Zaga menatap gerbang sekolahnya malas. Malas melangkahkan kaki ke dalam sana. Kemalasannya itu bukanlah tanpa sebab. Sudah disuguhi pemandangan setan sebesar bangunan sekolah, ditambah ada ketua Osis yang berjaga di balik gerbang tinggi tersebut.
"Apa gue habis mimpi gangguin annabelle?" batin Zaga mengusap topinya kesal.
Dua setan. Satu mortal dan satunya immortal. Lengkap sudah sarapan Zaga pagi ini. Untuk sesaat, Zaga memilih berbicara dengan makhluk tak kasat itu.
"Gue bakal urus lo nanti." batinnya berbicara dengan makhluk immortal yang sebesar bangunan SMA Gemilang.
Sekarang, Zaga menghembuskan napasnya perlahan dan memasuki sekolahnya dengan langkah tegap. Kali ini, ada yang berbeda dengan penampilannya. Bukan rapinya, namun ia mengenakan topi sekolahnya secara terbalik.
"Berhenti."
Pada awalnya Zaga berhenti dalam beberapa detik, namun akhirnya ia kembali melangkah dengan perasaan santai tanpa beban. Zaga bukanlah seorang penurut, melainkan pembangkang sejati.
"Gue bilang berhenti di situ Zaga!" teriaknya. Mario menghampiri Zaga yang melangkahkan kaki masuk ke dalam area sekolah dengan rentetan kalimat yang siap ia layangkan.
"Kaki, kaki gue kenapa lo yang ngatur." sarkas Zaga begitu saja sembari menatap Mario dan sebisa mungkin menahan diri agar tidak menghajar sepupunya sendiri.
"Gue bilang berhenti ya berhenti Briliano Zaga Aldebaran!" ujar Mario penuh penekanan dengan teriakan khas yang memerintah.
"Sok banget jadi ketos." sinis Zaga menghentikan langkahnya, bukan untuk menuruti perintah Mario melainkan untuk beradu mulut dengannya.
Mario menggeram. "Kenapa sih lo selalu bantah omongan gue? Nggak di rumah, di sekolah, di mana pun lo berada!"
Zaga mendecih dan membuang mukanya. "Perlu gue jawab?" balasnya dengan
"Kenapa sih lo kayaknya benci banget sama gue?" tanyanya. Mumpung ini kesempatan yang tepat karena Zaga selalu menghindari interaksi yang terjadi antara mereka selama kurang lebih 16 tahun ini.
"Kalo bukan karna lo, gue pasti nggak jadi kayak gini! Gue bakalan dapet kasih sayang dari keluarga gue sendiri!" ujar Zaga dengan napas yang mulai memburu. Ia menatap penuh benci Mario yang sama sekali tidak paham maksud perkataannya.
"Tapi apa? Keluarga gue cuma sayang sama Aveno Mario Aldebaran. Hanya Aveno bukan Briliano." lanjutnya.
Napas Mario tercekat mendengar penuturan Zaga, sepupunya sendiri. "Bukannya kita mendapat kasih sayang yang sama?"
Zaga tertawa sumbang, sekklas ia terlibat seperti psikopat. "Apa lo bilang? Sama? Cih, mereka cuma sayang sama Aveno. Aveno, Aveno, dan Aveno. Selalu Aveno yang dibanggakan."
"Kita bisa omongin ini saat kumpul keluarga kan Ga? Tapi lo nggak pernah dateng tiap malam Minggu." kata Mario mulai menresapi perkataan menjiwai Zaga. Ternyata selama ini Zaga merasa terpinggirkan di keluarga besar mereka.
Zaga mengeluarkan unek-uneknya saat persekitarannya sepi tidak ada orang. "Gue nggak pernah dateng? Gue pernah dateng, sekali. Dan apa yang gue lihat? Apa yang gue denger?"
Kenangan itu masih membekas dihati Zaga. Setiap kali ia melihat Mario, ia jadi ditarik mundur ke masa lalu. Masa-masa dimana ia diacuhkan keluarganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SCIENCE 7 : WE ARE ONE
Teen FictionKelas unggulan dengan kemampuan lebih di atas rata-rata? Mungkin terdengar klasik. Namun begitulah kenyataannya. Bercerita tentang kelas IPA yang menoreh sejarah sepanjang sekolah didirikan. SMA Gemilang. Sekolah paling tidak berkompeten dalam mengu...