14

8.9K 618 79
                                    

Setelah keluar dari mobil mewah Sean yang di kendarain sama supir, Sean ngerangkul pinggang gue dengan posesif. Gue gak tau harus gimana, karena seumur-umur, gue gak pernah di rangkul bagian pinggang. Gue cuma ikutin Sean jalan ke ballroom hotel bintang lima mewah di Jakarta. Gue coba buat jadi cewek yang ga keliatan kampungan. Jadi gue gak ngeliatin bangunan dan indahnya ballroom hotel itu. Gue cuma liat orang-orang yang hadir di pesta itu dengan pakaian yang gak kalah terbuka dari gue.

Pestanya berlangsung secara privat. Jadi, gak heran kalau gak ada wartawan satu pun yang ngeliput para tamu. Cuma, saat gue jalan bersebelahan sama Sean, beberapa orang ambil gambar gue yang lagi disebelah Sean. Gue gak tau niatnya buat apaan. Mau di jual ke wartawan? Media cuma tau kalau Sean udah nikah. Tapi siapa istrinya dan bentuk istrinya belum diketahuin sama publik. Intinya, gue masih istri rahasia.

Sean bisikkin gue, "Jangan tegang," gue mengangguk kaku. Gimana gue gak tegang, gue berhadapan sama dosen penguji pendadaran aja udah gemetaran kaki gue. Apalagi sama petinggi penting kayak koleganya Sean. Salah kata dikit, bisa jadi boomerang.

Salah satu koleganya yang gue perkirakan umurnya setengah abad mendekat kearah gue sama Sean. Dengan kumis dan janggut yang udah berubah. Tapi cewek disampingnya masih muda. Kalau suudzon, gue fikir cewek itu selingkuhannya. Tau kan, pengacar kondang yang beristri tapi cewek-cewek cantik mau deketin dia? Ya, mungkin semacam itu.

Sean jabat tangan diikutin gue yang jabat tangan dan berkenalan singkat sama kolega Sean itu, "Istri anda?" tanyanya.

Sean mengangguk, "Ya. Dia istri saya,"

Kolega Sean yang gue tau namanya pak Bram terkekeh, "Gak salah kamu pilih istri," Sean cuma senyum kecil menanggapinya, "Dia model? Atau pramugari? Tubuhnya semampai kayak pramugari atau model,"

Sean gak ngelemparin ekspresi apapun. Datar, sedatar triplek, sedatar dada gue, "Dia istri saya. Apa itu belum cukup?"

Pak Bram terkekeh dan menepuk pelan lengan Sean, "Saya bercanda. Dia cantik," Pak Bram ngeliat gue dari ujung kaki ke ujung kepala berkali-kali. Gue emang pakai dress yang Sean kasih kemarin. Makanya gue gak nyaman ketika diliatin intens sama pak Bram, "Padahal kamu bisa dapat yang lebih dari dia. Irene lebih cantik dari dia,"

Jantung gue memompa cepat. Dengar nama Irene, jantung gue berasa di tikam pakai anak panah. Apa Sean pernah ngajak Irene ke pesta-pesta kayak gini?

Sean ngelepas rangkulannya dari pinggang gue dan tangannya melingkar ke bahu pak Bram dan membawa pak Bram menjauh dari gue. Sebelum dia pergi, dia ngomong ke gue, "Jangan kemana-mana. Saya mau nyapa teman saya disana," gue cuma mengangguk patuh.

Gue berjalan ke meja makanan dan minuman. Gue ngeliat minuman yang merah pekat. Tanpa sadar, gue ambil minuman itu karena penasaran rasanya. Mirip buah pome. Gue mutar gelasnya pelan dan buat cairan merah itu ikut berputar. Ketika gue dekatin gelas ke bibir, tangan gue di tahan seseorang.

Dokter Chandra.

Gue gak nyangka dokter Chandra datang ke pesta kayak gini. Dia tersenyum dan ambil gelasnya dari tangan gue, ngeletakkin kembali keatas meja, "Itu wine. Minuman beralkohol. Kalau kamu muslim, gak di bolehin minum minuman beralkohol. Gak baik buat tubuh kamu,"

Gue terkekeh kaku. Gue gak tau kalau minuman itu wine. Hampir gue minum, kalau aja dokter Chandra gak ngerebut gelasnya, "Kenapa dokter ada disini?"

Dokter Chandra mengangkat bahu singkat, "Saya di undang. Kebetulan, ayahnya yang punya acara itu pasien saya," gue cuma ngangguk menanggapinya. Gue ngelirik dokter Chandra yang terlihat tampan dengan setelan formal hitamnya. Kulitnya yang putih, kontras banget dengan warna pakaian yang dia pakai sekarang. Nambah kadar ketampanannya. Walau Sean lebih tampan dari dokter Chandra. Cuma, dokter Chandra itu manis. Lesung pipinya yang buat gemas.

married without love ✔Where stories live. Discover now