Chapter 20 - Kembali ke RSUD

5.6K 276 6
                                    

“Hoooeeeeeeekkkkkk, Hoek, Hoooooooooeeeeeeeeekkkkk.”

Munding muntah dengan sukses di pinggir jalan setelah dia memarkir motornya tak seberapa jauh dari RSUD Sukolilo. Seluruh tubuhnya bergetar ketakutan dan hampir saja air mata turun menggenang di matanya.

Munding bisa mengingat semua kejadian dengan jelas mulai dari saat dia datang di depan kios jamu sampai detik-detik saat dia berlari meninggalkan kios jamu tersebut. Munding bisa mengingat semuanya.

Dan itulah yang membuatnya muntah-muntah, ini kali pertama dalam hidupnya Munding melayangkan kepalan tinjunya ke orang lain. Selama ini Munding selalu memukul batang pohon mangga yang dibalut tali tambang untuk sasaran pukulannya.

Rasanya keras dan sakit.

Semakin keras Munding memukul si batang pohon mangga, semakin sakit juga akan dia rasakan di kepalan tangannya. Tapi, memukul orang lain, rasanya lain, sangat lain sekali.

Munding merasa kalau memukul orang lain terasa lembut, seperti memukul bantal yang diisi oleh kapas.

Munding tidak merasakan rasa sakit yang dia dapatkan sebagai balasan dari pukulan yang dia layangkan. Rasanya, seperti anda membuang sesuatu dan sesuatu itu hilang. Sesuatu itu terlepas bagaikan anak panah yang tak akan pernah kembali.

Munding juga bisa mengingat dengan jelas, betapa rapuhnya tubuh manusia. Hidung Saud yang patah, mata kirinya yang lebam dan entah berapa banyak luka sobek yang dia dapat karena pukulan Munding.

Munding merasa kalau manusia itu sangat rawan. Rentan. Dan mudah rusak.

Apalagi ketika Munding teringat apa yang dilakukan pada Mbak-mbak penjaga kios jamu. Semua itu seperti impulse, sesaat, tak diduga dan meledak-ledak. Munding merasa kalau dia baru saja menjadi seorang hewan buas.

Seorang pemangsa, yang cuma mengandalkan nalurinya untuk memangsa hewan lain yang lebih lemah. Yang berhubungan intim dimanapun dan kapanpun dia mau. Sama sekali tak terikat oleh norma yang berlaku. Pure instinct.

Dan Munding hampir menangis karenanya.

=====

“Sudah, Nurul tidur dulu, kok kuatir banget sih kamu?” kata Bu Nyai kepada Nurul yang ada dipelukkannya.

Mereka berdua masih menunggui Pak Yai yang dirawat inap di RSUD Sukolilo. Bu Nyai dan Nurul tidur di lantai sebelah ranjang yang telah dilapisi dengan tikar yang dibawa Nurul dan Munding dari rumah tadi.

“Nurul takut kalau Mas Munding kenapa-kenapa Bu,” kata Nurul pelan.

“Ibu yakin Masmu nggak bakalan kenapa-kenapa,” Bu Nyai mencoba menenangkan Nurul sambil mengelus-elus kepala anaknya.

“Assalamualaikum.”

Tiba-tiba terdengar suara Munding mengucapkan salam dari luar kamar rawat inap pelan. Nurul langsung bangkit berdiri dan melepaskan diri dari pelukan Ibunya.

“Kok lama banget sih Mas?” tanya Nurul yang sudah berdiri dan membuka pintu kamar rawat inap.

“Salamnya belum dijawab lho,” tegur Munding mencoba tersenyum meskipun terlihat kelelahan dan kalut.

“Waalaikumsalam. Mas kok basah kuyup gini? Mas hujan-hujanan ya? Kok nggak pake jas hujan tadi? Itu jumper hitam siapa yang Mas pake?” cerocos Nurul sambel memegang kedua tangan Munding.

“Banyak bener sih? Mana dulu yang mau dijawab?” tanya Munding.

Nurul cuma tersenyum malu, “Ini jaket siapa? Itu darah ya? Darah siapa Mas? Mas barusan ngapain sih?” dan berondongan pertanyaan Nurul pun kembali terulang seperti mode otomatis senapan AK-47.

Munding yang sedang kalut dan kelelahan melihat kearah bibir kecil Nurul yang sepertinya punya seribu satu pertanyaan itu. Dan tanpa pikir panjang Munding langsung menciumnya.

Nurul yang kaget karena serangan mendadak Munding pun gelagapan. Apalagi ada Ibunya yang Nurul tahu persis belum tertidur di sebelah mereka, cuma dibatasi oleh kelambu pembatas antar ranjang pasien.

“Mmmmmmmmmmmmmmm.”

Munding tak perduli, hanya suara dua mulut yang saling berciuman mesra terdengar di ruangan pasien ini. Bu Nyai yang pura-pura tertidur cuma bisa tersenyum kecut.

“Haaaaaaaaahhh. Masss, Ibu tu belum tidur lho Mas,” bisik Nurul lirih ke telinga Munding setelah dia menghela napas tadi.

“Makanya Dek Nurul tu jangan bawel. Nanya satu-satu. Mas capek banget,” kata Munding.

“Itu jaket siapa sih kok banyak banget darahnya?” tanya Nurul.

“Ini jaket orang yang mukul kepala Bapak, ini darah dia, bukan darah Mas,” jawab Munding pelan.

Nurul menutup mulutnya karena kaget dan kemudian dia langsung memukul dada Munding dengan kedua tangannya. Nurul tiba-tiba menangis terisak-isak.

“Mas ngapain sih pake nyari dia segala? Mas mau balas dendam gitu? Untungnya apa? Nggak ada kan? Sekalipun Mas udah bisa mbales ke dia, terus habis ini apa? Dia nggak terima, terus dia nyari Mas lagi gitu? Dan nanti terulang lagi, ini lingkaran setan tanpa henti Mas!!” kata Nurul dan kali ini Munding harus akui kalau Nurul jauh lebih dewasa dari usianya yang sebenarnya.

Nurul menangis terisak-isak dalam pelukan Munding setelah puas mengayunkan pukulannya ke dada Munding, yang dia tahu nggak akan berasa sama sekali ke tubuh Munding.

“Mas, minta maaf dek,” bisik Munding pelan ke telinga Nurul yang ada di pelukannya.

=====

Beberapa hari kemudian.

Munding dan Nurul lebih banyak menghabiskan waktunya di RSUD Sukolilo dan jika ada barang yang perlu diambil ke rumah ataupun dibeli ke minimarket, Bu Nyai akan menyuruh Munding untuk mengambilnya.

Sendirian.

Berkali-kali Nurul merengek ke Ibunya agar diijinin ikut pulang ke rumah bersama Munding tapi Bu Nyai tetep kekeuh nggak ngasih ijin. Dia tahu niat jahat putrinya.

Tapi hari ini adalah hari yang spesial. Pak Yai sadarkan diri. Dia begitu senang ketika melihat istrinya, anaknya dan anak angkatnya berkumpul menungguinya di ruang rawat inap di rumah sakit. Pak Yai sama sekali tidak bercerita apa-apa soal kejadian pemukulan di pasar itu, seolah-olah itu hanya perbuatan orang iseng yang kelewatan.

Bu Nyai dan Nurul menjadi lebih ceria setelah Pak Yai sadarkan diri, dan Munding pun juga. Tapi Munding dan Nurul masih tetap harus bersekolah dan pada jam-jam sekolah hanya Bu Nyai yang menemani Pak Yai di rumah sakit.

=====

Saud dengan muka penuh perban dan balutan di kepalanya sedang berdiri didampingi salah satu kawannya yang ada saat kejadian di kios jamu Pasar Sukolilo malam itu.

Di hadapan mereka duduk seseorang berpakaian dinas polisi. Di luar ruangan, orang bisa membaca dengan jelas plakat yang tergantung di depan pintu. Kapolsek Sukolilo.

“Ndan, kita harus ciduk bocah itu, kalau dibiarin bisa-bisa dia tumbuh jadi penyakit baru yang diluar kendali kita,” kata Saud pelan kepada pria yang dipanggilnya ‘Ndan’.

Plat nama bisa ditemukan di dada pria yang dipanggil ‘Ndan’ oleh Saud. Suprapto. Pendek tegas dan lugas, sebuah nama khas Jawa pada masanya.

“Coba kamu ceritakan dulu, gimana caranya kamu bisa kalah sama bocah ingusan usia SMA,” kata Suprapto pelan sambil tersenyum.

Saud pun menceritakan kejadian versi dia, dimana dia juga menambahkan kalau si bocah ingusan itu sama sekali tidak mengerti aturan maen duel, sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk bersiap-siap. Hingga akhirnya cerita Saud berhenti saat dia dijambak dan jadi bulan-bulanan pukulan Munding.

“Habis itu?” kata Suprapto pelan.

“Habis itu aku pingsan Ndan, mana kutahu lagi kelanjutannya, si Badrun ni yang tahu,” kata Saud sambil menunjuk ke kawan yang berdiri di sampingnya.

munding (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang