Chapter 5 - Tinggal di Rumah Pak Yai

5.7K 343 9
                                    

Munding tinggal di rumah Pak Yai, maksudnya di mushola samping rumah Pak Yai, selama dua hari setelah dia ditolong oleh Pak Yai malam itu. Selama itu, luka memar dan keseleo di tubuh Munding mulai berangsur-angsur sembuh.

Selama dua hari ini, Munding selalu ditemani oleh Nurul. Anak perempuan Pak Yai yang mengajarinya ngaji.

“Coba hapalin dulu huruf hijaiyahnya, Mas!” kata Nurul ke Munding.

“Susah Dek. Banyak bener, lagian bentuknya kan hampir mirip-mirip gitu. Cuma beda di titiknya aja,” protes Munding.

“Ihhhhh. Mas Munding juga sih. Udah kelas 6 SD masa’ sih huruf hijaiyah aja nggak hapal. Belum lagi nanti tajwidnya, belum panjang pendeknya.” sungut Nurul.

“Mas kan nggak pernah diajari kayak gini dek.” balas Munding pelan.

Dan dua hari inilah Munding kembali merasakan keceriaan masa kanak-kanaknya.

Pak Yai, Bu Nyai dan Nurul.

Mereka begitu bahagia menjalani kehidupan mereka, seratus delapan puluh derajad dengan kondisi keluarga Munding, setelah Wage meninggal.

Setiap malam, saat Munding berada di rumahnya, yang dia dengar cuma desahan dan erangan Sutinah dengan lelaki-lelaki itu. Yang kemudian biasanya diakhiri dengan teriakan panjang si lelaki.

Sri Rahayu, kakak Munding yang dua tahun lebih tua dari Munding, selalu meringkuk diatas kasurnya dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut setiap malam. Seolah-olah tidak ingin membiarkan suara-suara dari kamar ibunya masuk ke dalam telinganya.

Di rumah Pak Yai, setiap malam, Munding mendengar alunan Al-Quran dari mulut Nurul. Gadis kecil yang usianya satu tahun dibawah Munding tapi jauh lebih pintar mengaji daripada Munding.

Suara merdu yang membuatnya selalu terlelap dalam senyuman dan terlepas dari mimpi buruk yang dia dapat selama dua tahun ini.

Ya.

Sudah dua hari ini Munding tidak memimpikan kejadian keparat itu lagi, kecuali malam pertama waktu Munding menginap disini, sejak Munding mendengarkan suara Nurul sebelum tidur.

Tapi. Di rumah Pak Yai juga lah Munding mendapatkan siksaan.

Nurul mengajari Munding mengaji. Ketika Munding tidak bisa ataupun salah, Nurul akan bersungut-sungut dengan bibirnya. Ulah Nurul yang justru membuat gadis kecil itu makin manis dan lucu.

Pak Yai yang mengajari Munding tata cara wudhu dan sholat. Dan ketika Munding salah, bukan sungutan bibir yang dia dapat dari Pak Yai, tapi sabetan rotan ke bagian tubuhnya yang tidak terluka.

“Habis basahi rambut baru ke telinga. Bukan kaya gitu,” kata Pak Yai sambil mengayunkan rotan yang ada di tangannya ke paha Munding.

“Aduuuuuhhhhh,” rintih Munding sambil mengulangi gerakan yang salah.

Nurul yang melihat mereka sambil duduk di teras mushola cuma tertawa-tawa kecil melihat Munding disabet rotan oleh Bapaknya.

Dan itu terulang berkali-kali.

Meskipun Munding yakin kalau Pak Yai tentu tidak menyabetkan rotannya sekuat tenaga, tapi rasanya tetap sakit juga.

Dalam hati Munding pun mulai timbul rasa trauma ke rotan Pak Yai sedikit demi sedikit. Setiap dia melakukan kesalahan, secara reflek Munding akan melirik ke arah rotan Pak Yai. Menunggu kapan benda itu akan mendarat di tubuhnya.

Setelah dua hari tinggal disini. Luka memar Munding sudah mulai membaik dan menghilang. Pak Yai menyuruh Munding untuk masuk sekolah.

“Memarmu sudah hilang kan Le?” tanya Pak Yai ke Munding.

Mereka berdua duduk selepas sholat Isya di teras depan rumah Pak Yai.

“Sudah Pak Yai,” jawab Munding.

“Kalau gitu besok kamu berangkat sekolah ya!” kata Pak Yai.

“Iya Pak Yai,” jawab Munding.

“Udah kelas 6, sayang nanti sama ijazah SDmu.”

Mereka berdua terdiam sambil menikmati tempe goreng dan teh hangat yang dihidangkan oleh Bu Nyai. Munding hanya menunduk sambil menghabiskan tempe di tangannya.

“Nggg....” Munding terlihat mau berbicara tapi agak ragu-ragu.

Pak Yai mengrenyitkan dahinya melihat Munding, “Kamu mau ngomong apa?”

“Nganu Pak Yai,” jawab Munding pelan.

Pak Yai meraih rotan yang entah kenapa sejak dua hari lalu selalu ada di sampingya. Dia menyabetkan rotan itu ke lengan Munding yang duduk di depannya.

“Aduuuuhhhhhhhh,” teriak Munding.

“Kalau mau ngomong, ngomong aja, jangan ngona nganu, ngona nganu, laki-laki kok plintat plintut gitu,” kata Pak Yai.

Munding pun menarik napas dalam dan membulatkan tekadnya.

“Kalau dibolehin, Munding mau terus nginep di sini Pak Yai, maksud Munding, nginep di mushola sana Pak Yai,” kata Munding pelan.

Pak Yai terlihat berpikir sebentar.

“Kamu memang anak yatim Le, tapi Ibumu kan masih ada. Kamu juga punya saudara kan?” tanya Pak Yai.

Dan Munding akhirnya memutuskan untuk bercerita sejujurnya tentang keluarganya. Tapi Munding sama sekali tidak bercerita tentang penyebab kematian Bapaknya.

Pak Yai menghela napas panjang setelah dia mendengar cerita Munding. Anak kecil kelas 6 SD sudah mengalami kenyataan hidup sepahit Munding.

“Munding, apapun ceritanya, dia itu Ibumu, yang melahirkan kamu, kalau kamu mau tinggal disini kamu harus minta ijin ke Ibumu,” kata Pak Yai.

Munding hanya menundukkan kepalanya.

“Sudah malem ini. Kamu tidur sana! Besok masuk ke sekolah. Kalau Ibumu ngijinin kamu tinggal disini. Besok pulang sekolah bawa sekalian baju sama buku-bukumu,” lanjut Pak Yai.

Munding tersenyum mendengar kata-kata Pak Yai, itu artinya Pak Yai tidak keberatan kalau dia tinggal disini.

“Jangan seneng dulu! Kalau kamu tinggal disini, itu artinya kamu jadi tanggungan Bapak, Bapak musti tanggung jawab untuk makananmu dan biaya sekolahmu, jadi kamu nggak bisa seenaknya tinggal disini tapi nggak ngapa-ngapain,” kata Pak Yai.

“Yang pertama, kamu harus ngikut apa kata Bapak, apapun itu. Kalau kamu membangkang sama kata-kata Bapak, saat itu juga kamu harus angkat kaki dari sini. Ngerti Le?” tanya Pak Yai.

“Ngerti Pak Yai,” jawab Munding sambil menganggukkan kepalanya.

“Yang kedua, mushola itu jadi tanggung jawabmu. Mulai ngisi air, bersihin, nyapu, nyuci karpet pokoknya semua tugas yang kudu dilakuin ke mushola itu, harus kamu kerjakan. Ngerti Le?” tanya Pak Yai lagi.

“Iya Pak Yai,” jawab Munding.

“Bapak belum mikirin yang selanjutnya, dah sana tidur!” kata Pak Yai.

Munding mengangguk sambil setengah berlari ke arah mushola. Tempat yang digunakannya tidur selama dua hari terakhir ini. Dan mungkin akan dia gunakan lagi untuk hari-hari yang akan datang.

munding (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang