Chapter 11 - Masa kritis sudah terlewati

5.3K 335 6
                                    

Munding dan Nurul berdiri di samping sebuah ranjang. Ranjang tempat Pak Yai berbaring dengan kepala yang hampir seluruhnya dibalut perban dan mulutnya diberi masker oksigen. Selang infus juga terlihat menancap di tangannya.

Seperti dugaan Munding, Bu Nyai sudah lebih dahulu menyusul suaminya ke RSUD Sukolilo. Nurul berdiri di samping ranjang dan menangis dalam pelukan Munding. Munding cuma menatap nanar kearah Pak Yai yang masih tak sadarkan diri.

Selain Pak Yai dan Bu Nyai, ada satu orang lagi di RSUD yang juga ikut menunggui Pak Yai. Dia adalah Abdul Razak, kepala desa Sumber Rejo, kawan dekat Pak Yai. Saat Munding dan Nurul datang ke ICU, Pak Razak minta ijin keluar bentar, meninggalkan ketiga orang tersebut mendampingi sahabatnya.

Nurul masih menangis terisak-isak dalam pelukan Munding. Bu Nyai cuma melirik ke arah anak gadisnya dan tersenyum. Anak gadisnya yang dia tahu memang sudah lama memendam rasa untuk kakak angkatnya sendiri, Munding.

“Nurul, sini! Kata dokter masa kritis Bapakmu sudah lewat kok. Tadi udah dioperasi ringan dan dilakukan penjahitan. Jangan sedih ya Nduk. Kita tinggal nunggu Bapak siuman saja kok,” kata Bu Nyai menenangkan anak gadisnya.

Nurul berjalan mendekati Ibunya, kemudian dia duduk di sebelah Ibunya dan memeluknya. Tapi tangisan Nurul sudah mulai mereda. Munding melihat ke arah Bu Nyai dan memberi isyarat untuk meminta ijin keluar sebentar.

Munding mencari-cari ke sekeliling area ICU tapi tidak menemukan sosok Pak Razak. Dia mulai berjalan ke arah parkiran motor dan melihat Pak Razak sedang duduk di trotoar, di pinggir jalan raya, sebatang rokok terselip di tangannya.

Munding duduk di sebelah Pak Razak. Pak Razak mengacungkan bungkus rokoknya ke Munding dan Munding mengambilnya sebatang. Munding mencoba menyalakannya kemudian menghisapnya.

Uhuk uhukkkk uhukkkkk

Dan Munding pun habis terbatuk-batuk. Pak Razak tertawa terbahak-bahak melihat Munding.

“Hahahahahahahahahah, aku sudah tahu kalau kamu bakalan batuk Le, kamu itu dari kelas 6 SD sudah ngikut si Ahmad, kalau kamu sampe berani ngrokok, pasti habis kamu dihajar pake batang rotan dia,” kata Pak Razak sambil tertawa-tawa.

Munding masih membungkuk-mbungkuk memegangi dada dan tenggorokannya yang terasa perih. Lubang hidungnya pun terasa agak perih, seperti ada sesuatu yang lewat barusan disana.

Beberapa saat kemudian, Munding mencoba menghisapnya untuk yang kedua kali dan sekarang terasa tidak begitu menyakitkan seperti yang pertama tadi.

“Gimana enakan? Jangan kasih tahu Ahmad kalau aku yang ngajari kamu ya Le,” sambung Pak Razak sambil tersenyum.

“Pak Dhe, siapa yang nyerang Pak Yai?” tanya Munding pendek.

“Kamu itu ngomong apa Le?” jawab Pak Razak.

“Pak Dhe, Munding itu sudah besar, Munding tahu apa yang terjadi sama Pak Yai, jadi lebih baik Pak Dhe terus terang saja ke Munding,” kata Munding.

Pak Razak menarik napas, “Ahmad itu cuma berada di tempat yang salah dan waktu yang salah. Tadi siang gerombolan preman pasar Sukolilo sedang minum-minum di depan pasar.”

“Kebetulan Ahmad lewat situ karena mau jemput istrinya. Mungkin karena ngelihat dia pake peci dan sarung, mereka marah atau merasa tersindir, tiba-tiba saja salah seorang dari mereka memukul kepala Ahmad dari belakang dengan botol minuman.”

“Ahmad kemudian terjatuh, untung dia ditolong sama rombongan tukang ojek yang mangkal disitu terus dilarikan ke RSUD.”

“Tadi sempat kritis karena kata dokter ada pecahan botol yang nancap di kepalanya, takutnya nyampe ke bagian dalam. Alhamdulillah ternyata cuma serpihan saja. Jadi kritisnya udah lewat. Ini tinggal pemulihan saja.”

“Polisi udah ada tindakan Pak Dhe?” tanya Munding pelan.

“Le, di tempat kita yang terpencil ini, cuma ada satu polsek kecil yang isinya cuma beberapa petugas saja. Kalau lah memang mereka sanggup menangani gerombolan itu, sudah dari dulu mereka diciduk dan nggak dibiarin membuat warga resah di pasar,” kata Pak Razak.

“Belum lagi kalau lihat bekingnya si Saud..” gumam Pak Razak pelan seolah takut didengar orang.

“Pak Dhe juga tahu kasus Wage, Bapakmu, dia pemuda yang baik dan sederhana. Nggak aneh-aneh, tapi takdir berkata lain,” lanjut Pak Razak.

Munding hanya terdiam. Tak lama kemudian dia pamit ke Pak Razak dan minta ijin masuk ke dalam. Sesampainya di dalam, Pak Yai belum tersadar juga. Tapi karena kondisi kritis sudah lewat, pihak RSUD akan memindahkan Pak Yai ke ruang rawat inap.

“Le, ambilin selimut dan baju ganti untuk Bapak dan Ibu ya?” kata Bu Nyai kepada Munding.

“Iya Bu Nyai,” jawab Munding.

Munding pun berjalan keluar dari ICU. Melihat Munding berjalan keluar ruangan, Nurul yang tadinya bimbang tiba-tiba mengambil keputusan.

“Ibu, Nurul ikut pulang Mas Munding ya, ini masih pake baju seragam. Lagian kan Mas Munding nggak ngerti baju Bapak Ibu naruhnya dimana. Kan Nurul yang setrika?” kata Nurul.

“Ya udah sana, ini sekalian kamu nanti ajak Munding makan siang ya. Di rumah Ibu belum sempat masak apa-apa. Bungkusin Ibu juga,” kata Bu Nyai sambil memberikan selembar uang seratus ribuan ke Nurul.

“Makasih Ibu, Assalamualaikumm” Nurul mencium tangan Ibu dan secepat kilat meninggalkan ruang ICU, lari menyusul Munding.

Munding sudah naik di atas motornya dan sudah menyalakan motornya ketika tiba-tiba Munding mendengar suara teriakan memanggil namanya.

“Masssssss, Mas Mundingggggg.”

Munding menoleh kebelakang dan melihat Nurul yang berlari sambil terengah-engah ke arah Munding dan melambai-lambaikan tangannya.

“Dek Nurul ngapain?” tanya Munding.

“Mau ikut pulang,” jawab Nurul.

“Yang nemenin Ibu siapa?” tanya Munding.

“Emang Mas Munding tahu baju Bapak Ibu dimana?” balas Nurul.

Munding terdiam dan dengan sigap Nurul naek keatas motor dan memeluk Munding yang masih terbengong.

munding (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang