Chapter 43 - Hunt - part 1

4.7K 254 8
                                    

Semua orang di dalam ruang tamu rumah Ayu masih dalam keadaan kaget dan ketakutan. Kejadian yang mereka alami barusan benar-benar tidak masuk akal bagi mereka.

Mereka melihat Munding yang sebelumnya berdiri memegang pisau di tangannya tiba-tiba menghilang dan kemudian diikuti oleh tiga orang preman yang mengelilinginya jatuh tak bernyawa dengan berbagai luka di tubuhnya.

Dua orang preman yang tersisa jatuh terduduk di lantai dengan lutut yang gemetaran. Keempat Prajurit tanpa seragam yang berdiri di belakang mereka juga merasakan keringat dingin yang membasahi punggung mereka.

Bocah itu benar-benar seorang serigala petarung.

Hanya kalimat itu yang berputar-putar di dalam kepala para prajurit itu dan mereka merasa beruntung tidak menjadi korban serangan tadi. Mereka tahu kalau di hadapan serigala petarung sekelas Munding, nasib mereka tidak akan jauh berbeda dengan ketiga preman yang sekarang tergeletak di lantai tanpa nyawa.

“Karto!! Kau menjebak kami ya?” dengan reflek Prajurit Pertama menarik pistol yang dia selipkan di pinggangnya dan menodongkannya ke kepala Karto.

Karto yang masih ketakutan dan terlihat belum lepas dari shock yang barusan dia alami melihat ke arah pistol yang tepat mengarah ke mukanya dan reflek mengangkat kedua tangannya.

“Aku tidak tahu apa maksudmu?” kata Karto dengan suara bergetar.

Karto sengaja mengundang keempat prajurit itu cuma untuk sekedar berjaga-jaga dan mengantisipasi jika ada kawan-kawan Jumali yang datang membuat keributan disini. Tapi dia tidak menyangka kalau si Anak Lonte akan datang dan melakukan semua hal tidak masuk akal yang barusan terjadi.

“Bocah tadi itu seorang petarung elit, dia sekelas dengan anggota komando pasukan elit di kesatuan kami. Dan kamu harusnya tahu kalau kami tidak akan bisa bertahan hidup saat berhadapan dengannya,” kata Prajurit Pertama, dia sengaja menggunakan istilah petarung elit karena Karto adalah seorang warga sipil yang tidak perlu tahu tentang detil yang sebenarnya.

“Aku benar-benar tidak tahu kalau dia sehebat itu. Setahuku dia cuma pelajar kelas 1 SMA biasa,” bantah Karto.

“Pelajar mana yang bisa menghabisi nyawa tiga orang preman dalam hitungan detik? Kau gila ya?” teriak Prajurit Pertama sambil menurunkan pistolnya, dia yakin kalau Karto memang benar-benar tidak tahu soal kemampuan Munding.

Ayu dan Sutinah cuma terdiam. Mereka tadi melihat dengan jelas semuanya. Munding yang tiba-tiba menghilang dan disusul tiga orang preman yang meregang nyawa dalam hitungan detik.

Tiba-tiba saja ketakutan mulai melanda mereka, karena dalam hati mereka berdua, mereka tahu sepenuhnya bahwa di hadapan Munding yang tadi mereka lihat, nyawa mereka tak berarti apa-apa.

“Mas..” panggil Ayu pelan ke Karto.

Karto menoleh ke arah Ayu yang masih pucat pasi ketakutan, “kenapa?”

“Ayu takut. Kita harus menghabisi Munding. Dia bisa menjadi ancaman untuk keluarga kita setiap saat. Ayu nggak mau setiap malam tidur dalam ketakutan,” jawab Ayu.

“Aku tahu,” jawab Karto sambil melihat ke arah Prajurit Pertama yang ada di depannya.

Prajurit Pertama tahu maksud tatapan mata Karto.

“Kau ingin aku mengejar dia? Apa kau sudah gila? Kau ingin kami menyerahkan nyawa kami secara cuma-cuma?” jawab Prajurit Pertama ketus.

“Ini kesempatan terbaik kita. Seharusnya sekarang bocah itu kehabisan tenaga setelah ‘mode tarung’-nya tadi. Kalau dia masih sanggup masuk ke mode itu lagi, harusnya dia menghabisi nyawa kita dibandingkan memilih untuk melarikan diri,” kata Prajurit Ketiga pelan, keliatannya dia adalah prajurit paling cerdas di antara keempat orang itu.

“Sekalipun kita berhasil menghabisi nyawanya sekarang, kalian harusnya tahu kalau dia tidak sendirian. Dia tidak mungkin menjadi petarung elit tanpa bimbingan seorang guru. Apalagi di usianya yang semuda itu,” jawab Prajurit Pertama.

Keempat prajurit itu terdiam. Mereka tahu kalau apa yang dikatakan Prajurit Pertama dan Ketiga memang benar. Kondisi fisik Munding sekarang pastilah yang terburuk setelah kejadian tadi, tapi dia pasti punya seorang guru yang juga sama-sama serigala petarung.

Sanggupkah mereka menghadapi balas dendam dari seekor serigala petarung yang kehilangan anak didiknya?

Karto melihat kebimbangan dari keempat prajurit yang ada di depannya. Satu-satunya cara untuk meyakinkan mereka untuk memburu Munding adalah dengan menambah bayaran yang dia berikan kepada mereka.

“Kalau kalian bersedia memburu bocah itu dan menghabisinya, aku akan membayar kalian sepuluh kali lipat dari yang seharusnya kalian terima. Dan kalian juga bebas ‘memakai’ Sutinah kapanpun kalian mau selama 1 bulan,” kata Karto mencoba meyakinkan keempat prajurit itu.

Mata keempat prajurit itu terlihat bersinar dan mereka melirih ke arah Sutinah yang masih duduk di sofa dengan muka pucat pasi.

“Kita berpencar dengan grup dua-dua. Ingat jangan berpisah. Sekalipun bocah itu sekarang kelelahan, dia bisa menghabisi kita dengan mudah kalau satu lawan satu,” kata Prajurit Pertama yang diikuti anggukan kepala oleh ketiga rekannya.

Kemudian dengan cepat mereka berempat berlari keluar dari pintu depan yang sudah jebol dirusak Munding tadi.

Dan perburuan pun dimulai.

=====

Munding tidak tahu sekarang dia berada dimana. Seluruh tubuhnya terasa lelah dan menjerit kesakitan. Otot-ototnya terasa diremas dan dipilin oleh tangan yang tidak kelihatan dan membuatnya menyeringai kesakitan dari waktu ke waktu.

Setelah meninggalkan rumah Ayu tadi, Munding berlari mengikuti kemana nalurinya menunjukkan arah. Dia sama sekali tidak melihat ke sekelilingnya. Dia cuma berlari dan terus berlari dengan napas terengah-engah dan darah yang kembali menetes dari bekas luka di perutnya.

Munding mendengar suara gemericik air tak jauh dari tempatnya berdiri dan dia berjalan menuju suara itu. Sesampainya disana, dia menemukan sebuah sungai kecil yang lebarnya tak lebih dari 1 meter.

Munding mengambil air dengan kedua tangannya dan dengan cepat meminum air sungai itu. Dia juga mencoba membersihkan luka di perutnya dengan menggunakan air sungai itu. Rasa perih karena luka yang terbasuh air membuatnya mengerang dan mengatupkan giginya.

Munding melihat ke sekelilingnya. Di bagian hulu sungai kecil itu, dia melihat ada bagian yang melebar dan berair tenang. Dia tahu kalau itu adalah sebuah ‘kedung’, bagian sungai yang lebih dalam dari sekitarnya.

Munding berjalan perlahan-lahan ke arah kedung sungai yang tak jauh dari dirinya. Meskipun dia tidak tahu alasannya, tapi nalurinya menyuruhnya kesana. Dan dia mengikutinya tanpa ragu.

Sesampainya di dekat kedung itu, Munding terduduk di pinggiran sungai yang berbatu-batu. Dia menyenderkan tubuhnya yang kelelahan ke salah satu batu besar yang ada di tepian sungai.

Napasnya yang terengah-engah mulai berangsur-angsur kembali teratur. Munding mencoba mengistirahatkan tubuhnya yang kelelahan sambil menahan perih dari luka di perutnya.

Masuk ke dalam air!!!!

Tiba-tiba saja, naluri Munding merasakan ancaman bahaya yang sangat besar datang dari arah dimana dia datang tadi. Dan nalurinya menyuruh Munding untuk masuk ke dalam air untuk menghindarinya.

munding (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang