Chapter 42 - Slaughter

4.9K 250 17
                                    

Orang-orang suruhan Karto masih mengelilingi Munding yang tersungkur dengan napas terengah-engah di lantai. Pemuda itu terlihat memejamkan matanya dan seolah-olah sedang mengalami mimpi buruk karena wajahnya semakin pucat dan keringat mengalir deras dari kepalanya.

Darah masih tetap menetes ke lantai di bagian bawah luka Munding, tapi tidak sederas yang tadi karena Munding masih menekan luka tusukan pisau itu dengan telapak tangannya.

Keempat prajurit yang memperhatikan gerak-gerik Munding tiba-tiba merasakan sesuatu sedang terjadi kepada pemuda tersebut. Sesuatu yang membuat mereka merasa ketakutan. Sesuatu yang membuat naluri prajurit mereka menjerit-njerit akan adanya ancaman bahaya yang keluar dari tubuh pemuda yang tersungkur di lantai itu.

Mereka saling bertatapan mata dan tiba-tiba saja satu nama sebutan muncul di kepala mereka. Nama sebutan yang telah mereka dengar berulang kali dari kawan-kawan mereka yang kembali dari pelatihan komando pasukan elit ataupun kawan-kawan mereka yang kembali dari bertugas untuk pengamanan saat terjadi kerusuhan berskala nasional.

Serigala petarung.

Prajurit Pertama, yang dianggap paling senior dari mereka berempat, menggelengkan kepalanya, “tidak mungkin,” katanya menenangkan ketiga kawannya yang lain.

Tetapi sebagai seorang prajurit mereka selalu percaya kepada naluri mereka sendiri. Mereka mengambil posisi siaga meskipun berdiri di belakang lingkaran penjagaan yang dibuat oleh preman-preman Karto.

“Hehehehehehehehehe,” tiba-tiba terdengar suara tawa pelan dari Munding yang masih tersungkur di tanah.

“Hahahahahahahahahaha,” Munding tertawa kemudian membuka matanya dan melihat ke arah orang-orang yang mengelilinginya.

Booooooooommmmmmmmmm.

Semua orang yang berada di rumah itu tiba-tiba merasakan sesuatu seperti meledak di tubuh mereka. Meskipun mereka tidak mendengar suara ledakan tersebut tapi seluruh tubuh mereka bergetar karena rasa kaget dan ketakutan yang tiba-tiba muncul. Dan secara naluriah mereka semua melihat ke arah sumber rasa takut itu.

Munding.

Pemuda yang tadinya tersungkur di lantai itu kemudian mencoba berdiri pelan-pelan sambil tetap memegangi perutnya yang tertancap pisau. Tatapan matanya terlihat apathetic. Hampa. Seolah-olah semua yang ada di depannya adalah sesuatu yang sama sekali tidak penting.

Baik itu Karto, Ayu, Sutinah, preman-preman Karto ataupun prajurit-prajurit tanpa seragam itu. Semuanya terlihat tanpa arti bagaikan semut dimata manusia. Munding menunduk ke arah pisau yang tertancap di perutnya kemudian tanpa ragu mencabutnya dari sana.

Darah mengucur deras dari lukanya tapi kemudian dengan cepat darah itu berhenti. Luka Munding masih jelas terlihat disana dan tetap tidak hilang ataupun sembuh, tapi luka itu terlihat menutup dengan rapat, seperti dipaksa menutup karena kontraksi otot-otot perut di sekitarnya.

Munding kemudian melihat pisau kecil yang tadi digunakan oleh Ayu untuk menusuknya. Sebuah pisau kecil yang biasa dipakai untuk mengupas buah. Bukan sesuatu yang istimewa. Cuma pisau biasa yang sering kita jumpai dalam keseharian kita. Tapi pisau itu yang membuat Munding tersadar akan semuanya.

=====

Munding merasakan tubuhnya bergetar hebat ketika dia berjabat tangan dengan ‘nalurinya’.

“Percayalah padaku, jangan pernah ragukan nalurimu, karena kita adalah satu.”

‘Munding’ yang berdiri didepannya pelan-pelan mencair seperti es yang terkena panas. Tapi cairan itu masuk ke dalam tubuh Munding melalui telapak tangan yang masih dia pegang. Munding juga merasakan kalau ‘sesuatu’ mulai menyebar ke seluruh tubuhnya melalui telapak tangannya yang bersentuhan dengan ‘Munding’.

munding (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang