Bahagia?

988 76 0
                                    


Aku melangkah ragu menuju sekolah. Jantungku berdegup dengan sangat kencang. Aku sangat takut jika Intan akan marah kepada ku. Tapi aku merasa aku tidak perlu untuk takut kepadanya. Karena yang menciumiku itu Zafarel bukan aku.

Aku kembali meyakinkan diriku sendiri untuk tetap berani bertemu dengan Intan dan menjelaskan semuanya.

Tapi sekali lagi aku kembali goyah. Aku tidak bisa berjalan menuju kelas. Aku hanya terdiam di tempat tanpa berniat untuk masuk ke dalam kelas.

"Lo kenapa?" Aku sedikit terkejut mendengar suara itu. Suara yang berasal dari Intan.

Aku langsung menoleh ke arah samping dan mendapati Intan yang sudah berdiri tepat di samping kananku.

"Gue... Gue.. ma--"

"Gak masuk kelas? Gue duluan kalau gitu." Intan memotong pembicaraan ku. Dia langsung berjalan di depanku. Aku yang melihat itu langsung memanggil namanya. Aku takut jika masalah ini akan terus memburuk. Aku harus menyelesaikannya sekarang juga.

"Intan!" Intan langsung berhenti dan menoleh ke arah ku.

"Kenapa?"

"Gue mau bicarakan masalah semalam. Gue enggak bermaksud untu--"

"Udah lah Ra.. Lo gak salah kok. Gue aja yang terlalu berharap. Kalau sahabat akan tetap jadi sahabat. Jadi lo merasa bersalah sama gue tentang kemarin?"

Aku langsung menganggukkan kepalaku. Aku memang merasa bersalah dengan kejadian kemarin. Intan tersenyum melihatku yang menganggukkan kepala.

"Udah lah, gak usah di pikirkan. Sekarang kita ke kelas yuk." Ucapnya. Dia mengulurkan tangannya di hadapanku. Aku pun langsung berjalan menuju ke arahnya dan menyambut uluran tangan itu.

Kami berdua berjalan menuju kelas dan memutuskan untuk tidak membahas masalah kemarin lagi.

---

Aku hari ini sedikit lega. Setidaknya Intan tidak marah seperti bayanganku. Atau mungkin dia hanya menyembunyikan semua kemarahan dan kekesalannya. Aku tau kejadian kemarin pasti membuatnya marah. Jika aku di posisinya, mungkin aku akan marah dan tidak akan pernah menerima semuanya.

Tapi sekali lagi, aku melakukan kesalahan. Dan kesalahan itu terjadi karena kebodohan ku.

Pria yang ada di depanku kini tersenyum sambil memegang bola basket di tangan kirinya.

Aku sangat bodoh. Kenapa aku bisa berjalan ke arah sini. Padahal aku tau, jika Zafarel akan selalu ada di lapangan jika pulang sekolah. Tapi aku tidak mungkin untuk berjalan balik dan berpura-pura tidak melihat Zafarel.

Jika aku melakukan itu, dia pasti mengira aku menghindar darinya. Biarpun itu yang sekarang ingin aku lakukan.

Mau tidak mau, aku berjalan ke arahnya dan membuat garis tipis di bibirku.

"Mau ngelukis?" Tanyanya ketika aku sudah berada di depannya.

Aku pun menganggukkan kepalaku. Mengiyakan pertanyaannya.

"Lo gak pulang?"

"Belum lebih tepatnya. Gue bosen di rumah."

Dia kembali memainkan bola basketnya. Aku pun langsung berjalan menuju bangku yang tidak jauh dari lapangan. Mengeluarkan buku dan pensil yang akan aku gunakan untuk melukis.

Aku pun mulai membuat garis yang akan menjadi lukisan yang indah nantinya.

"Gambar apa lo?"

"Danau. Yang biasa gue dan Iqbal kunjungi." Aku menyudahi gambaran ku dan menatap ke arah Zafarel.

"Bagus." Hanya satu kata itu yang ia ucapkan.

Aku yang mendengar itu tersenyum tipis dan membereskan semua peralatan ku dan menyimpannya ke dalam tas. Setelah semua beres, aku kembali menatap Zafarel yang hanya diam sedari tadi.

"Zaf.. kejadian semalam gue harap lo bisa lup--"

"Sorry Ra. Kalau lo nyuruh gue untuk ngelupain kejadian semalam, gue enggak bisa." Zafarel langsung memotong ucapan ku. Aku bisa menyadari jika raut wajahnya  langsung berubah.

"Zaf.. gue rasa, semua ini enggak benar. Kita udah nyakitin dua orang yang sangat kita sayangi. Gue enggak mau nyakitin Intan. Dia saudara gue Zaf."

"Gue enggak ngerasa nyakitin siapa pun. Dan gue rasa kita enggak salah. Dan semalam, gue enggak maksa Lo, kan? Ra.. lo itu juga harus bahagia. Gak penting Intan itu saudara Lo atau bukan. Jadi lo jangan terlalu memikirkan perasaan orang lain. Pikirkan perasaan Lo terlebih dahulu."

Setelah mengatakan semua itu, Zafarel langsung berjalan menjauh dariku. Apa yang dikatakan Zafarel memanglah benar. Tapi.. sekalipun Intan bukan saudaraku, aku tetap bisa merasakan apa yang dirasakan Intan. Karena aku juga perempuan.

"Zaf!" Aku langsung memanggil namanya kuat. Diapun menoleh ke arahku. Tatapan datarnya membuatku sedikit gugup.

"Zaf.. gue bahagia kok. Tanpa atau adanya lo di sisi gue."

---

Hei Yoo author kambekkkk!!!

Udah lama gak up.. sori bett.  Lagi banyak pekerjaan gess.. harap maklum.. hehehe

Gimana nih part kali ini? Detik-detik menuju ending.. wkwkwk

Jangan lupa untuk kasih bintang komentar dan juga tambahin AbZa ke reading list kalian ya..

See you..

Medan, 28 Juli 2020

ABZA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang