Chapter 32 - Kelereng

5K 276 10
                                    

Malam ini, Munding memakai jumper hitam bergambar tengkorak yang didapatnya dari Saud. Dia mengerudungkan hood jumper ke kepalanya dan melirik ke arah Nurul yang memegangi tangannya dengan erat.

Nurul menangis dan tidak mau melepaskan pegangan tangannya.

“Mas akan baek-baek saja Dek,” kata Munding menenangkan Nurul, “Mas harus melakukan ini. Demi Bapak,” lanjut Munding.

Nurul pun menundukkan kepalanya menghindari tatapan mata Munding. Air mata membanjiri wajahnya. Dengan penuh rasa enggan Nurul melepas pegangan tangannya dari tangan Munding.

“Hati-hati Mas. Nurul nungguin Mas disini,” bisik Nurul lirih.

Munding tersenyum dan mencium kening Nurul, kemudian dia memandang ke arah Pak Yai yang berdiri di belakang Nurul dan menganggukkan kepalanya. Setelah itu Munding membalikkan badannya dan berlari menembus gelapnya malam.

Nurul menatap punggung Munding sampai bayangannya menghilang, kemudian dia membalikkan badannya dan berkata ke arah Pak Yai, “kenapa Bapak nggak mau menasehati Mas Munding? Kenapa Bapak nggak mencegah Mas Munding? Bapak kan tahu kalau Mas Munding bakalan dengerin kata Bapak,” tanpa menunggu jawaban Pak Yai, Nurul berlari sambil menangis menuju ke kamarnya.

Bu Nyai menggenggam jemari tangan Pak Yai yang berdiri di sampingnya dan berkata pelan, “anak gadis kita sudah diambil orang Pak.”

“Bapak tahu, tapi Munding seorang laki-laki, dia harus melakukan apa yang seharusnya dia lakukan,” jawab Pak Yai.

=====

Munding berlari melewati pematang sawah. Dia sudah memasuki wilayah kampung Sukorejo. Jembatan penghubung antar desa mereka sudah dia lewati beberapa waktu lalu.

Tempat tujuan pertamanya adalah sawah Bapaknya. Sawah yang pernah memberinya saat terindah saat kecil dahulu.

Tak berapa lama, Munding berdiri di pematang sawah milik Bapaknya. Padi terlihat ditanam rapi dan tumbuh menghijau. Belum ada tanda-tanda butiran padi mulai keluar di ujungnya. Munding berjalan pelan menuju gubug yang terletak di tengah-tengah sawah.

Sesampainya disana, dia berjongkok dan menggali di salah satu sudut di bawah kaki gubug dari bambu itu. Tak lama kemudian, Munding menemukan kantong plastik yang ditanam disana. Kantong plastik yang dia tanam empat tahun lalu.

Kantong plastik berisi kelereng yang mengubah hidupnya.

Munding tersenyum ketika melihat kelereng-kelereng itu.

Selama ini dia berpikir bahwa kelereng itulah penyebab semua malapetaka yang menimpa Bapak dan dirinya. Dia selalu menyalahkan kelereng itu yang tanpanya dia tidak akan memulai rentetan kejadian yang menyebabkan Bapaknya kehilangan nyawa.

Tapi kini, Munding sadar sepenuhnya kalau kelereng itulah bukti betapa besar perhatian Bapak kepada dirinya. Bukti betapa Bapak begitu menyayangi Munding.

Munding memasukkan kelereng itu ke dalam saku celananya.

Munding teringat kembali kejadian hampir sebulan lalu, dua hari setelah dia berhasil melakukan ‘awakening’ pertamanya sebagai serigala petarung.

=====

“Pada awalnya, manusia itu hidup secara berkelompok kecil dan tanpa aturan. Mereka menggunakan hukum rimba. Siapa yang paling kuat, dialah yang akan menjadi pemimpin kawanan,” kata Pak Yai.

“Tapi sebagai konsekuensinya, si pemimpin kawananlah yang akan menghilangkan ancaman-ancaman yang mengganggu kelompoknya. Dia bertindak sebagai pemimpin, penjaga, pelindung dan hakim bagi kawanannya.”

munding (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang