Kata orang, kelas IPA tujuh itu aneh. Khususnya angkatan tahun ini. Pada saat jam pelajaran fisika, matematika, dan materi yang dianggap susah oleh kebanyakan anak IPA lainnya, mereka selalu acuh tapi tetap menjadi yang terunggul dari semua kelas IPA.
Mereka terkenal dengan julukan anak emas SMA Gemilang yang tiada duanya. Tak heran kepintaran mereka membuat kepopularitasan mereka meningkat dengan pesat. Jangan terkejut jika loker pribadi kelas itu dibanjiri kata kata manis, puisi, coklat, dan segala macam. Hal itu merupakan lumrah disana. Terutama bagi orang yang suka mencari keributan. Seperti, Abay dan Satya.
"BU MIRA DATANG! BU MIRA DATANG!" teriak Gwen cempreng. Sontak kelas itu ricuh. Mereka kebingungan mencari tempat duduk masing-masing. Sementara Agista, ia dengan santainya melepas earphone putih itu dan menyimpannya ke laci meja.
Wanita berumur seperempat abad memasuki kelas X IPA 7 dengan anggun. Parfumnya segera menusuk indra penciuman dalam radius kurang lebih 5 meter. Wajar saja jika para siswanya terpesona terutama kaum adam.
"Bonjour tout le monde." sapa Bu Mira meletakkan buku di meja guru.
"Bonjour aussi madame." balas mereka kompak. Meskipun tidak semua orang membalas.
Bu Mira lekas duduk di kursi guru dan menata bukunya sebentar kemudian mengabsen muridnya. "Qui ñ'est pas venu aujourd'hui?"
"Il n'y a pas madame."
Stella dan Naira hari ini sudah berangkat. Para peserta OSN juga tidak mengikuti bimbingan karena pemadatan selama tiga hari sudah berakhir. Kini, mereka mengikuti pelajaran seperti biasa serta akan mengikuti lomba minggu depan.
"D'accord, ouvrez votre carnet de colis et faites page 89." perintah Bu Mira lekas dilaksanakan oleh murid kelas itu.
Tok tok tok.
Pintu kelas diketuk tiga kali yang mana membuat aktivitas di kelas itu terhenti seketika. Nampak seseorang masuk dengan sopan dan senyuman di wajahnya.
"Selamat pagi semuanya. Saya disini akan memanggil pengurus OSIS untuk mengikuti rapat rutin hari Rabu." ujar orang yang mengetuk pintu.
Royvan tersenyum singkat hal inilah yang ia tunggu sejak tadi. Dispen dari pelajaran Bahasa Perancis. Sungguh demi apapun ia tidak menyukai Bahasa Perancis. Lain halnya, ia lebih suka Bahasa Spanyol, bahasa tempatnya lahir. Royvan merupakan anak blasteran Indo-Spanyol. Sudah pintar, kaya, blasteran pula. Kurang apa sih Ice Boy Science Seven ini? Ah iya, dia tidak peka.
"Panggilan ditujukan kepada Royvan, Naira, Nadine, dan Larissa. Harap segera ke ruang OSIS sekarang juga. Terimakasih." ujar orang itu formal. "Permisi Bu Mira, Terimakasih waktunya." sambung orang itu undur diri dari kelas.
Kemudian Royvan meminta ijin dari Bu Mira untuk keluar kelas diikuti Naira, Nadine, dan Larissa. Mereka berempat meninggalkan kelas dan lekas menuju RO.
"Seneng banget lo Van kayaknya." tegur Nadine membuyarkan fokus Royvan. Meskipun raut wajah Royvan kalem-kalem saja namun, ada sebuah titik yang menjadikan Royvan terlihat bahagia. Bibirnya sedikit tertarik ke atas.
"Kakak pasti suka dong, dia kan rajanya dispen. Kalo dispen aja seneng." cibir Naira dengan diimut-imutkan.
"Hush. Jangan begitu." kata Larissa menegur.
"Jangan begitu gimana? Memang betul, kan Van?" goda Naira membuat Royvan menggeleng pelan.
"Ngapain lo geleng-geleng? Jangan-jangan lo sarap ya Van." tuduh Naira membuat Nadine menjitak kepalanya pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SCIENCE 7 : WE ARE ONE
Teen FictionKelas unggulan dengan kemampuan lebih di atas rata-rata? Mungkin terdengar klasik. Namun begitulah kenyataannya. Bercerita tentang kelas IPA yang menoreh sejarah sepanjang sekolah didirikan. SMA Gemilang. Sekolah paling tidak berkompeten dalam mengu...