Ulangan fisika sudah selesai 20 menit yang lalu. Sekarang adalah waktunya ulangan matematika yang mana membuat kelas itu sunyi dan senyap nyaris tanpa suara. Hanya suara kombinasi kipas angin yang berputar dan kertas dibalik. Mereka sangat fokus dengan materi tanpa kegaduhan yang berarti.
Hal ini pun dialami oleh perempuan berambut pirang dan bermata biru safir. Ia mendedikasikan pikiran dan otaknya pada pelajaran. Menurutnya, materi trigonometri cukup sulit hingga ia harus mengeluarkan tenaga yang lebih untuk memahaminya.
"Haish, kok nggak ada jawabannya? Huft," ujarnya bermonolog sendiri. Perempuan dengan tag nama Agista Lavinsa itu mengetuk dahinya frustrasi. Lalu, ia menggoreskan sejumlah angka dengan gesit di atas coretannya yang abstrak tanpa berniat menyerah.
Suasana kelas itu nampak dingin dan mencekam dari luar. Terlebih lagi, kelas tersebut minim interaksi dan komunikasi. Di kelas yang diakui sebagai unggulan itu memiliki sedikitnya 36 siswa dengan 24 orang perempuan dan 12 laki laki.
Disana terdapat dua geng yang terkenal seantero sekolah yaitu geng Xerga dan geng Firenze. Geng Firenze diketuai oleh Abay Yudha Dewantara. Sedangkan Geng Xerga diketuai oleh Alvian Satya Wahyuda. Entah bagaimana awal terbentuknya geng itu, yang jelas mereka sudah bermusuhan semenjak zaman SMP.
"Wah, lihat mereka sangat rajin dan serius. Pasti ada ulangan lagi. Kali ini materi apa ya?" Celetuk seseorang yang melewati kelas 10 IPA 7.
"Kayaknya matematika, nggak tahu wajib atau minat."
"Haha, kalau kelas kita, mana pada belajar."
"Nggak heran mah, ini kelas dewa woi. Ulangan berasa UAS, haha."
"Ck, andai gue bisa masuk kelas itu. Kayaknya asyik ya bisa belajar sama orang cerdas."
"Iya, disayang guru lagi, nggak pernah dimarahin. Enak ya."
Dua orang yang sengaja berbincang di depan kelas itu langsung mendapatkan tatapan tajam dari siswi yang telinganya amat peka. Tatapan mereka seolah mengisyaratkan perintah untuk pergi atau mau ribut di tempat.
"Caper banget." Cetus Naira sambil mendesis. Memang bukan rahasia lagi kalau kelas 10 IPA 7 adalah pusat gravitasi SMA Gemilang dimana semua guru menjadikan mereka patokan mengajar. Jangan terheran jika kelas itu bisa menyelesaikan materi lebih awal dari kelas lain. Hal ini adalah wajar namun dianggap merugikan bagi kelas lain karena dianggap terlalu cepat.
Bunyi bel terdengar ke penjuru sekolah, tanda waktu istirahat sudah selesai. Segera setelah itu mereka mengeluarkan selembar kertas untuk mengikuti ulangan harian matematika bab trigonometri.
"Selamat pagi anak-anak." Sapa seorang guru muda berkacamata. Santoso namanya. Beliau masuk dengan senyuman yang terpancar di wajahnya yang sudah mulai muncul kerutan halus.
"Selamat siang, Pak San," jawab mereka serempak kompak layaknya anak ekskul paduan suara. Interferensi gelombangnya yang teratur kadang membuat guru fisika keheranan dengan kelas ini.
"Oh iya, ini sudah siang. Bapak pikir masih pagi soalnya pada masih semangat belajar." Pak San terkekeh sendiri. Beliau meletakkan beberapa buku di meja guru.
"Ah Bapak kebiasaan deh pelupa," ujar lelaki bertubuh besar dengan otot yang mulai terbentuk. Untuk ukuran anak kelas 10, ia termasuk big boy. Galang namanya.
"Saya pelupa karena ketularan kalian," jeda Pak San. "Oh iya, kayaknya hari ini kita ada acara ya." Pak San mengedipkan kedua matanya berkali-kali. Suatu tabiat jika guru matematika ini punya janji ulangan namun muridnya pura-pura tidak tahu. Pak San semacam memberi sebuah kode rahasia dengan maksud terselubung.
KAMU SEDANG MEMBACA
SCIENCE 7 : WE ARE ONE
JugendliteraturKelas unggulan dengan kemampuan lebih di atas rata-rata? Mungkin terdengar klasik. Namun begitulah kenyataannya. Bercerita tentang kelas IPA yang menoreh sejarah sepanjang sekolah didirikan. SMA Gemilang. Sekolah paling tidak berkompeten dalam mengu...