30

8.9K 589 68
                                    

Lima hari lamanya, gue di rawat di rumah sakit. Sebenarnya, gue gak terlalu suka lama-lama di rumah sakit. Tapi karena perut gue terkadang keram pasca keguguran, dokter kandungan menyarankan buat lebih lama di rawatnya. Dan hari ini, habis kesabaran gue. Gue meminta Sean buat pulang. Akhirnya, dokter ngizinin dengan catatan, selalu dalam pengawasan. Dan gue minta ke Sean, buat sementara gue tinggal di rumah Mama. Sean menyetujuinya langsung. Sean juga nginap di rumah Mama buat nemenin gue sepulang kerja.

Mama yang udah di kabarin sebelumnya, nyiapin kamar bang Wawan buat gue tempatin. Kebetulan, ranjangnya bang Wawan berukuran king size, jadi cukup untuk dua orang.

Gue di bawa pakai kursi roda, karena perut gue masih belum kuat buat berjalan. Sedikit-sedikit, gue kadang jalan pelan buat biasain perut gue dengan awasan dari Sean. Dia mengawasin gue ketika gue latihan berjalan.

Sebelum gue pulang ke rumah, gue pamitan sama Mama Sean. Kesehatan beliau berangsur membaik. Beliau nyemangatin gue, dan buat gue sedikit bersedih lagi. Tapi gak sampai nangis, kok. Sean ngomong sama gue, jangan terlalu di bawa pikiran, karena bisa ngebahayain psikis gue. Sebisa mungkin, Sean terus menghibur gue, dan buat gue sedikit lupa insiden keguguran itu.

Sampai di rumah, supir yang di sewa Sean membawa kursi roda yang di taruh di bagasi mobil, dan gue di bopong sama Sean, di dudukkan di kursi roda secara lembut. Papa yang dorong kursi roda buat ke kamar, sedangkan Sean mengangkat koper berisi pakaian gue selama di rumah Mama.

Sean memasang AC di ruang tengah rumah Mama biar gue berasa nyaman. Karena gue gak begitu suka panas. Untuk urusan listrik, Sean yang menanggung biayanya. Selama gue tinggal di rumah Mama, Sean yang menanggung biaya listriknya.

Kursi roda gue udah berhenti di depan ranjang, "Mau baring?" tanya Sean dengan berjongkok di depan gue.

Gue menggeleng pelan, "Aku mau duduk aja. Capek dari kemarin baring terus," Sean mengangguk patuh. Dia duduk di pinggiran ranjang.

Mama akhirnya bicara, "Mau makan buah?" gue menggeleng lagi, "Mau makan soto? Mama bikin soto, lho,"

"Gak usah. Aku gak apa,"

Mama menghembuskan nafasnya pelan, "Krystal nanti mau kesini, Na. Tadi dia kabarin kampusnya buat ambil cuti lebih lama," kali ini Papa yang ngomong, dan gue cuma mengangguk menanggapinya.

Akhirnya, Mama sama Papa memilih buat keluar dari kamar. Sebelum keluar, Mama bilang ke Sean, kalau bajunya di susun di lemari, karena lemarinya udah Mama kosongin. Bang Wawan emang datang ke rumah sakit, tapi cuma dua hari. Dia harus balik kerja, dan kejar target buat nikah.

"Yoanna?"

Gue mengangkat kepala dan menatap Sean lekat, "Hm?"

"Besok.. Mau jalan-jalan?"

Gue melempar senyum ke Sean, "Aku masih belum bisa jalan. Kasian kamu, kalau harus dorong kursi roda,"

"Ya udah. Besok, pagi-pagi, kita keliling aja, ya," gue mengangguk. Udara pagi emang selalu segar dibanding siang hari yang udah banyak polusi, "Kamu gak mau tidur?"

Gue mengulurkan kedua tangan, "Gendong," Sean tersenyum dan meraih tubuh gue. Dibaringkannya tubuh gue secara perlahan supaya gue gak ngerasain sakit.

Posisi gue dempet sama dinding, "Kalau kamu di pinggir, nanti jatuh. Gak apa kan, deket dinding? Apa mau tuker tempat?" gue menggeleng, mencoba memejamkan mata. Satu hal yang gak gue suka dari rumah. Selain keadaan keluarga gue, gue juga gak suka kamar. Karena tiap kamar di rumah gue gak ada jendelanya. Terlalu engap. Panas. Gak ada matahari masuk. Berasa rumah yang nempatin para vampire. Berkali-kali gue minta buat di pasang jendela supaya sinar matahari masuk, tapi gak pernah di gubris sama Papa.

married without love ✔Where stories live. Discover now