ✔Where stories live. Discover now