pulang

1.7K 111 4
                                    

Aku dari tadi tidak bisa berhenti tersenyum. Akhirnya pria yang selama ini aku lihat dari jauh, sekarang aku bisa memeluk erat punggungnya.

Bahkan aku bisa mencium aroma mint dari tubuhnya. Dan aku bisa tebak tubuhnya sangat berotot.

Aku sangat menikmati setengah jam waktu yang aku habiskan untuk duduk di belakangnya.

Akhirnya aku tersadar ketika sampai didepan pintu gerbang rumahku.

"Stop..stop. gue berhenti disini aja." Zafarel pun menghentikan motornya.

Aku segera turun dan memberikan helm yang aku pinjam kepadanya.

"Makasih ya udah nganter gue. Gue harap sih loh sering-sering gitu nganterin guenya." Aku tersenyum kepadanya.

Dia hanya menaikkan satu alisnya matanya. Dan hanya menganggukkan kepalanya atas pernyataanku.

"Yaudah gue duluan kalo gitu." Dia menyalakan kembali motonya. Tetapi aku ingat akan sesuatu.

"Eh tunggu-tunggu." Aku menghentikannya dan membuka tasku. Mengambil buku yang sering aku gunakan untuk menggambar.

Aku membuka halaman yang terdapat wajah Zafarel. Aku segera merobek kertas itu. Dan memberikannya kepada Zafarel.

"Untuk apa?" Dia sedikit bingung ketika aku memberikannya gambar tersebut.

"Untuk elo. Kan gue udah gambar wajah lo tanpa ijin. Yaudah sekarang gue kasih aja untuk Lo. Sekalian kenang kenangan dari gue. Lagian gambar gue enggak buruk-buruk amat sih kalo Lo mau majang ini gambar."

"Oke. Thanks gambarannya."

Setalah mengucapkan tiga kata itu, Zafarel langsung mengendarai keretanya dan pergi. Aku masih saja tersenyum melihat kepergiannya.

Masih terasa begitu nyata. Dia bahkan mengizinkanku untuk memeluk pinggangnya.

---
"Sayang kamu udah pulang? Sini bentar ada yang mau Bunda omongin sama kamu." Aku tersenyum kepadanya. Dan mendekat kearah Bunda.

"Kanapa Bun?" Bunda menyisir rambutku dengan jarinya. Tersenyum menatapku.

"Tadi Ayah ngubungi Bunda, katanya dia mau jum-"

"Bun aku harus bilang berapa kali sih sama bunda? Aku gak mau ketemu sama dia." Aku langsung berdiri dan hendak pergi menuju kamarku.

"Dia ayah kamu Ara!"

"Ayah Ara udah mati Bun!"

"Arabella!! Jaga omongan kamu." Aku kembali mendekat kearah Bunda.

"Bun dia bukan ayah Ara. Enggak ada ayah yang mau ninggalin keluarganya kan? Dia bukan ayah Ara. Jadi Ara mohon kita jangan pernah bahas ini lagi ya Bun? Ara lelah." Setelah itu aku kembali menuju kamarku.

Aku langsung menutup pintu kamar dengan keras. Aku sadar aku tidak seharusnya melakukan itu. Tapi aku sangat kesal ketika bunda membahas pria yang bahkan sudah aku anggap mati itu.

Aku segera menghubungi seseorang yang sudah aku aku anggap sebagai saudaraku sendiri. Berharap dia bisa menenangkanku untuk saat ini.

Tidak butuh waktu lama untuk dia menjawab telepon dariku. Aku sudah bisa mendengar suara yang selalu bisa membuatku tenang itu.

"Halo."

"Gue butuh ketemu sama lo Bal. Jemput gue sekarang, please."

---
"Jadi?" Aku menoleh kearah pria yang tepat berada di sampingku ini. Tersenyum dan kembali menyenderkan kepalaku di bahunya.

"Biarin gini dulu. Gue kangen sama Lo. Udah lama soalnya kita enggak jumpa." Dapat ku dengar dia menghela napas panjang.

Aku memang suka berada disampingnya. Entah kenapa, dia selalu bisa membuatku nyaman.

Ananda Iqbal Prayoga. Aku masih ingat ketika dia pertama kali memperkenalkan namanya kepadaku. 5 tahun yang lalu, hari Diamana kedua orang tuaku berpisah. Saat itu aku sangat hancur. Semua fakta yang aku dengar tidak bisa aku cerna satu persatu.

Saat diamana aku ingin mengakhiri segalanya. Tetapi dia datang, pria ini datang dan memperkenalkan dirinya kepadaku.

Dia bahkan bisa membuatku melupakan masalah yang besar itu untuk sesaat. Aku tidak akan pernah lupa kejadian itu. Dan saat itu pula aku percaya bahwa Tuhan mengirimkan dia untuk menjagaku.

"Lo harus cerita sama gue Arabella."

"Gue gak tau harus cerita gimana lagi. Mungkin kalo cerita yang gue sampein ke lo itu ditulis, udah bisa bikin novel kali ya? Gue takut Bal."

"Gak usah takut Ara. Ada gue disini."
Aku tersenyum mendengar omongan Iqbal.

"Gue lagi suka sama seseorang. Enggak tau kenapa."

"Bagus kalau gitu. Siapa namanya?"

"Zafarel. Tapi dia kayaknya enggak bisa gue genggam Bal. Dia terlalu jauh dari gue."

Iqbal memegang rambut panjangku. Dia tersenyum melihatku. Tapi matanya, aku tidak tau arti dari tatapannya itu. Mungkin dia lagi ada masalah saat ini.

"Enggak ada yang enggak mungkin Ara. Lo hanya perlu menunggu."

"Dan lo juga tau kalau gue enggak suka menunggu. Gimana kalau nanti gue enggak dapatin dia, gue sama lo aja ya Bal." Aku menegakkan badanku dan tersenyum kepadanya.

"Tunggu gue ya Bal!"

---


Yeah i'm back. Jangan lupa kasih bintang dan komennya.

ABZA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang