Chapter 24 - Kepastian part 2

5.1K 290 22
                                    

Kalau mengikuti pesan Umar, saat ini, seharusnya Suprapto minta maaf pada Pak Yai dan segera meninggalkan kamar rawat inap ini.

Tapi Suprapto tidak ingin melakukan itu. Dia ingin kepastian. Dia tidak ingin di wilayahnya, di Sukolilo ini, ada serigala petarung berkeliaran tanpa sepengetahuan dia.

Karena itu, Suprapto membulatkan tekadnya dan mempersiapkan mentalnya untuk konfrontasi dengan pria tua yang sedang terbaring di atas ranjangnya ini.

“Menurut korban yang mengalami trauma psikis, mereka melihat tersangka seperti seekor binatang buas yang menganggap mereka sebagai mangsa. Mereka juga mengalami ketakutan berkepanjangan selama beberapa hari terakhir ini,” kata Suprapto.

Pak Yai yang mendengar kata-kata Suprapto terkejut, “Munding seharusnya belum sampai ke level itu. Apa mungkin karena trauma masa kecilnya yang membuat dia memiliki bakat sebagai serigala petarung secara alami?” batin Pak Yai dalam hati.

Suprapto bisa menangkap raut muka kaget Pak Yai dan dia tahu kalau ekspresi itu tidak dibuat-buat. Pak Yai menghela napas, sekarang dia tahu kenapa seorang Kapolsek mendatanginya di RSUD, Munding menunjukkan tanda-tanda sebagai seekor serigala petarung.

Dan karena polisi di depannya tahu tentang eksistensi ‘serigala’, Pak Yai merasa dia tidak perlu berpura-pura lagi. Rendah hati itu bagus, tapi terkadang kita perlu menunjukkan taring kita agar tidak dianggap sebelah mata oleh orang lain.

“Ternyata Pak Suprapto datang mengunjungi saya dengan analisa yang cukup lengkap. Itu artinya Bapak mempunyai latar belakang saya kan?” tanya Pak Yai setelah terdiam beberapa lama dan menatap Suprapto dengan tajam.

Tanpa sadar Suprapto bergerak mundur ke belakang satu langkah. Dia mulai merasa gugup, mendengar apa yang Pak Yai katakan barusan, bukankah itu berarti dia mengakui secara tidak langsung kalau dia seekor serigala petarung?

“Ada kemungkinan kalau bocah tersebut adalah anak angkat saya. Tapi seperti yang Pak Suprapto ketahui, saya rasa dia melakukan itu karena mereka terlebih dahulu menyerang saya. Kalau memang pelaku adalah anak angkat saya, saya mohon Bapak bisa memberikan kelonggaran,” kata Pak Yai pelan.

Suprapto terdiam sebentar, setelah menarik napas panjang, dia berkata, “sebagai petugas kepolisian saya harus menegakkan hukum dengan seadilnya-adilnya. Jadi saya mohon maaf kepada Pak Yai jika ada kemungkinan nanti saya akan membawa anak angkat Pak Yai untuk diperiksa di kantor.”

“Omong kosong!!!”

Pak Yai membentak dan menatap Suprapto dengan tajam, tiba-tiba Suprapto merasakan kembali apa yang dulu pernah dia rasakan saat berhadapan dengan Umar, rasa takut yang telah dia coba kubur dan pendam dalam ingatannya.

Lutut dan tubuh Suprapto gemetar karena rasa takut yang menderanya. Tangannya reflek meraih sepucuk pistol yang tersimpan di tas kecil yang dia kenakan. Tapi dia sama sekali tidak punya keberanian untuk menariknya keluar.

Suprapto sudah mempersiapkan mental dan kepercayaan dirinya sedari tadi saat meninggalkan kantornya. Dia juga sudah memperkirakan kemungkinan terburuk dimana Ahmad Hanbali adalah seekor serigala petarung dan bagaimana cara menghadapinya.

Setelah bertahun-tahun menyelesaikan pendidikan, Suprapto merasa kalau dia sudah berubah lebih dewasa, sudah melihat lebih banyak gelap dan kelamnya kehidupan.

Bukan sekali dua, dia menghajar para penjahat yang tertangkap dan masuk ke sel yang ada di kantornya.

Bukan hanya sekali juga Suprapto menyarangkan timah panas dari pistolnya ke kaki para penjahat yang mencoba lari dari tangkapannya. Sudah berkali-kali juga dia berhadapan dengan para kriminal yang berbuat kekerasan tanpa berpikir dua kali. Atau para penjahat yang tanpa belas kasihan menusukkan pisaunya demi sebuah arloji.

Suprapto selalu berpikir bahwa dia sudah berubah, dia sudah melihat asam garam dunia, dia bukan lagi domba yang dulu.

Sebelum datang kesini, Suprapto juga yakin, sekalipun dia tidak akan bisa mengalahkan seekor serigala petarung dalam perkelahian jarak dekat, dengan pistol ditangannya, dia mampu menjaga dirinya.

Dan Suprapto juga yakin, setelah semua yang dia lalui, dia bukan Suprapto yang dulu lagi. Yang hanya bisa ketakutan dan merasakan gemetar dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.

Tapi kenyataan berkata lain, meskipun dia memegang pistol di tangannya, meskipun Pak Tua itu terbaring lemah di ranjangnya. Dan dengan segala yang dia percayai dan alami selama ini, dia tetap seekor domba.

Seekor domba yang tak berdaya di depan serigala.

Humph.

Terdengar suara dengusan napas yang berasal dari arah ranjang Pak Yai, kemudian tekanan yang berasal dari Pak Yai pun menghilang.

Suprapto terengah-engah berusaha mengisi paru-parunya dengan udara sebanyak-banyaknya. Tangannya masih gemetar dengan jari yang masuk ke dalam tas kecil yang ada di pinggangnya. Memegang gagang pistol yang dia tak punya keberanian untuk menggunakannya.

“Suprapto, kamu tahu eksistensi kami. Seharusnya kamu juga tahu akan kemampuan kami. Siapapun yang dulu memberitahumu tentang keberadaan kami pasti memberimu peringatan kan? Aku tak tahu alasanmu melakukan ini, tapi kuingatkan satu hal. Aku punya kawanan dan aku tidak sendirian,” kata Pak Yai pelan dan dalam.

Suprapto masih terengah-engah dan dia tidak berani mengangkat kepalanya untuk melihat ke arah Pak Yai. Rasa percaya diri yang dia bangun selama ini, hancur dalam sekejap. Dihancurkan oleh kenyataan bahwa dihadapan seorang pemangsa dia masih belum bisa melepaskan belenggu dari statusnya sebagai mangsa.

“Lihat aku!!” kata Pak Yai tegas.

Suprapto mengangkat kepalanya pelan-pelan dan melihat ke Pak Yai.

“Aku tidak ingin mengganggumu, tapi aku juga tidak ingin diganggu. Meminjam istilah kalian, anak angkatku belum bisa dianggap sebagai seekor serigala."

"Biarkan dia berkeliaran sebentar dan mengasah taringnya. Aku yang akan bertanggung jawab untuknya.”

“Dan lagi, dia punya dendam dengan pembunuh bapaknya. Kalian tak pernah peduli dengan kasus itu keliatannya."

"Kalau suatu saat atasanmu ada yang bertanya, katakan, Ahmad Hanbali dari kawanan JFS sedang menginisiasi anak didiknya. Paham?” tanya Pak Yai.

Suprapto menganggukkan kepalanya pelan.

Apa yang bisa dia lakukan? Kata Umar, hanya kawanan serigala yang mampu melawan kawanan lainnya dan Pak Yai sudah menyebut nama afiliasi kawanannya. Meskipun Suprapto tidak mengerti apa arti singkatan dari nama itu, tapi dia tidak peduli lagi.

Suprapto hanya ingin segera kembali ke kantornya dan melupakan ini semua.

Kembali berpura-pura bahwa dia adalah salah satu orang yang paling berpengaruh di kerajaan kecilnya, Sukolilo. Punya anak buah yang bekerja untuknya di bawah sinar mentari dan juga punya segerombolan preman yang beraksi untuknya di bawah sinar rembulan.

Suprapto tidak ingin lagi memikirkan bahwa setinggi apapun jabatannya, sebanyak apapun hartanya, di hadapan para ‘serigala’ dia tidak bisa berbuat apa-apa.

Dan dia juga berjanji dalam hati, apapun yang pak tua dan anak angkatnya itu lakukan, dia tidak akan ambil peduli.









Author Note:

Oke gaess.

Beberapa chapter terakhir banyak sekali membahas tentang 'serigala', alasan sebenarnya sih saya memakai kesempatan ini untuk membuild up background story untuk buku kedua lanjutan dari 'munding' ini. Tapi masih lama kali lah itu.

Secara logika, munding nggak perlu setangguh itu untuk mencari pembunuh bapaknya di Sukorejo. Musuhnya juga cuma penduduk desa cupu yang tak terlatih.

munding (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang