18

8.8K 580 54
                                    

Sean masuk ke kamar inap gue. Dan kebetulan, mama Sean juga lagi ada di kamar gue, tepatnya lagi ngobrol sama gue. Setelah kedatangan Sean, gue dan mama berhenti ngobrol, "Apa saya ganggu?" kata Sean ragu.

Gue sedikit memicingkan mata. Di sudut bibir Sean berdarah dan lebam sedikit, "Ya Allah, nak. Kenapa muka kamu?" mama Sean mendekat dibantu perawat yang dorongin kursi roda mama.

Sean tersenyum lembut ke mama, "Gak apa, ma. Maaf ma, bisa tinggalin kami berdua?"

Mama mengangguk. Sejenak, mama menoleh kearah gue, "Mama tinggal ya," gue mengangguk.

Sean duduk di kursi samping ranjang gue dan gue sedikit menjauh. Masih ada rasa takut, walau dokter Chandra jelasin, kalau Sean ngelakuin hal keji itu tanpa sadar. Hati kecil gue udah memaafkan, tapi kalau rasa takut, pastinya masih ada. Kejadian malam itu terus terulang di kepala gue.

Sean tersenyum miris, "Kamu takut sama saya?" gue mengangguk ragu, "Dengar, Yoanna. Saya melakukan itu tidak sengaja—"

"Karena kakak mabuk, kan?"

Sean mengangguk lemah, "Ya. Saya mabuk. Saya tau, kalau saya salah. Biasanya, kalau saya mabuk, Chandra yang selalu nanganin saya. Tapi, malam itu.. Malam sialan itu.. Chandra fikir kalau kamu bisa mengurusi saya menggantikan dia. Tapi, saya membuat kamu seperti ini. Saya minta maaf—"

"Saya udah maafin kakak. Saya tau, kakak ngelakuin itu karena gak sadar. Tapi saya mohon, kak. Jangan berdekatan dulu sama saya. Karena kejadian semalam masih buat saya takut," Sean memundurkan kursinya menjauhi gue.

"Saya paham. Terima kasih sudah memaafkan saya. Tapi kalau ada yang tumbuh dalam rahim kamu, kita harus perbaiki hubungan ini, Yoanna," pinta Sean dengan nada lesunya.

Gue bingung harus jawab apa. Karena gue juga shock, gue baru inget kalau Sean memuntahkan benihnya di rahim gue. Apa nanti ada yang tumbuh di rahim gue. Sontak gue bawa arah pandangan gue ke perut. Dan gerakan reflek, gue mengusap memutar di perut yang di lapisi baju.

"Kita ngelakuin hal itu cuma sekali. Kemungkinannya kecil, janin tumbuh di rahim kamu. Tapi, bukan hal mustahil juga. Jadi, saya harap, kalau benar ada janin yang tumbuh di rahim kamu, kita perbaiki hubungan kita,"

Gue masih menatap perut rata gue, "Perbaiki gimana maksud kakak?"

"Belajar untuk menjadi keluarga yang harmonis. Belajar untuk menjadi sepasang suami istri yang ideal. Bukan hanya di mata publik, tapi juga di diri kita masing-masing," ucap Sean dengan lugas dan penuh kepastian.

"Tapi saya gak tau gimana caranya, kak,"

Sean tersenyum lembut, "Saya juga gak tau. Saya udah bilang, kalau kita sama-sama belajar," gue berfikir sejenak, sebelum akhirnya gue mengangguk menuruti kata-kata Sean.

Jujur aja, gue gak mau jadi janda di saat gue punya anak. Kalau kemarin masih perawan dan dapat gelar janda, gue masih mau. Tapi kalau urusan anak..gue gak mau anak gue jadi kehilangan peranan ayah di hidupnya. Gue mau ngasih kebahagiaan buat anak gue. Gak kayak hidup gue yang terbilang cukup miris, walau ada yang lebih miris dari gue. Dan gue gak mau menyesali kalau gue ambil opsi gue cerai dari Sean.

"Setelah kamu sehat, kita pulang," gue membelalakkan mata menatap Sean. Seakan tau apa yang gue maksud, Sean dengan cepat ngomong ke gue, "Kamu di nempatin kamar saya. Biar saya tidur di sofa yang ada di kamar,"

"K-Kenapa gak di kamar yang lain?" tanya gue ragu.

"Karena kita udah sepakat buat satu kamar. Kamu tenang aja. Saya janji, kejadian semalam gak akan terulang,"

Gue mengangguk lagi, "A-Apa saya boleh menginap disini satu malam?" awalnya gue ragu buat minta izin kayak gini sama Sean. Tapi gue belum siap satu kamar sama Sean.

married without love ✔Where stories live. Discover now