22. Profesión || Pekerjaan

16.8K 998 15
                                    

Dua hari setelah kejadian dimana pembunuhan yang dilakukan Revan, Alea selalu menurut dengan pemuda itu. Alea bahkan sudah tak menolak lagi jika Revan merangkul atau mencium pipinya ditengah umum.

Gadis itu diam saja, memori dimana Revan membunuh Ernest masih bergentayangan diotaknya. Apa semua orang yang berada didekatnya akan bernasip sama, apa Zeko dan Adrian juga sama, Kak Fadil? Dan.... Vika?

Alea menggelengkan kepalanya cepat. Kepalanya menoleh pada Revan yang berada disampingnya sedang mengemudi dengan tatapan dingin.

Revan, iblis bersosok manusia. Monster berparas dewa, mahluk yang membuat Alea takut setengah mati dan jatuh cinta bukan kepayangan.

"Ngelamun lagi," suara dingin itu membuat Alea gelagap. Revan menepikan mobilnya dan langsung menggenggam erat kedua tangan gadis itu.

"Kenapa sayang, ada yang kamu pikirin? Bilang sama aku," ucap Revan sangat lembut. Alea menggeleng pelan lalu melepaskan genggaman Revan hingga pemuda itu menatap tajam pada Alea.

"Aku tanya kenapa?" tanya Revan menusuk. Alea langsung memeluk Revan erat, Revan membiarkan gadis itu nyaman dipelukannya.

"Jangan gitu..."

"Aku takut!"

Revan melepaskan pelukannya dan menatap wajah Alea lekat.

"Kamu takut sama aku?" tanya Revan lembut. Alea mengangguk dan menundukkan wajahnya.

"Jangan takut Le. Aku cuma musnahin orang orang yang mau ngambil kamu dari aku," tutur Revan. Alea meneguk salivanya dalam susah payah. Entah itu kalimat rayuan atau bencana.

"Kenapa?" Alea berucap pelan.

Revan tersenyum lalu mengecup sekilas bibir gadis dihadapannya itu.

"Satu, karena kamu milik aku. Dua, karena aku cuma mau kamu, kamu dan kamu!"

"Sekalipun ada perempuan yang lebih segalanya dari kamu, aku nggak tertarik sama jalang diluar sana. Aku sayang kamu, dari dulu, sekarang dan selamanya. Kamu tau itu kan?"

Kalimat yang baru Revan ucapkan membuat darah Alea berdesir. Alea mencoba tersenyum pada pemuda itu.

"Nah gitu, senyum! Kan makin cantik!" goda Revan mencubit gemas hidung Alea.

"Nggak kaya kemaren, preman pasar nyasar ke Barca," cibir Revan dan kembali menyalakan mesin mobilnya.

"Ish Revan! Diem! Aku malu!" Alea menggerutu, membuat Revan ingin sekali menerkam bibir mungilnya itu.

Bisa gila Revan kalau terus begini, Alea adalah kehidupannya, Alea adalah candunya dan Alea adalah segalanya!

Katakan saja kalau Revan itu gila, tapi memang benarkan kalau iblis berparas dewa itu benar-benar gila dan keji. Jangan lupa kesadisan dan keliaran Revan ketika marah.

Mobil Revan tiba didepan sebuah rumah yang terkesan sederhana namun mewah.

"Ini rumah Artha?" tanya Alea polos. Revan mengangguk dan turun lebih dulu lalu membuka pintu mobil untuk Alea.

"Kamu harus tau semuanya tentang aku Le," ucap Revan setelah mengecup singkat pipi Alea saat tubuh mungil gadis itu berada dirangkulannya.

Alea hanya diam, perasaannya tiba-tiba tidak enak.

"Kamu nggak--"

"Sttt..." Revan menempelkan jarinya pada bibir merah ranum Alea.

Revan membuka knop pintu. Mata Alea menyerngit bingung saat beberapa buah kardus hitam berserakan diruang tengah.

"Maksudnya? Aku gak ngerti," tanya Alea . Revan terkekeh dan berjalan sendiri kesalah satu kardus itu.

"Ini pistol luar biasa pesanan costumer, harganya $5000, sayang." Revan menjelaskan hingga kedua mata Alea membulat.

"K kamu..."

"Aku mafia muda yang banyak uang!" bangga Revan. Alea mendengus kesal lalu berjongkok dan membuka sebuah kardus.

"KYA!" pekik Alea memegang jantungnya yang terasa mau copot. Tunggu, jantungnya masih ada. Lalu jantung siapa itu.

"Van, kamu-"

"Itu cuma jantung, ada masalah?" tanya Revan kembali menutup kotak hitam itu. Alea bergidik, jangan bilang kalau Revan adalah seorang pedagang organ tubuh?

"Satu jantung dihargai $1000 . Gimana?" tanya Revan sambil membantu Alea bangkit.

Alea diam, ternyata Revan benar-benar seseorang yang berhaya.

"Boleh aku ngatain kamu monster?" ucap Alea polos hingga Revan terkekeh.

"Kamu nggak perlu takut," tutur Revan lalu mengajak gadis itu naik kelantai dua.

Revan membawa Alea kesebuah kamar. Nyaman, sepertinya ini adalah kamar Revan karena bau maskulin yang sangat menyeruak dari ruangan itu. Tidak terlalu besar, hanya ruangan 3x3. Ada satu ranjang berukuran sedang, dua buah lemari, pintu kamar mandi, sofa yang menghadap jendela dan juga pendingin ruangan yang membuat ruangan itu tetap sejuk.

Alea langsung merebahkan tubuhnya kekasur empuk dengan mata tertutup. Tugas kuliahnya membuat Alea butuh ketenangan sejenak. Ngomong ngomong soal Mr. Enest, kenapa saat Revan mengajaknya kerooftop dia tak menemukan setetes pun bekas darah.

Alea membuang nafas gusar, sudah pasti Revan menyembunyikan cepat cepat perbuatannya kejinya itu.

"Lea, tiga hari lagi aku bakal pergi ke Bangkok. Nggak lama, mungkin cuma lima sampai tujuh hari.

Alea bangkit dengan ekspresi bingung.

"Lama banget," ucap gadis itu sambil berjalan menyusul Revan yang duduk disofa dekat jendela. Pemuda itu tengah berkutat dengan laptopnya.

"Kamu dikasur aja, kalo ketiduran ntar aku gendong kemobil," ucap Revan lembut sambil menatap gadis itu.

Revan yang tadinya fokus pada laptop kini beralih pada wajah cantik Alea. Gadis itu merebahkan kepalanya dipangkuan Revan.

Revan menutup laptopnya yang berada dimeja dihadapannya itu.

"Akunya tidur disini ya?" pinta Alea manja lalu menutup mata, tak lupa senyum tipis yang tercetak dibibir merah ranumnya itu.

Tangan Revan bergerak sangat lembut saat menyelipkan anak rambut Alea yang menghalanginya menatap wajah cantik gadis itu.

"Kamu selamanya, segalanya dan nyawa aku Lea," ucap Revan dengan senyuman yang sulit diartikan.

Karena kelelahan Revan pun ikut memejamkan mata dengan kepala tersender pada sofa. Keduanya terlelap kealam mimpi masing-masing.

Pukul tujuh malam, pintu kamar Revan tiba-tiba terbuka. Disana ada Vika yang nyerobot masuk dan memperhatikan wajah keduanya dengan senyum kecil.

"Boleh gue jitak elu nggak, Van?" tanya Vika menatap sebal pada wajah tampan Revan.

"Makasih, berkat kalian gue ketemu sama Artha," kekeh Vika dan duduk disamping Revan.

"Udah lama kita nggak sedekat ini, terakhir waktu kelas tujuh SMP. Setelahnya malu-malu karna udah puber semua! Bhaks!" Vika terbahak kecil lalu menyenderkan kepalanya kebahu Revan. Alea masih nyenyak dipangkuan Revan, bahkan gadis itu memeluk erat pinggang Revan.

Vika yang terbawa suasana juga ikut terlelap, selang beberapa menit Revan merasakan berat dibagian bahunya.

"Sikaleng rombeng!" hardik Revan, tangan Revan satunya merangkul bahu Vika dan membiarkan sahabatnya itu tidur dibahunya.

Artha yang kebetulan lewat hanya geleng-geleng kepala, tak ada sedikitpun terbesit kecemburuan dihati pemuda berambut seputih salju itu. Malah dia tersenyum, melihat Tuannya berada dijalan yang benar bersama sahabat sahabat kecilnya.











Tbc

Te Amo 1 ( Revandy Qayro )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang