Chapter 13 - Our First Time Part 2

7.1K 276 29
                                    

Munding terdiam mendengar kata-kata Nurul. Munding juga selama ini sadar kalau Nurul nggak pernah menganggap Munding sebagai 'kakak', Munding juga tahu kalau Nurul itu sayang dia, tapi Munding terlalu banyak berhutang budi pada Pak Yai.

"Kita lihat lagi nanti kalau kita sudah lebih dewasa ya Dek?" kata Munding pelan.

Nurul terdiam mendengar jawaban Munding. 'Mas Munding nolak aku?' kata batin Nurul dengan ragu-ragu.

Tiba-tiba saja ada rasa sakit di dada Nurul membayangkan kemungkinan kalau Munding nolak dirinya. Nurul tidak bisa membayangkan skenario lain untuk menjalani harinya tanpa Munding.

Selama ini Nurul selalu ceria dan bahagia ketika adzan subuh terdengar setiap pagi, karena dia tahu itu adalah suara Munding yang membangunkannya. Hari-hari Nurul selanjutnya juga selalu diisi dan berputar antara dirinya dan Munding.

Berangkat sekolah bareng, ke sawah bareng, berlatih bareng, ngaji bareng, makan bareng, sholat bareng, tadarus bareng dan masih banyak lagi aktivitas lainnya yang selalu mereka jalani bersama-sama.

Seolah-olah itu memang sudah menjadi suatu kewajaran.

Nurul tidak pernah membayangkan bagaimana seandainya suatu saat Munding tidak ada atau mungkin pergi dari sisinya, karena Nurul sudah menganggap eksistensi Munding adalah suatu bagian dari hidupnya yang tidak terpisahkan.

"Nggak! Nurul nggak mau. Nurul sekarang sudah dewasa!" kata Nurul yang mulai terisak-isak.

"Mas sudah punya cewek kan?" lanjut Nurul dengan tatapan mata yang tajam ke arah Munding.

"Ya Allah dek, Mas nggak punya cewek. Maksud Mas tadi, kita ini sekarang masih terlalu kecil, Mas minta kita tunggu sampai kita lebih dewasa untuk masalah ini," kata Munding pelan mencoba menjelaskan.

"Nurul dari dulu paling benci kalau Mas tu nganggap Nurul anak kecil. Di mata Mas, Nurul nggak akan pernah jadi seorang wanita kan?" teriak Nurul berapi-api.

Nurul kemudian melepaskan diri dari pelukan Munding dan mencoba berdiri. Munding terkejut dengan gerakan tiba-tiba Nurul.

Kemudian tanpa disangka-sangka oleh Munding, Nurul melepas mukena yang tadi dia gunakan untuk sholat, mukena yang menutupi seluruh tubuhnya itu sekarang terjatuh ke lantai kamar Nurul.

Yang tertinggal di depan mata Munding adalah sesosok tubuh telanjang tanpa selembar benang pun menutupi tubuhnya.

Nurul menatap Munding dengan tatapan marah tapi meskipun begitu rona merah jelas terlihat diwajahnya. Nurul menggunakan satu tangan untuk menutupi payudaranya dan satu tangan lagi untuk menutupi mahkotanya yang belum ditumbuhi bulu.

"Nurul ..." kata Munding lirih.

"Kenapa? Mas Munding nganggep kalau Nurul masih anak kecil?" tanya Nurul.

"Mas lebih suka sama cewek yang agresif kan? Mas selalu nganggep Nurul tak lebih dari seorang adek kan?" lanjut Nurul masih dengan nada marah dan mulai diselingi tangisan.

"Mas nggak bermaksud begitu Dek ..." jawab Munding pelan.

Nurul kemudian langsung berlari kedalam pelukan Munding dalam keadaan telanjang. Tangan Munding tak berani memeluk Nurul yang ada di pelukannya. Cuma terangkat di samping badan Nurul.

"Kalau Mas beneran sayang Nurul, kalau Mas beneran nggak nganggep Nurul sebatas adek, Mas harus perawanin Nurul sekarang," bisik Nurul lirih dalam pelukan Munding.

Munding pun terdiam.

"Kenapa Mas? Mas Munding beneran ya cuma nganggep Nurul jadi adek?" tanya Nurul yang mulai menangis lagi.

"Bukan."

"Terus?" tanya Nurul.

"Mas nggak tahu caranya gimana," kata Munding pelan.

Muka Nurul memerah, "kalau Mas aja nggak tahu, apalagi Nurul," katanya.

Munding masih tetap terdiam.

"Tapi itu artinya Mas mau kan?" sambung Nurul.

Munding hanya mengangguk pelan yang disambut oleh ciuman dari Nurul, "kita belajar sama-sama ya Mas?" bisik Nurul lirih di telinga Munding.

Nurul kemudian membuka baju dan sarung yang dipakai Munding dengan tangannya yang gemetaran. Tak lama kemudian kedua remaja polos yang sama-sama tidak memakai selembar benang itu saling melihat dan mereka pun tertawa.

"Terus kita ngapain lagi?" tanya Nurul sambil tetap menutupi kedua bagian tubuhnya dengan tangan sambil tersenyum geli.

Untuk Munding sendiri, satu-satunya pengetahuan dia tentang sex adalah kenangan buruk waktu melihat perselingkuhan Ibunya dengan Karto dulu. Kenangan itu pun sekarang sudah samar-samar dan tidak terlihat jelas lagi.

Berbeda dengan remaja sebayanya, waktu Munding habis untuk membantu bekerja di rumah Pak Yai dan latihan silat.

"Ciuman aja kaya tadi siang, bibir Nurul rasanya manis," kata Munding.

"Mmmmmm," Nurul mengangguk dan merapatkan badannya ke arah Munding kemudian bibirnya maju mengecup bibir Munding.

Keduanya saling berciuman dengan pelan dan mesra, tangan Munding pun secara naluriah memeluk tubuh telanjang Nurul dan merebahkannya ke lantai yang tertutupi sajadah. Munding menindih tubuh Nurul dan tetap menikmati bibir mungil Nurul.

"Mas, kata Ibu dulu waktu ngajarin Nurul, itunya Mas nanti dimasukkin ke punya Nurul," bisik Nurul lirih setelah berhasil melepaskan diri dari ciuman Munding, "tapi harus nunggu keluar pelumasnya dulu biar nggak terlalu perih."

"Ngeluarin pelumasnya gimana caranya?" tanya Munding sembari menatap Nurul mesra.

"Mmmmmmmm," Nurul terlihat mencoba mengingat-ingat, "kalau nggak salah, Mas harus merangsang Nurul deh," tiba-tiba muka Nurul menjadi merah padam.

"???" tanda tanya muncul di wajah Munding.

"Ini kata Ibu lho ya, Nurul juga malu mau ngomongnya, katanya, Mas disuruh meraba-raba dada Nurul atau disuruh nyiumin itunya Nurul," kata Nurul dengan suara yang pelan sekali.

Munding agak kaget, "beneran kaya gitu?"

"Mmmmmmmm," jawab Nurul sambil menganggukkan kepalanya dengan malu.

munding (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang