Chapter 44 - Hunt - part 2

4.6K 281 14
                                    

Munding tanpa ragu dan dengan cepat meloncat ke dalam kedung yang ada di belakangnya. Dia menyelam ke dalam air tanpa memperdulikan tubuhnya yang kelelahan ataupun rasa perih dari lukanya.

Munding menyelam dalam air dan meraba-raba dengan kedua tangannya. Kondisi malam hari yang gelap membuatnya tidak bisa melihat di dalam air, apalagi suasana di atas sana.

Kedalaman sungai di bagian kedung itu memang tidak terlalu dalam, cuma 1,5 meter. Kalau Munding berdiri, seharusnya kedalam air itu tidak akan bisa membuatnya tenggelam. Tapi saat Munding merebahkan diri, seluruh tubuhnya terendam dalam air.

“Kemana bangsat itu berlari?” kata seseorang yang tiba-tiba muncul dari sela-sela pepohonan, sepucuk pistol sudah siap di tangannya.

“Aku yakin dia berlari ke arah sini,” kata rekannya yang juga sama-sama memegang sebuah pistol.

Munding yang masih di dalam air, sama sekali tidak tahu kalau ternyata dua orang prajurit yang tadi ada di rumah Ayu sekarang berdiri di pinggir sungai dalam jarak yang sangat dekat dengannya.

Munding tetap mencoba menahan napas dan menyelam dalam air, karena nalurinya menyuruhnya begitu dan ancaman bahaya yang dia rasakan semakin kuat dari atas sana.

Salah seorang prajurit itu melihat ke sekelilingnya dan dengan cepat dia bergerak ke tepian sungai tempat Munding tadi mencuci lukanya.

“Lihat ini!!” kata Prajurit itu, “ini tetesan darah, berarti benar dugaanku, dia tadi berada disini. Darahnya masih belum mengering. Itu artinya, dia baru saja berada disini dan jaraknya pasti belum jauh dari sini.”

Prajurit yang satunya mendekat dan mengamati bekas darah yang ditunjukkan rekannya dan mengambil kesimpulan yang sama.

Mereka berdua kemudian berdiri dan mengamati sekelilingnya. Seperti dikomando mereka berdua melepaskan pengaman yang ada di pistol mereka dan mengambil posisi siap menembak. Pandangan mata mereka berputar kesana kemari mencari sasaran yang diincarnya.

Munding yang berada di dalam air, merasakan dadanya panas karena telah menahan napas sekian lama. Ditambah dengan sekujur tubuhnya yang terasa lelah dan rasa perih dari lukanya, Munding ingin sekali segera berdiri dan menghirup udara segar sepuasnya.

Tapi dia tetap bertahan.

Karena ancaman bahaya yang dia rasakan masih belum hilang dan justru bertambah kuat. Munding memegang batu yang ada didasar sungai dengan kuat, seolah-olah dia takut kalau dia melepaskan pegangannya, tubuh Munding akan otomatis meloncat berdiri karena rasa sesak yang memenuhi paru-parunya.

Kedua prajurit yang berdiri dengan siaga di pinggir sungai kembali rileks setelah melihat melihat ke sekelilingnya dengan kewaspadaan penuh selama beberapa detik.

“Kurasa dia sudah meninggalkan tempat ini,” kata salah satu dari mereka.

“Menurutmu ke arah mana bocah itu pergi?” jawab rekannya.

“Berdasarkan logika, seharusnya dia berlari kearah berlawanan arah dari tempat yang dianggapnya paling berbahaya. Arah dari mana kita berasal,” jawab prajurit satunya.

Mereka berdua menganggukkan kepalanya dan dengan serentak mereka meloncat dengan lincah di atas bebatuan. Mereka kembali berlari menuju arah yang berlawanan dari arah mereka datang tadi. Tak lama kemudian bayangan mereka pun hilang diantara pepohonan lebat yang ada di pinggir sungai itu.

Munding merasakan dada dan paru-parunya panas sekali dan hampir meledak. Dia kehabisan napas di dalam air. Tapi dia terus menunggu dan menunggu. Dia yakin sepenuhnya kalau semua yang nalurinya tunjukkan adalah jalan baginya untuk bertahan hidup.

Ketika akhirnya ancaman bahaya yang dia rasakan berangsur-angsur hilang, tanpa ragu Munding langsung berdiri dan menyembulkan kepalanya dari air. Munding menarik napas sepanjang-panjangnya. Munding merasa lega setelah beberapa detik udara mengisi kembali paru-parunya.

Saat Munding mengeluarkan kepalanya dari air tadi, dia sempat melihat dua kelebat bayangan berlari di antara pepohonan yang ada di tepi sungai. Gerakan mereka lincah dan terlatih, Munding tahu kalau tadi bukanlah preman-preman Karto.

Munding berjalan terseok-seok ke tepi sungai dan ketika sampai disana, dia merebahkan tubuhnya ke atas bebatuan kecil yang ada di pinggir sungai. Setelah apa yang dia alami malam ini, bebatuan itu terasa senikmat sajadah mushola bagi tubuh Munding yang menjerit kelelahan dan kesakitan.

‘Mereka tadi pasti prajurit yang ada di rumah Karto, berarti mereka memutuskan untuk memburuku. Mereka berniat menghabisiku,’ kata Munding dalam hati.

Munding yang berbaring di pinggiran sungai, melihat ke arah langit malam yang dipenuhi bintang. Pelan-pelan dia mencoba merasakan kembali kondisi tubuhnya. Dia ingin tahu seberapa lama dia harus beristirahat untuk mengembalikan kondisi tubuhnya seperti semula. Paling tidak cukup untuk mempertahankan dirinya.

‘Apa yang harus kulakukan sekarang?’ tanya Munding dalam hati.

‘Secara garis besar, aku sudah tahu semuanya. Siapa pembunuh Bapakku. Kebohongan Ayu. Bahkan aku juga berhasil menjalani proses inisiasiku.’

‘Haruskah aku kembali ke Sumber Rejo sekarang dan merawat lukaku? Atau aku tetap disini dan mencari cara untuk menyembunyikan diri?’

Munding berpikir dengan cepat untuk mencari solusi bagi dirinya sendiri, di tempat yang bahkan dia sendiri tidak tahu ada dimana.

=====

Tidak seperti kedua rekannya, Prajurit Pertama dan Prajurit Ketiga berdiri di jembatan yang menjadi penghubung antara desa Sukorejo dan Sumber Rejo. Jembatan yang mejadi satu-satunya akses antara kedua desa tersebut.

Bagi seseorang untuk bisa berpergian antara kedua desa tersebut satu-satunya jalan adalah dengan menggunakan jembatan ini. Atau tentu saja kalau dia memilih berenang menyeberangi sungai yang menjadi pembatas antara kedua desa tersebut.

Dan mereka berdua tahu kalau Munding tidak akan mungkin sanggup berenang melawan derasnya arus sungai dengan kondisi tubuhnya yang seperti itu.

“Kita sudah menunggu hampir satu jam disini, tapi bocah itu sama sekali tidak kelihatan. Sampai berapa lama lagi kita harus menunggu?” gerutu Prajurit Pertama yang mulai terlihat tidak sabar.

Prajurit Ketiga cuma tersenyum, “berarti dia masih ada di Sukorejo. Aku berharap rekan kita tidak berjumpa dengannya.”

“Apa maksudmu?” tanya Prajurit Pertama kebingungan ke arah Prajurit Ketiga.

“Kamu tahu alasanku memilih menunggu bocah itu disini?” Prajurit Ketiga bertanya balik ke Prajurit Pertama.

Prajurit Pertama menggelengkan kepalanya. Dia memang sudah mengakui sejak dulu kalau rekannya ini adalah yang paling cerdas diantara rekan-rekannya yang lain. Jadi dia sama sekali tidak pernah malu untuk mengakuinya.

“Kalau bocah itu datang kesini, aku akan mempersilakan dia lewat dan bahkan akan membantunya mencegah orang-orang Karto mengejarnya,” kata Prajurit Ketiga sambil tertawa.

Prajurit Pertama terlihat kebingungan dengan tingkah rekannya.

“Kamu pikir nyawa kita seharga duit 20 juta rupiah dan tubuh lonte yang entah sudah dinikmati berapa laki-laki itu?” tanya Prajurit Ketiga kearah Prajurit Pertama dengan tatapan mata yang terlihat agak marah.

“Aku tidak ingin kita punya masalah dengan kawanan serigala yang mendidik bocah itu. Sekalipun kita berhasil menghabisinya malam ini. Aku yakin kalau kita tidak akan mempunyai kesempatan untuk menikmati bayaran kita. Dan aku tidak mau membuang selembar nyawaku sedemikian mudahnya,” lanjut Prajurit Ketiga.

Prajurit Pertama cuma terdiam dan dia akhirnya mulai paham.

“Karena itu, aku berharap bocah itu tidak berjumpa dengan rekan-rekan kita. Biarkan Karto si Bangsat itu merasakan sendiri akibatnya mencari masalah dengan seseorang yang mendedikasikan hidupnya untuk bertahan hidup dengan menempa dirinya sendiri.”

“Bukankah kita dan bocah itu sebenarnya sama?” tanya Prajurit Ketiga pelan, seolah-olah bertanya kepada dirinya sendiri.

Dan malam itu, dua orang laki-laki berbadan tegap berdiri di tengah-tengah jembatan dalam diam dan larut dengan pikirannya masing-masing.

munding (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang