Chapter 8 - Pindah sekolah

5.1K 364 13
                                    

Munding pelan-pelan membuka matanya. Dia merasakan ada rasa nyeri yang berasal dari pelipis kirinya. Munding kemudian mengangkat tangannya dan mencoba memegang bagian yang terasa sakit. Dan dia menemukan perban yang dibalut rapi disana.

Munding kecil berusaha melihat ke sekitarnya dan mencoba untuk mencari tahu dimana dia sekarang berada. Tapi ruangan ini terasa sangat asing baginya. Meskipun Munding tahu, tempat ini bukanlah ruang perawatan yang ada di Puskemas desa.

“Mas Munding sudah siuman?” terdengar suara seorang gadis kecil dari samping ranjang tempat Munding berbaring.

Munding menoleh dan melihat seorang gadis kecil yang terlihat habis menangis dan duduk di kursi di sebelah ranjang tempat Munding berbaring.

“Dek Nurul? Mas Munding dimana ini?” tanya Munding.

“Ini kamar Nurul, tadi Bapak manggil Bu Bidan untuk merawat Mas Munding. Nurul takut, tadi darahnya banyak banget,” jawab Nurul.

Munding mendengar sayup-sayup suara orang yang sedang berbicara di luar dan Munding mengenali salah satu suara itu.

Melihat Munding sudah sadarkan diri, Nurul berdiri sambil tersenyum ke arah Munding, “Nurul panggilin Bapak dulu ya?”

“Bapak, Mas Munding sudah siuman,” kata Nurul setelah dia keluar dari kamarnya.

Tak lama kemudian, dua orang lelaki masuk ke dalam kamar Nurul tempat Munding berbaring. Salah satu dari mereka adalah Pak Yai.

“Razak, kamu liat sendiri tu! Masak iya kalau kenakalan anak-anak bisa sampai bocor kepalanya seperti itu? Ini sudah jelas kelewatan. Yang lebih parah lagi waktu aku nemu si Munding pertama kali. Kamu tanya sama Nurul aja, gimana kondisi Munding waktu itu,” kata Pak Yai ke lelaki yang berdiri di sebelahnya.

Lelaki yang dipanggil ‘Razak’ oleh Pak Yai ini mengamati keadaan Munding sebentar kemudian menarik napas dalam.

“Siapa yang melukai kamu sampai begini Le? Yang kemarin dulu juga?” tanya Pak Razak ke Munding.

Munding hanya terdiam dan melirik ke Pak Yai. Pak Yai tersenyum ke arah Munding, “nggak pa-pa kamu jawab aja pertanyaan Pak Razak, dia kepala desa Sumber Rejo,” jelas Pak Yai.

“Yang nglempar batu kawan Munding Pak, namanya Joko, Joko Sentono,” jawab Munding pelan.

“Keliatannya memang udah kelewatan ulah anak Si Karto itu. Ya sudah, nanti aku usahakan, untuk sementara biar dia istirahat di rumah dulu,” kata Razak ke arah Pak Yai.

Pak Razak pun keluar dari kamar dan diikuti oleh Pak Yai. Tak lama terdengar suara motor meninggalkan halaman rumah Pak Yai.

=====

Beberapa hari kemudian, barulah Munding tahu apa yang dimaksud dengan kata-kata Pak Razak ‘diusahakan’. Ternyata Pak Yai minta tolong Pak Razak untuk mengurus pindahnya Munding ke SDN Sumber Rejo. Jadi Munding nggak perlu sekolah lagi di SD-nya yang lama.

Munding senang sekali ketika mendengar kabar itu. Meskipun sekolah SD tinggal beberapa bulan saja tapi setidaknya Munding tidak perlu merasakan bullyan dari Joko dan kawan-kawannya.

Tapi, selain Munding, ada yang lebih seneng lagi saat Munding berhasil pindah ke SDN Sumber Rejo. Nurul, putri Pak Yai. Waktu ditanya sama Ibunya, kenapa Nurul seneng banget? Nurul menjawab, akhirnya Nurul punya kakak yang bisa diajak pulang pergi ke sekolah bareng.

=====

Munding sudah mulai masuk di sekolah barunya. Memang Munding sama sekali tidak kenal dengan anak-anak di sekolah ini, tapi Munding merasa lebih aman dan tenang untuk menerima pelajaran sekolah. Apalagi sebentar lagi akan ada evaluasi akhir.

Luka di pelipis Munding pun mulai mengering. Berbeda dengan luka memar, pelipis Munding yang sobek memang membutuhkan beberapa buah jahitan untuk menutup lukanya kembali.

Sore itu, selepas Ashar, Munding mengaji seperti biasanya bersama Nurul. Meskipun masih patah-patah, tapi Munding mulai lancar membaca Al Qur’an.

Tetapi entah kenapa, Pak Yai menemani mereka mengaji hari ini.

Karena Munding mengalami kemajuan dalam mengajinya, Nurul jadi lebih jarang marah-marah ke Munding. Cuma Pak Yai aja yang sama sekali nggak mengurangi sabetan rotan ke tubuh Munding.

“Nurul, ngajinya udah dulu. Bapak mau ngomong sama Munding,” kata Pak Yai.

“Nggih Pak,” jawab Nurul sambil mengangguk.

Nurul merapikan Iqro’ yang berserakan di meja yang dipakai untuk mengaji dibantu oleh Munding. Tak lama kemudian meja itu pun sudah rapi kembali.

“Le, sini!!” kata Pak Yai.

Munding mendekat ke arah Pak Yai, sesampainya di dekat Pak Yai, Munding duduk di sebelahnya. Nurul kemudian masuk ke dalam rumah sambil membawa Al Quran miliknya.

“Kamu itu kan laki-laki Le, tapi kok seringkali dinakali sama temenmu. Memangnya kamu nggak pernah melawan?” tanya Pak Yai.

Munding menunduk, kemudian dia menjawab, “Munding dulu melawan Pak Yai, tapi mereka selalu keroyokan, paling sedikit 6 orang, kadang lebih, mereka nggak pernah nakali Munding kalau lagi sendirian.”

Pak Yai mengrenyitkan dahinya, “dulu itu maksudnya sejak kapan?”

“Sejak dua tahun yang lalu Pak Yai, sejak Bapak Munding meninggal waktu kelas 4 SD,” jawab Munding.

“Jadi kamu tu sudah dinakali terus sama kawan-kawanmu selama hampir 2 tahunan?” tanya Pak Yai agak kaget.

“Iya Pak Yai,” jawab Munding pelan.

“Lha apa Ibumu diem aja to?” kata Pak Yai.

“Justru Ibu yang jadi alasan mereka nakali Munding, Pak Yai. Ibu sendiri kalau ngeliat Munding luka-luka biasanya dia diem aja, tapi waktu pas dulu Munding ngelawan, terus ada anak yang terluka, Ibu malah ngamuk sama Munding, karena Bapaknya datang ke rumah,” jawab Munding.

Pak Yai menghela napas dalam-dalam. Munding memang sudah cerita soal kelakuan Ibunya si Janda Sutinah, tapi dia nggak pernah menyangka kalau seorang ibu kandung bisa setega itu dengan anaknya sendiri.

“Udah gini aja, mulai besok sore ba’da ashar, kamu latihan silat, Bapak yang ajari,” kata Pak Yai.

“Ngajinya gimana Pak Yai?” tanya Munding.

“Kamu ngaji sama Nurul selepas Maghrib, kan wudhu sama sholat sudah bisa, biar nanti Nurul masih bisa tadarus selepas Isya seperti biasanya,” jawab Pak Yai.

“Iya Pak Yai,” jawab Munding.

Dan Munding pun akhirnya mulai belajar silat dari Pak Yai.

munding (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang