Sean membantu gue buat naik satu persatu tangga yang ada di gunung Halla. Gue yang gak biasa mendaki, udah kayak ikan di darat. Nyari oksigen sebanyak mungkin. Untungnya, udara di gunung Halla sejuk, jadi gak perlu ngeluarin banyak keringat. Tadinya, gue udah cukup ngeliat gunung Halla dari kaki gunung, tapi Sean penasaran. Gue di paksa buat ikut dia sampai ke puncak. Sifatnya yang suka menyuruh mulai kambuh dan buat gue gak bisa nolak. Bodyguardnya juga diajak mendaki.
Gue istirahat pegangin tali yang ada disisi-sisi tangga, "Gak kuat, Sean. Capek,"
"Anggota MAPALA selalu bilang, kita capek gak akan sia-sia kalau udah sampai puncak. Semua terbayar sama keindahan pemandangan di puncak gunung," walau Sean lebih tua dari gue, tapi semangat dia kayak orang yang lebih muda dari gue.
Gue menunjuk rest area. Cuma sebatas lesehan kayu, "Aku tunggu disana. Kamu keatas sendiri aja. Aku benar-benar gak kuat, Sean."
"Kita istirahat dulu," Sean menarik tangan gue buat duduk di rest area itu.
Gue rebahin badan gue di lesehan. Gue ngeliat bodyguard Sean yang bahkan gak kekurangan oksigen mendaki sejauh ini. Benar-benar bodyguard profesional.
Sean mendekat ke salah satu bodyguardnya yang membawa tas berisi keperluan gue sama Sean. Kayak makanan, minuman, dan snack ringan. Sean berbincang sebentar sama satu bodyguard yang gue tau namanya William —yang bawain tas berisikan makanan dan minuman. Sedangkan yang satu lagi bertugas siaga kalau ada apa-apa, dia bernama Martin. Gak kayak bodyguard biasa, tubuh mereka kekar bak pemain tinju. Mungkin, sedikit mirip sama Dwayne Johnson. Mukanya sangar juga. Beberapa pengunjung gunung Halla memilih menjauh.
Sean ngasih minuman isotonik ke gue yang sempet di beli sebelum ke gunung Halla, "Minum," suruhnya. Gue menurutinya dan langsung menegak setengah dari isi botol.
"Abis ini kemana? Jangan gunung lagi. Aku gak kuat," muka gue mungkin udah nampilin ekspresi ogah-ogahan ngelanjutin jalan-jalannya. Mau cepet rebah di tempat tidur.
Sean meminum minuman bekas gue dan langsung di habisin dalam sekejap mata, "Kita ke dealer. Gak mungkin kita sewa mobil terus selama disini. Jadi, kita beli satu mobil buat di simpan bersama penginapan di Jeju. Aset kalau nanti kita liburan lagi ke Jeju,"
Enak ya kalau orang kaya ngomong. Beli mobil kayak beli pilus garda. Apa yang menurut gue berlebihan, di mata Sean biasa aja, "Kenapa harus? Mubazir kan kalau harus beli mobil tapi gak di pakai,"
Sean menatap tajam ke gue, "Diam dan ikuti aja apa yang aku bilang,"
Gue menegang kaku. Sean marah. Tapi gue cuma ingatin dia, buat gak terlalu boros. Tapi mungkin gue terlalu bawel. Gue gak ada hak buat ngelarang Sean buat beli ini itu. Toh, uangnya pun punya dia.
"Maaf," Sean bergumam pelan. Gue mengangkat wajar dan liat ekspresi menyesalnya Sean, "Aku gak bisa beliin kamu banyak hal di Indonesia. Karena aku gak mau sampai orangtua kamu tau segala fasilitas yang aku kasih buat kamu. Jadi, soal aku beliin kamu unit di Jeju, ini rahasia kita berdua. Ok?"
Gue mengangguk mengerti, "Kenapa sampai di rahasiain sama orangtuaku?"
"Karena aku gak mau kamu menjual semua properti yang aku kasih buat nurutin kemauan orangtua kamu,"
Gue susah menelan saliva. Emang benar, kalau orangtua gue tau, gue di kasih banyak hal sama Sean, pasti mereka bisa manfaatin Sean, "Gaji lima juta kamu cuma embel-embel. Aku masih bisa ngasih kamu kayak jatah ibu pejabat. Tapi aku gak mau, Yoanna,"
"Apa sebelumnya kamu udah tau siapa aku?"
Sean mengangguk jujur, "Siapa yang mau menerima perjodohan kalau gak tau latar belakang calonnya?"
YOU ARE READING
married without love ✔
Rastgele[Beberapa chapter mengandung unsur DEWASA. Bijaklah dalam membaca. Anak di bawah umur, tolong urungkan niatnya untuk membaca, karena sudah diperingatkan mengandung unsur DEWASA.] "Jika Allah memang mengatur bahwa kamu jodohku, Allah pasti meluluhkan...