25

8.8K 577 49
                                    

Beberapa orang bilang, kalau anak kedua itu perempuan dan memiliki dua saudara laki-laki (kakak dan adik laki-laki), itu ibaratkan 'Sendang Diapit Pancuran'. Anak keduanya itu mendatangkan rejeki yang melimpah untuk keluarganya. Mama juga pernah bilang ke gue, dan gak sengaja gue dengar, 'Dulu pas hamil Yoanna, Papa-nya gak setuju. Minta saya gugurin Yoanna. Tapi pas Yoanna lahir, rejeki Papa-nya ngalir terus. Terbukti sampai bisa beli rumah yang lebih luas, kerjaannya makin lancar, bisa kuliahin anak-anaknya'.

Memang gue akuin, Papa lebih sayang sama gue ketimbang kakak adik gue. Tapi Papa gue lebih bangga sama bang Wawan dan jadi bandingan buat gue. Mama gak usah di tanya lah ya, beliau suka banget banggain bang Wawan ke temannya. Tapi giliran temannya nanyain tentang gue, Mama bungkam seribu kata.

Itu istilah jawa bagi yang memiliki anak perempuan yang kakak dan adiknya merupakan laki-laki. Mbah Puteri juga ngomong gitu. Bahkan sampai bawa rejeki buat kakak adik gue. Terbukti, kakak gue dapat kerjaan yang super duper layak yang bisa membuat bangga keluarga.

Tapi kok gue ngerasa, rejeki gak dateng ke gue? Keluarga gue yang dapat rejekinya, tapi gue masih belum dapet kerja sampai gue nikah. Tapi Allah berkata lain. Allah mengirim Sean buat gue. Bahkan, rejeki gue lebih di atas rata-rata keluarga gue. Bukan sombong, tapi gue bersyukur. Sekarang bukti nyata istilah jawa itu gue rasain semenjak nikah sama Sean. Dari mobil pribadi yang di beliin Sean, sampai unit di Jeju yang di beliin Sean atas nama gue. Bahkan orangtua gue di bantu finansialnya sama Sean.

Pagi ini, gue berjalan di pesisir pantai sendirian. Sean masih larut di mimpinya. Gue gak mau ganggu dia, karena semalam kita pulang larut dari salah satu objek wisata di Jeju. Kita di Jeju udah enam hari. Susah buat nemuin makanan halal di Jeju. Yang halal cuma seafood. Itu pun kalau ngolahnya gak pakai alkohol. Dan akhir-akhir ini, gue mual sama seafood. Tengah malam tadi juga Sean muntah-muntah. Gue harus terbangun dan mijat tengkuk leher Sean. Salah makan mungkin.

Gue terduduk di pesisir pantai yang gak terjamah air. Menekuk lutut dan menyandarkan dagu di atas lutus. Menerawang tetang fikiran gue yang menari-nari. Ada beberapa hal yang gue fikirin. Salah satunya, bagaimana kelanjutan pernikahan gue sama Sean? Kalau orang bilang, pria itu di uji ketika sukses. Apa Sean gak akan ngeliat perempuan lain, yang mungkin lebih cantik, lebih anggun dan lebih terhormat dari gue? Banyak anak perempuan para pejabat yang coba buat mendekati Sean. Semenjak gue tau siapa Sean, gue selalu cari informasi. Dan gue tau beberapa anak pejabat mendekati Sean itu dari beberapa artikel.

"Hei," sapa seseorang yang tanpa izin duduk disamping gue. Siapa lagi kalau bukan Sean.

Gue ngelempar senyum, "Hei. Udah bangun?"

Sean mengangguk, "Kenapa keluar gak ngajak-ngajak?"

"Kasihan kamu-nya semalam abis muntah-muntah. Gak tega buat bangunin,"

Sean mengangguk mengerti. Gue ini, tipe orang yang jarang bangun siang. Karena udah jadi kebiasaan dari kecil, tiap subuh dibangunin buat shalat subuh. Dan jadi kebiasaan dengan berjalannya waktu.

Kita berdua sama-sama menikmati matahari terbit dalam keheningan. Kecanggungan masih ada diantara kita berdua. Gue meneguk saliva dengan susah payah kalau mau ngomong sama Sean. Terlalu sulit. Kadang, gue takut kalau gue salah kata. Makanya gue gak terlalu banyak omong.

"Mau sarapan?" gue bernafas lega ketika Sean memulai pembicaraan.

"Kamu baik-baik aja? Udah bisa makan?" Sean mengangguk, "Gimana kalau hari ini masak aja? Aku udah muak sama makanan laut,"

Sean terkekeh dengan menyipitkan matanya, "Kamu bisa masak? Jangan bilang telur dadar lagi,"

Gue mengangkat bahu acuh, "Aku bisanya itu. Kalau ramen, kan gak tau halal atau gak. Soalnya samyang dulu juga ragu halal atau gak. Baru-baru ini aja di sertifikasi halal," gue menjelaskan. Karena saat gue cobain samyang, belum ada sertifikat halalnya. Banyak yang bilang pakai minyak babi dan lain-lain. Sebelumnya gue gak tau, jadi gak akan haram di tubuh gue karena gue gak tau. Pas udah tau samyang belum ada sertifikat halal, gue gak berani konsumsi lagi, dan akhirnya keluar juga sertifikasi halalnya.

"Sayang ya, gak bawa indomie dari rumah,"

Kali ini gue yang terkekeh membenarkan kata Sean, "Kalau aja kita bawa indomie, gak akan pusing soal makan disini,"

"Mau beli makanan kaleng aja ragu. Takut daging babi," Sean yang menambahkan. Sean sedikit ada kemajuan. Dia bisa menghibur gue dengan kata-katanya. Lima hari kemarin kita jalan ke tempat wisata, gak jarang gue di buat ketawa sama candaan yang di lontarkan Sean. Walau ada kecanggungan, tapi kalau udah mulai obrolan, ya jadi biasa aja.

"Disini gak ada bakso Pak Udin, ya." gue mengeluh karena gue mendadak rindu bakso Pak Udin.

"Kamu mau?" gue mengangguk, "Mau pulang cepat ke Indonesia?"

Gue menggelengkan kepala, "Masih nyaman disini. Gak terganggu sama hiruk pikuk Jakarta,"

Keheningan kembali melanda kita berdua. Tapi kalimat Sean, membuat jantung gue berdetak lima kali lebih cepat, "Irene hubungin aku sebelum aku nyusul kamu kesini. Irene ngancam bunuh diri kalau aku gak segera pulang ke Indonesia,"

Gue menoleh ke Sean, "Kamu mau pulang?"

"Kalau kamu masih nyaman disini, lebih baik kita disini. Aku udah hubungin Chandra buat jaga Irene,"

Gue diam sesaat. Bukan gue, tetapi kita. Kita sama-sama terdiam sesaat. Gue memikirkan apa jalan yang akan gue ambil. Gue memikirkan matang-matang dan akhirnya gue mengambil keputusan, "Ayo, kita pulang,"

Sean menatap gue lekat. Tapi pandangan gue tertuju ke hamparan laut yang luas di depan gue, "Yoanna, aku gak mau kamu terpaksa mengambil keputusan ini,"

"Aku gak terpaksa, Sean. Kamu harus selesaikan masalah kamu sama Irene. Semakin kamu lama menyelesaikan, semakin kamu menggantungkan harapan buat Irene," mata gue memburam karena air mata yang membendung, "Kamu itu laki-laki. Kamu harus bisa mengambil keputusan. Aku atau Irene. Kalau kamu lebih memilih aku, tolong selesaikan masalah kamu dengan Irene,"

"Aku akan selesaikan. Segera. Tapi, apa harus kita memotong hari bulan madu kita?"

Gue tersenyum dan memainkan pasir dengan jari telunjuk, "Kita masih punya banyak waktu. Kalau kamu memilih aku, kita masih punya banyak waktu sampai rambut kamu dan rambut aku memutih,"

Sean mengambil tangan gue dan menggenggamnya erat, "Aku memilih kamu. Bagaimanapun, kamu istri aku,"

"Istri itu cuma status. Hati kamu yang gak bisa di bohongi," gue membuang muka menyembunyikan airmata yang menyeruak keluar dan mengalir di pipi.

Sean menjulurkan tangannya dan memegang kedua sisi wajah gue buat menghadap dia. Sean menghapus airmata gue dengan ibu jarinya, "Aku harus bilang berapa kali, Yoanna? Bagaimana biar kamu percaya seutuhnya sama aku? Katakan!"

Gue menunduk gak berani melihat wajahnya yang sudah mendung. Matanya terlihat sendu, dan gue gak tega. Gue gak mau luluh karena matanya, "Kita udah bahas ini berkali-kali, Yoanna. Katakan, bagaimana caranya supaya kamu percaya sama aku?"

Gue mengangkat wajah dan menatapnya dalam-dalam, "Selesaikan masalah kamu dengan Irene. Aku gak mau, suatu saat Irene membawa masalah baru lagi dalam rumah tangga kita. Jangan membuat dia berharap," gue gak bisa nahan buat gak nangis. Airmata gue terjun bebas, "Aku emang egois, Sean! Aku cewek yang jahat! Aku hanya sedang mempertahankan milik aku!" gue menggigit bibir bawah buat mencegah airmata kembali keluar.

"Kita pulang!" Sean berwajah tegas. Rahangnya terlihat mengeras, "Hari ini. Aku akan hubungin Egi menyiapkan jet pribadi beserta awaknya untuk menjemput kita hari ini. Bereskan barang kamu, segera!" Sean beranjak dan meninggalkan gue sendirian.

Gue menangis terisak meratapi kebodohan gue dalam mengambil tindakan yang egois. Ya. Bilang gue egois. Gue tipe perempuan yang gak suka kalau Sean menggantungkan harapan ke perempuan lain. Gue merasa jahat. Dari menolak Irene tinggak di unit Sean, sekarang gue minta Sean untuk mempertegas hubungannya dengan Irene.

'Gimana kalau Irene sampai bunuh diri? Apa itu salah gue?' fikiran negatif mulai menghantui gue. Fikiran-fikiran negatif itu yang membuat gue menutup mulut dan mencegah sesuatu keluar dari mulut gue akibat gejolak di perut. Gue berlari ke tepian, lebih tepatnya ke semak-semak yang tidak terlalu lebat akan tumbuhan. Gue memuntahkan isi perut gue, walau hanya cairan bening yang keluar. Bukan hal yang lumrah, kalau gue sedang kepikiran sesuatu, akan berdampak pada maag gue. Meningkat drastis dan bisa menyebabkan muntah-muntah. Maka dari itu, gue gak bisa jauh-jauh dari obat maag.

Sampai gak ada yang di muntahkan lagi, gue mengelap sudut-sudut bibir dan airmata gue. Dengan langkah lemah, gue balik ke unit buat menyiapkan segala hal untuk kepulangan gue ke Indonesia. Berharap, gak akan ada hal buruk yang terjadi.

married without love ✔Where stories live. Discover now