Nilai

31 3 0
                                    

>>Laila pov<<

"Aku benci belajar!" ucapku sekali lagi. Kali ini aku telah dapat mengontrol nada suaraku. Genggaman tanganku pada pinggiran bangku taman kini mengerat. Ingatanku kembali pada saat itu, saat dimana semua ini dumulai.

"Karena 'penyakit' ini, aku bodoh. Nggak seperti Railo. Seberapa keraspun aku mencoba untuk belajar, nilaiku tetap sama. Aku tidak bisa memperbaikinya! Mau belajar seperti apapun. Hasilnya sama. Karena tempatku bukanlah di sekolah. Tapi di sana, di panggung aku dapat bersinar sepenuh hatiku. Tapi itu tidak boleh. Semua harus sesuai perintah mama. Tak peduli seberapa indah, anggun, dengan segenap jiwa aku menari. Mama hanya melihatku lewat nilai. Hanya lewat angka di atas lembaran kertas itu. Aku bisa membuatnya melihatku, tapi aku gagal. Gagal total dan malah dikeluarkan dari sekolah. Aku tidak bisa berubah. Karena itu dia pergi" ah. Aku telah bercerita cukup jauh tentang masa laluku ke Railo. Kulihat ia ikut menundukkan kepalanya dengan tatapan menerawang.

>>Author pov<<

Karena cerita dari Laila, akhirnya secuil ingatan Railo naik di permukaan.

Tidak peduli berapa banyak piala yang terpampang, tidak akan bisa menghilangkan dendam ayahku atas kehilangannya yang luar biasa batin Railo saat mengingat bagaimana dirinya yang masih begitu kecil dan rapuh, dipukuli oleh ayahnya sendiri hingga tubuhnya sobek sana-sini.

Mereka berdua hanyalah korban dari keinginan egois orang tuanya. Laila ditekan oleh ibunya, sedangkan Railo dipersalahkan oleh ayahnya atas segala bencana yang menimpa Ayahnya.

"Aku hanya punya ayah yang melindungiku" ucap Laila. Kini buliran-buliran itu membasahi pipinya yang putih mulus, puncak hidungnya terlihat memerah, dan dadanya naik turun.

Begitu ya.... Laila dan aku, kami serupa. Kenapa ya? Ingatanku begitu mudah kembali kalau bersamamu. Semua orang mempunyai keadaannya sendiri-sendiri, kami berdua.... Serupa. Batin Railo.

>>Railo pov<<

"Tidak apa-apa Laila. Kita berdua sama. Palingtidak kamu masih mempunyai ayahmu. Lihat aku, ibuku meninggal karena sakit, ayahku ditahan karena kasus penganiayaan, dan bahkan sekarang aku kehilangan sebagian besar ingatanku. Walaupun kamu bodoh dan putus sekolah, kamu masih tetap mau membantuku yang sama sekali nggak kamu kenal ini" kamu juga masih hidup, ingatan itu perlahan-lahan kembali padaku. Aku sudah mati. Kalau dipikir-pikir lagi, aku buta tujuan kalau tidak bertemu denganmu. Siapapun kamu dikehidupanku dahulu, lanjutku membatin.

"Buatku nilaimu udah 'excellent' La. Makasih ya udah membantuku sampai saat ini" kulihat Laila menatapku dengan matanya yang masih sembab.

"Hueeeee..... Tuh kan, Railo inget lagi soal keluarga mah. Aku aja yang dilupain" aku kaget karena Laila langsung saja memelukku dan membenamkan wajahnya di dadaku.

"E-eh iya sih, aku juga kaget. Jangan main peluk hoi!" aku berusaha melepaskan diri dari pelukan Laila, namun ia memelukku dengan sangat kencang.

"Wuaaaaa...... Badan Railo dingin semua! Nggak ada anget-angetnya!" ucap Laila, namun ia semakin menguatkan pelukannya, dan seakan tidak mau melepaskanku.

Ini anak kenapa bisa nempel-nempel gini? Jangan La! Aku udah mati tau. Nanti orang bakal aneh banget ngeliatnya! Namun itu hanya ada dalan pikiranku, aku tidak punya keberanian untuk mengucapkannya dan menyakiti Laila.

"Aku juga. Terima kasih Railo"ucap Laila masih dalam keadaan memelukku, walaupun tubuhku tidak ada hangat-hangatnya, tapi Laila sepertinya betah berada dalam pelukanku.

Laila.... Aku udah mati lho. Walaupun kamu masih bisa menyentuhku, aku tidak tau berapa lama badanku bisa bertahan di dunia ini. Batinku.

"emmm La? Kamu lagi PMS ya?" moodnya labil baget. Ucapku seraya menepuk-nepuk punggung Laila dengan lembut.

>>Author Pov<<
KRAAKKK! bunyi tulang-tulang yang remuk, berasal dari tubuh Railo yang dipeluk dengan kekuatan penuh oleh Laila. Merciless! Sepertinya Railo benar, Laila saat ini sedang PMS.

Ghost Dilema [END]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang