27. Amenaza Mortal || Ancaman Mematikan

14.6K 904 55
                                    

Malam ini Alea meminta Vika untuk menginap dirumah mewahnya itu, Vika mau-mau saja. Artha dan Revan menginap disalah satu apartemen yang tidak terlalu jauh dari kediaman Alea.

"Le, kayaknya gue harus ngasih tahu ini deh sama lo," ucap Vika menatap sahabatnya yang sudah merapikan kasur.

Alea menoleh bingung. "Apaan? Lo ciuman sama Artha?" tanya Alea jahil.

"Ish! Serius!" kesal Vika lalu naik keatas kasur.

"Iya-iya ah. Apaan?" tanya Alea juga ikut duduk disamping Vika.

"Lo ngerasa aneh nggak sama Revan?"

Alea menyerngit.

"Dia kan emang aneh," jawab Alea datar.

"Bukan itu!" Vika menghempaskan tubuhnya kekasur.

"Terus?" tanya Alea bingung.

"Gue ngerasa ganjil sama Revan, dimana dia tau kalau Kak Fadil ke Korea?" kalimat Vika membuat Alea diam sejenak.

"Ya ampun Vik, kan bisa aja Kak Fadil ngasih tahu ke Revan buat jagain kita," balas Alea lalu memejamkan matanya.

"Bukannya mereka saling benci?" tanya Vika lagi.

"Tidur atau gue jahit mulut lo," ancam Alea sebal. Vika berdecak lalu menutup matanya membelakangi Alea.

Keduanya tidur dengan tenang. Hingga tiba tiba, pintu kamar Alea terbuka.

"Engh..." erang Alea pelan saat merasakan tidurnya terganggu. Alea mengusap pelan lehernya yang terasa basah masih dalam keadaan mata tertutup.

"Vik, diem dong!" ucap Alea malas lalu menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.

"VIKA!" bentak Alea lalu bangkit dengan tiba-tiba. Alea menatap kesamping, tepatnya pada Vika yang masih tidur dengan nyenyak. Bahkan kedua telinganya disumpal dengan earphone.

Alea bangkit dengan malas lalu berjalan kekamar mandi untuk mencuci wajahnya.

"Huhhh," gumam Alea menatap wajahnya dicermin. Gadis itu menyalakan lampu kamar mandi dan mendekatkan wajahnya kecermin.

"Kok?!" bingung Alea saat lehernya terdapat bercak bercak kissmark(?)

Alea meneluk nepuk pelan kedua pipinya. "Ini bukan mimpi," gumam gadis itu pelan. Tak ingin berlama-lama memikirkan hal tersebut, Alea pun kembali melangkah menuju kasur.

"Ck," decak Alea menatap pintu balkon yang belum dikunci. Alea melangkah pelan lalu menutup pintu tersebut dengan malas.

Matanya melotot saat melihat beberapa tetes cairan berwarna merah dilantai balkon. Bulu kuduk Alea merinding, matanya menatap Vika yang masih tertidur dengan lelap.

Cklek...

Alea memberanikan diri dan membuka pintu balkon dengan pelan. Semilir angin malam langsung menerpa rambut indahnya.

Alea menyentuh pelan setetes cairan merah itu lalu mendekatkannya kehidung.

"Darah?" gumam Alea pelan.

Kepalanya tiba-tiba berdenyut saat bau amis darah itu meronta masuk keindra penciumannya.

"Huek!! Ini darah manusia!"

"Huek!"

Alea bangkit dan langsung cepat-cepat memasuki kamarnya. Dicucinya kedua tangannya dengan cepat.

"Hoshhhh...." Alea menghembuskan nafas gusar lalu merosotkan tubuhnya kelantai kamar mandi.

"Hiks...hiks... Mama..."

"Lea takut..."

Lamaakelamaan, Alea terlelap kealam bawah sadar dengan posisi terduduk memeluk lututnya sendiri.

¤¤¤

"Astaga! Lea!"

"Lea!"

Vika mengguncang-guncangkan tubuh Alea pelan.

"Lea!" pekik Vika langsung memeluk sahabatnya erat.

"Lo kenapa disini?" tanua Vika. Alea menatap kosong pada Vika.

"Gue nggak papa," jawab Alea pelan lalu bangkit.

"Lo sakit?" tanya Vika was-was.

"Jam berapa sekarang?" tanya Alea pelan.

"Jam delapan, hari ini gue nggak kuliah," jawab Vika. Alea hanya mengangguk lalu meraih handuk.

"Lo kemana?" tanya Vika bingung.

"Jam 10 gue ada rapat sama perusahaan batik Indonesia," jawab Alea malas.

"Le! Lo nggak usah kekantor dulu! Istirahat, ada Paman Gino kan?" tanya Vika menarik lembut sahabatnya itu kekasur.

"Nggak Vik. Gue harus jadi Alea yang dewasa dan bisa ngatur waktu--"

"Tapi jangan korbanin kesehatan lo," potong Vika cepat masih menatap khawatir pada sahabatnya itu.

"Udah, nggak papa." Kekeh Alea. "Lebay lo!" tambah gadis itu.

Vika hanya mendengus kesal.

Tok! Tok! Tok!

Kedua gadis itu menoleh kearah pintu. Alea berjalan cepat kearah pintu lalu membukanya.

"Sayang?" panggil Revan pelan. Alea langsung memeluk Revan erat.

"Aku takut Van," lirih Alea. Vika pun mendekat kearah mereka.

"Takut kenapa?" tanya Revan bingung.

"Gue juga nggak tau, tau-tau Lea ada dikamar mandi," ucap Vika. Revan menyerngit lalu memasuki kamar Alea.

"Van," lirih Alea enggan melepas pelukannya. Revan pun mengeratkan pelukannya untuk menenangkan gadis itu.

Kadang, ada yang memelukmu sangat erat agar pisaunya tertancap lebih dalam.

"Dibalkon ada darah," adu Alea pelan. Vika menyerngit lalu membuka pintu balkon.

Bersih, tak ada apa apa disana.

"Nggak ada Le. Mungkin tadi malam lo ngelantur tidur sambil jalan--"

"ENGGAK VIK! ADA!" bentak Alea lalu melepas pelukan Revan dan berlari kearah balkon.

Bersih! Tak ada apa pun!

"T-tapi... tadi malam ada," cicit Alea panik.

Revan membantu gadis itu bangkit.

"Kamu cuma kecapean sayang, hari ini nggak usah kekantor dulu," ucap Revan lembut. Alea hanya mengangguk datar.

"Gue keluar dulu," pamit Vika lalu pergi.

"Kamu kenapa sih? Apa ada yang lebih kamu takutin selain aku?" tanya Revan diakhiri kekehannya.

"Evan!" kesal Alea. Revan terkekeh lalu mencubit gemas hidung mancung gadis itu.

"Aku mau mandi dulu," ucap Alea lalu bangkit.

"Ikut dong!" ucap Revan manja.

"Ish! Keluar kamu!" kesal Alea langsung berlari kekamar mandi. Revan terbahak-pelan lalu bangkit dari duduknya.

Mata Revan menatap tajam kesekitar ruangan kamar, tak ada satu benda pun yang terlewat dari pengelihatan luar biasanya.

Revan mengendus ngendus sesuatu dan mendekat kearah balkon.

"Ini bukan bau darah, Lea," gumam Revan sangat pelan dengan senyum miringnya.

"Tapi ini bau kematian kamu..."













Tbc

Te Amo 1 ( Revandy Qayro )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang