Chapter 23 - Kepastian part 1

5.2K 283 12
                                    

Suprapto memarkir mobilnya di halaman parkir RSUD Sukolilo. Dia kemudian berjalan ke arah bagian informasi yang tepat berada di dekat pintu masuk RSUD.

“Selamat siang,” kata Suprapto kepada salah satu petugas yang ada di meja informasi.

“Selamat siang Pak, ada yang bisa kami bantu?”

“Saya ingin membesuk pasien atas nama Ahmad Hanbali. Kalau boleh tahu, beliau dirawat di mana ya?” kata Suprapto.

Si Mbak Perawat kemudian membuka buku yang ada di meja depannya. Mencari sebentar dalam daftar pasien yang ada disana, kemudian menjawab Suprapto dengan sopan, “Pak Ahmad dirawat di Ruang 207 Pak. Bapak bisa langsung ke arah kanan kemudian naek ke lantai dua melalui tangga. Mohon maaf, lift cuma boleh digunakan untuk pasien.”

“Terima kasih Mbak,” jawab Suprapto.

Tak lama kemudian Suprapto sudah berdiri di depan kamar rawat inap yang terletak di lantai dua RSUD Sukolilo. Di depan kamar tertempel nomor ruangan 207.

“Assalamualaikum,” Suprapto mengucap salam dari luar.

“Waalaikumsalam, masuk saja,” terdengar jawaban dari dalam.

Suprapto kemudian masuk ke dalam ruangan tersebut. Ada dua ranjang pasien di dalam tapi hanya satu yang ditempati. Suprapto melihat seorang laki-laki paruh baya yang sedang disuapi oleh seorang wanita yang mengenakan jilbab.

Kepala laki-laki tersebut masih dibalut perban, tapi dia terlihat bahagia dan menikmati suapan istrinya sambil terkadang tertawa dan bercanda.

Potret sebuah keluarga kecil bahagia.

Bu Nyai melirik ke arah Suprapto yang baru saja masuk ke dalam ruangan dan ketika dia menemukan kalau tamu yang kali ini membesuk suaminya adalah seorang polisi berseragam lengkap, raut muka Bu Nyai berubah agak cemas.

Pak Yai memegang tangan Bu Nyai yang sedikit gemetar, “Buk, ambilin Bapak teh anget ya?” kata Pak Yai.

Bu Nyai mengerti maksud suaminya, kemudian dia berdiri, mengangguk sebentar ke arah Suprapto dan berjalan meninggalkan kamar tersebut.

Suprapto berjalan mendekati ke ranjang tempat Pak Yai berbaring. Kemudian dia berdiri di samping ranjang. Sebaliknya Pak Yai juga sempat melirik ke arah tanda pangkat di atas pundak Suprapto. Pak Yai tahu kalau dia sedang berhadapan dengan orang yang mempunyai posisi lumayan tinggi di kepolisian.

“Bapak Ahmad Hanbali, atau mungkin lebih enak kalau saya panggil Pak Yai. Perkenalkan, nama saya Suprapto. Saya bertugas di Polsek Sukolilo, kebetulan diserahi tanggung jawab sebagai Kapolsek untuk saat ini. Ada sesuatu yang ingin saya tanyakan kepada Pak Yai, kalau anda tidak keberatan,” kata Suprapto dengan nada sopan.

Pak Yai tersenyum, sesuai dugaannya, petugas yang berdiri didepannya ternyata menjabat sebagai Kapolsek, itu artinya, dia polisi dengan jabatan tertinggi di Sukolilo, tapi justru hal itu menimbulkan tanda tanya. Kenapa seorang polisi dengan posisi sepenting itu datang mencarinya?

“Silahkan saja Pak Suprapto, saya akan dengan senang hati membantu,” jawab Pak Yai sambil tersenyum.

“Beberapa malam lalu, terjadi perkelahian di pasar Sukolilo. Menurut saksi mata, seorang pemuda berusia belasan tahun datang dan sengaja menantang warga yang kebetulan sedang berkumpul di sana.”

“Saat itu ada tujuh orang warga, pemuda ini menghajar mereka sendirian. Dari ketujuh warga tersebut dua orang terluka parah, dua orang luka ringan dan tiga lainnya mengalami trauma kejiwaan.”

“Mohon maaf Pak Suprapto, saya tidak melihat adanya kaitan perkelahian itu dengan saya. Seperti yang Bapak tahu, saya sudah dirawat di rumah sakit ini bahkan sebelum adanya kejadian itu,” potong Pak Yai.

“Saya tahu itu Pak Yai, tapi salah satu warga yang terluka parah adalah seseorang yang telah memukul kepala anda dengan botol di siang harinya. Menurut Pak Yai apakah ini hanya suatu kebetulan?” tanya Suprapto.

Pak Yai terdiam. Pikirannya bekerja dengan cepat. Dalam beberapa detik saja, dia tahu kalau si pemuda itu kemungkinan besar pasti anak angkatnya sendiri, si Munding.

Karena itulah kepolisian mengejar jejaknya sampai kesini. Tapi Pak Yai juga tak habis pikir, untuk kasus sekelas perkelahian seperti ini, haruskah seorang Kapolsek turun tangan sendiri?

“Menurut saya pribadi, belum tentu juga hal ini berkaitan dengan saya Pak Suprapto. Saya juga sedikit bertanya-tanya, warga yang anda ceritakan sebagai korban itu adalah orang yang sama yang memukul kepala saya. Menurut anda, warga seperti apa yang melakukan tindakan seperti itu?” kata Pak Yai.

Sebelum Suprapto sempat menjawab, Pak Yai melanjutkan kata-katanya, “kita semua orang dewasa dan berpengetahuan, tidak usah berbelit-belit menutupi fakta, saya rasa ketujuh orang itu adalah preman kan? Dan sebagai seorang preman, sudah sewajarnya kalau mereka memiliki banyak musuh. Karena itu dari awal saya selalu bertanya-tanya, alasan apa yang membawa Pak Suprapto mengunjungi saya?”

Suprapto terdiam. Memang alasan yang dia katakan tadi terkesan dibuat-buat. Belum tentu juga pelaku penyerangan ke kelompok Saud ada kaitannya dengan Pak Yai. Tapi ada satu hal yang membuatnya yakin. Pengakuan Badrun dan dua orang kawannya.

Suprapto sekarang mengalami dilemma. Untuk menciptakan serigala petarung yang terlatih dibutuhkan serigala petarung lain. Kalau si bocah bernama ‘Kebo’ itu adalah seekor serigala petarung, itu berarti Pak Yai yang ada di depannya tentunya sama. Dan dengan background pondok pesantren Pak Yai, itu artinya dia punya kawanan.

Suprapto kembali teringat kata-kata Umar, “jangan pernah cari masalah dengan kawanan serigala petarung.”

munding (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang