Chapter 45 - Strike Back - part 1

4.8K 258 16
                                    

Munding berdiri setelah dia merasa staminanya kembali. Dia telah berbaring selama lebih dari satu jam. Langit malam masih terlihat menggantung dan belum menunjukkan tanda-tanda fajar mulai menyingsing.

Munding melirik sebentar ke arah kedua orang tadi menghilang dan kemudian Munding memutuskan untuk berjalan ke arah darimana dia datang. Ke arah rumah Ayu. Karena dia merasa itu adalah langkah yang paling tepat malam ini.

Dia ingin mengakhiri semuanya malam ini juga.

Munding menduga kalau keempat prajurit yang tadi terlihat di rumah Ayu kemungkinan besar sudah berpisah untuk memburunya. Dan melihat salah satu grup yang mengejarnya terdiri dari dua orang, dia yakin kalau keempat orang prajurit itu terpisah menjadi dua grup dengan arah yang berbeda.

Hal yang sudah Munding perkirakan untuk sekelompok prajurit terlatih. Sekalipun mereka tahu kalau dia dalam kondisi buruk, mereka tetap waspada untuk tidak bergerak sendirian. Karena Munding tahu dia masih punya kemungkinan untuk menghabisi mereka jika berhadapan satu lawan satu dan memanfaatkan efek serangan mendadak.

Untuk kelompok yang terdiri dua orang? Hasil terbaik yang mungkin Munding capai adalah dia tewas bersama salah satu diantara keduanya. Dan hanya akan ada satu orang yang selamat dari kedua prajurit itu.

Tapi justru karena dia tahu kalau mereka memburunya, Munding yakin kalau saat ini, kondisi rumah Ayu hanya berisi 5 orang saja. Karto, Sutinah, Ayu dan dua orang preman Karto. Ini kesempatan terbaik bagi Munding untuk menyerang balik, sebelum keempat prajurit itu kembali ke rumah Ayu.

Mungkin Munding tidak bisa masuk ke dalam ‘mode tarung’, tapi untuk mereka berlima, Munding yakin bisa melakukannya tanpa menggunakan itu. Satu-satunya pertanyaan adalah apakah Munding cukup mempunyai stamina untuk itu.

Karena itu, Munding memutuskan untuk berjalan pelan-pelan dibandingkan berlari. Dia ingin menghimpun dan menghemat tenaganya sebisa mungkin. Meskipun luka di perutnya terus memberikan rasa perih yang tetap membuatnya mengrenyitkan dahi dari waktu ke waktu. Munding tahu kalau luka itu tidak fatal baginya.

Tidak fatal jika dia bisa menyelesaikan semuanya malam ini dan mendapatkan perawatan yang tepat esok hari.

Setengah jam kemudian, Munding sudah kembali berdiri di depan rumah Ayu. Semuanya terlihat sama kecuali pintu depan yang hancur berantakan karena dia dobrak saat melarikan diri tadi.

Dalam perjalanan kembali ke sini tadi, Munding menyambar jemuran pakaian warga Sukorejo yang masih dibiarkan tergantung di luar rumah di malam hari. Dia mengikatkannya ke perutnya dengan kencang untuk mencegah darah keluar dengan deras.

Tidak efektif memang, karena luka itu masih saja berdenyut-denyut sakit dan darah terus merembes keluar. Tapi setidaknya Munding tidak perlu memegangi dengan tangannya lagi.

Munding berjingkat tanpa suara dan menempelkan badannya ke kaca ruang tamu yang tertutup teralis besi dan gorden. Dia mencoba mendengarkan apa yang sedang dibicarakan mereka berlima.

“Ini sudah hampir 2 jam,” kata Ayu yang berjalan mondar-mandir di ruang tamu dengan raut muka cemas.

Kedua orang preman suruhan Karto juga terlihat panik. Di tangan mereka masing-masing terlihat sebuah celurit dan samurai pendek yang mereka genggam dengan erat. Setelah menyaksikan apa yang terjadi pada rekan mereka, mereka hanya merasa sedikit aman ketika ada senjata tajam dalam genggaman tangan mereka.

Karto dan Sutinah duduk di sofa ruang tamu yang luas itu. Sekalipun mereka juga terlihat masih dilanda cemas dan ketakutan, tapi mereka terlihat lebih mampu menekan kepanikan yang dialaminya.

Ketiga tubuh orang suruhan Karto yang tadi dibantai Munding juga sudah tidak terlihat lagi. Dua orang anak buah Karto yang tersisa sudah memindahkan mereka ke dalam kamar yang dipakai untuk menyekap Jumali.

“Ayu, sudah duduk disini!” kata Karto, “yang terpenting sekarang sertifikat dan buku tabungan Wage ada disini,” lanjutnya sambil mengibas-ngibaskan amplop yang dibawa Munding tadi.

“Tapi Mas...” Ayu ingin membantah tetapi kemudian terdiam setelah melihat tatapan mata Karto ke arahnya.

Munding yang mendengarkan percakapan mereka dari teras depan menggenggam erat pisau kecil yang ada ditangannya. Dia kemudian berjalan ke samping rumah yang dijadikan parkiran mobil.

Munding menendang pelan ke salah satu mobil yang ada disana dan kemudian suara alarm anti maling pun terdengar dari mobil yang Munding tendang.

Suara alarm mobil yang terdengar tiba-tiba itu mengagetkan kelima orang yang ada di ruang tamu. Sutinah yang tadinya duduk bersender ke sofa pun meloncat dari duduknya karena kaget. Ayu berhenti berjalan mondar-mandir dan diam sambil melirik kearah parkiran samping.

Karto dengan sedikit cemas melirik ke arah salah satu anak buahnya yang memegang pedang samurai dan menggunakan isyarat mata untuk menyuruhnya memeriksa ada apa dengan mobil-mobilnya.

Anak buah Karto terlihat ragu-ragu dan agak ketakutan. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya kearah Karto seolah-olah berkata kalau dia tidak mau melakukan itu. Karto melotot ke arah anak buah yang berani membangkang kepadanya itu.

Dengan pasrah anak buah Karto yang memegang samurai kemudian berjalan pelan-pelan menuju pintu depan. Dia berjalan berjingkat dan menggunakan kedua tangannya untuk memegang gagang samurai yang entah buatan mana.

Preman si Karto itu melangkah ragu-ragu sambil melirik ke sekelilingnya dengan pandangan ketakutan dan waspada. Dia lebih mirip dengan seorang pencuri yang takut ketahuan pemiliknya saat sedang beraksi, daripada seorang preman yang seharusnya gagah berani.

Ketika sampai di parkiran mobil dan dia tidak melihat ada seorang pun disana, Preman si Karto berdiri dan menarik napas lega. Dia menurunkan samurai yang ada di genggaman tangannya dan bersiap berjalan kembali ke ruang tamu ketika tiba-tiba sebuah bayangan hitam berkelebat di depannya dan dia merasakan rasa sakit yang tiba-tiba didadanya.

Bocah menakutkan yang dua jam lalu membuatnya gemetar dan hampir kencing berdiri itu sudah berdiri di depannya sambil menyeringai. Tangannya memegang pisau yang sudah menancap di dadanya sendiri. Dari sanalah asal rasa sakit yang dia rasakan di dadanya.

Munding tiba-tiba merasakan ancaman bahaya datang dari belakangnya ketika dia baru saja menusukkan pisaunya ke dada salah satu preman Karto. Dengan cepat dia melepaskan pisau itu dan membiarkannya menancap di dada musuhnya. Munding kemudian memiringkan tubuhnya ke samping dengan cepat.

Sretttttttt.

Munding merasakan goresan melintang di bagian punggungnya yang kemudian diikuti oleh rasa perih dan sakit dari sana. Dia tahu kalau baru saja punggungnya terkena sabetan senjata tajam.

Munding yang sekarang dalam posisi jongkok di lantai teras melihat ke arah preman Karto yang barusan melukainya. Dia melihat musuhnya kali ini memegang sebuah clurit yang basah oleh darah.

Darah yang berasal dari punggung Munding.


Author note:

Chapter terakhir untuk hari ini. Next update InsyaAllah hari Senin.

Tapi...

Di kantor sedang ada potential review selama tiga hari. Senin - rabu.

Semoga masih ada waktu untuk nulis.

munding (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang