Seusai mengantarkan Izly ke perpustakaan, Agista masih saja terbayang dengan kecurigaannya. Namun, ia juga berusaha menghilangkan pikiran buruk yang bergentayangan di otaknya tentang guru di sekolahnya sendiri.
Duk!
"Aduh sakit!" Pekik Agista. Langsung saja ia mengusap keningnya yang berdenyut karena terbentur oleh pintu.
Sementara itu ada seorang manusia berjenis kelamin laki-laki muncul dari balik pintu tersebut. Ia menggunakan hoodie berwarna onyx sembari meneteng tas hitam abu-abu polos di bahu kanannya.
"Dasar! Nih pintu kok ada di depan gue sih! Perasaan tadi nggak ada," ujar Agista memaki pintu tak berdosa berwarna coklat di hadapannya.
Agista mengomel saat melihat pelaku yang membuat keningnya sakit. "Eh, lo ternyata Van. Aduh, sakit nih kepala gue gara-gara lo buka pintu nggak lihat situasi!"
C'tak!
"Aduh sakit! Emang lo pikir kepala gue apa! Udah kepentok pintu, dijitak lagi!"
Agista kembali mengelus keningnya karena menerima jitakan sengaja dari Royvan. Andai saja ia tidak ingat dengan Tuhan, sudah ia santet Royvan dari dulu. Tidak, itu perbuatan haram. Agista tidak pernah serius memikirkannya.
"Gue cuman mengecek kalau saraf lo masih bekerja dengan baik."
Agista memaksakan senyumnya. Ia bersikap sarkas. "Haha, makasih banyak lo. Sakitnya berasa banget, saraf-saraf gue sehat, dengan gini lo puas."
Royvan tidak menangkap sisi sarkas yang ingin Agista tunjukkan. "Ya, sama-sama."
"Eh sialan ya lo Van, harusnya lo minta maaf karena udah membuat dahi gue sakit."
Agista melayangkan protesnya. Royvan memandangi perempuan itu dengan tanpa ekspresi. "Cewek kayak lo bisa ngomong kasar ya."
Amarah Agista meletus mendengar balasan lelaki itu yang keluar dari konteks.
"Denger ya Wakil ketua OSIS yang terhormat, apa lo nggak pernah berkaca?! Omongan lo juga kasar kalo sama cewek! Jadi kita berhak dong buat membalas omongan lo yang pengen banget gue remukin," ujar Agista menyiratkan kegeraman di setiap perkataannya.
"Oh, emang lo bisa remukin omongan gue?" Tantang Royvan sinis.
Amarah Agista semakin meluap-luap. "Kenapa nggak? Gue bisa. Asal gue mau. Sayangnya gue nggak mau dan nggak perduli."
"Dasar cewek."
Agista agak mencondongkan badannya mendekati lelaki itu. Royvan secara otomatis menjaga jarak untuk keamanan dirinya. "Kenapa sama cewek? Apa mereka menyebalkan di mata lo? Funfact, lo lahir dari rahim cewek. Nggak usah anti sampai sebegitunya, kalo udah suka sama satu cewek nanti lo nggak bisa hidup tanpa dia, baru tahu rasa lo Van."
"Nggak semua menyebalkan dan gue nggak benci sama mereka. Satu lagi, nggak ada orang yang bisa gue suka sampai nggak bisa hidup bareng sama dia."
Agista tertegun dengan kalimat panjang yang keluar dari mulut lelaki itu. Sepertinya ini skakmat. Agista terpaksa mengakui kekalahannya. "Ah, iya deh. Si paling dingin satu dunia."
Royvan mengacuhkan Agista lalu merogoh sakunya mengambil sebuah kunci perak berukirkan jelas OSIS dengan huruf kapital. Hal ini membuat Agista tersadar bahwa ia tengah berada di depan ruang yang paling ia benci di sekolah.
"Setelah gue pikir-pikir, lo emang nggak bakat berteman sama perempuan. Apalagi lo dengan teganya nggak nyimpen satu kontak cewek di ponsel lo! Ah sial, gue jadi kesel nih."
"Berisik," ujar Royvan ketus.
Ocehan Agista berlanjut. "Tapi gue secara ajaib bisa temenan sama lo dua tahun yang lalu, ya walau agak pahit sih. Tapi Van, apa lo nggak takut sama gosip kalo Wakil ketua OSIS SMA Gemilang ternyata gay."
KAMU SEDANG MEMBACA
SCIENCE 7 : WE ARE ONE
Teen FictionKelas unggulan dengan kemampuan lebih di atas rata-rata? Mungkin terdengar klasik. Namun begitulah kenyataannya. Bercerita tentang kelas IPA yang menoreh sejarah sepanjang sekolah didirikan. SMA Gemilang. Sekolah paling tidak berkompeten dalam mengu...