Chapter 40 - Initiation! Part 2

4.8K 252 17
                                    

Ayu, Karto dan Jumali, tiga aktor utama sudah berkumpul semua, kata Munding dalam hati. Dia tetap menekan luka di perutnya dengan tangan kiri agar darah tidak terlalu cepat keluar dari sana.

Munding kemudian tersungkur di lantai ruang tamu dengan posisi merangkak dengan satu tangan sebagai tumpuan dan satu tangan masih memegangi pisau di perutnya.

“Dimana Sutinah?” tanya Munding sambil mengatupkan rahangnya.

“Kenapa kau cari aku Le? Kangen ya sama Ibumu?” cibir Sutinah yang keluar dari dalam salah satu kamar di lantai dua. Di belakangnya ada 4 orang berambut cepak dan berbadan tegap. Pakaian mereka berlima terlihat sedikit acak-acakan. Entah apa yang mereka lakukan tadi di kamar atas sana.

Munding merasakan ancaman bahaya dari keempat orang yang berjalan turun mengikuti Sutinah. Ancaman itu terasa jauh lebih besar dari semua musuh yang pernah dia hadapi. Dia tahu kalau empat orang tersebut bukanlah warga sipil biasa. Mereka memancarkan aura seorang prajurit yang terbiasa disiplin diri.

“Sial!!” Munding memaki dalam hati, “kalau saja cuma 5 orang preman suruhan Karto, aku yakin bisa mengalahkan mereka dengan kondisi tubuh seperti ini. Tapi keempat orang ini lain. Mereka prajurit terlatih.”

Muka Munding terlihat makin pucat karena darah masih terus saja menetes dari luka di perutnya.

“Kenapa Dek?” kata Ayu, “kamu nggak nyangka ya?”

“Kamu itu terlalu lugu dan goblok!! Sama seperti Bapakmu!” lanjut Ayu.

“Seharusnya Bapakmu tidak perlu mati kalau dia tidak berusaha menceraikan Ibu hari itu. Toh dia sudah tahu perbuatan Ibu dari dulu,” kata Ayu, “dan kamu tahu alasan apa yang dipakai Bapakmu untuk menceraikan Ibu? Karena anaknya sudah melihat kelakuan bejat Ibunya bersama Karto.”

“Hahahhahaahahhaha.” Ayu tertawa histeris, “siapa yang mau kehilangan harta warisan Bapak gara-gara seorang lonte macam Sutinah? Aku tidak mau.”

“Tapiiii, kalau benar kata-kata Bapak, berarti hari itu kamu melihat Ibu selingkuh dengan Karto ya Dek?” tanya Ayu lagi sambil menyeringai.

Munding cuma terdiam melihat ke arah Ayu yang sekarang berdiri di samping Karto. Lima orang suruhan Karto juga bergerak mengelilingi Munding yang masih tersungkur di lantai.

Sutinah yang sudah sampai di ruang tamu kemudian duduk di salah satu sofa dan melihat ke arah Munding. Keempat laki-laki yang tadi berjalan di belakang Sutinah, segera menempatkan posisinya mengelilingi Munding tapi mereka berada di sebelah luar preman-preman Karto.

Sutinah terlihat biasa-biasa saja mendengar Ayu memaki-maki dia lonte. Dia juga tidak terlihat sedih melihat Munding tersungkur dan meneteskan darah di lantai. Munding meliriknya sebentar dan berpikir, apa mungkin hati perempuan ini terbuat dari batu?

“Tak usah melihatku seperti itu!” kata Sutinah, “aku dan Wage, semuanya hanya hubungan bisnis. Dia ingin aku hamil anaknya, meneruskan garis keturunannya. Karena saat aku melahirkan Ayu, dia tahu kelakuanku. Dia mau test DNA saat bayinya lahir nanti. Dan kau memang benar-benar anak si goblok itu. Kau tidak berpikir kalau Bapakmu seorang yang bodoh kan?”

“Itu artinya, sebelum Ayu lahir, Bapak selalu menganggapmu istrinya kan?” tanya Munding pelan yang dijawab dengan diam oleh Sutinah, “sebelum akhirnya kebohonganmu terbongkar gara-gara Ayu lahir.”

“Kau,” kata Munding ke arah Ayu, “kenapa mengharap warisan dari Bapakku? Tidak setitikpun darah Bapak ada dalam tubuhmu! Kenapa kau tidak minta warisan dari si Koko Cina itu? Kau lebih mirip dia daripada anaknya sendiri,” kata Munding.

“Diam!!” teriak Ayu, “ini semua gara-gara kamu. Bapak sudah menganggapku anak kandungnya sendiri. Dia juga menjanjikan aku sebagian harta keluarga. Tapi kenapa kamu malah melihat kebejatan Ibu dan melaporkannya ke Bapak?”

“Kamu seharusnya tahu, Bapak tetap mempertahankan Ibu sebagai istrinya demi dirimu. Dia ingin kamu berpikiran kalau kamu hidup dalam keluarga yang bahagia!” teriak Ayu.

“Sudah,” kata Karto yang berdiri di sebelah Ayu, “nggak usah banyak omong lagi. Habisi nyawa dia! Nanti aku yang urus masalah sertifikat sawah dan tabungan yang ada di amplop itu! Kita buang nanti mayat Jumali dan mayatnya ke sungai, sama ketika aku membuang mayat Wage dulu.”

Deg.

Munding merasakan sesuatu menggeliat bangun di dadanya ketika mendengar kata-kata Karto. Tapi entah kenapa Munding tidak merasakan rasa amarah seperti biasanya.

Bukankah dia sudah menemukan pembunuh Bapaknya di depan mata?

Munding justru merasakan rasa sedih yang luar biasa dan sedikit rasa bersalah. Munding merasakan rasa sakit akibat tusukan pisau di perutnya berangsur-angsur menghilang. Semua indera di tubuhnya juga menjadi seperti tak berfungsi. Dia tak dapat mendengar, melihat dan mencium apa yang ada di ruangan sekitarnya.

Sensasi yang sama dengan yang pernah Munding alami waktu ‘awakening’.

Tiba-tiba Munding merasa dia berada dalam suatu ruang hampa yang sudah familiar dengannya.

Di dalam ruang yang gelap ini, Munding melayang tanpa menginjak apa pun. Dia cuma berdiri diam sambil melayang di tempatnya. Tak jauh di depannya dia melihat sesosok ‘Munding’ yang berdiri membelakanginya.

Rasa sedih dan bersalah yang dia rasakan tadi berasal dari ‘Munding’.

“Kamu kenapa bersedih?” tanya Munding.

‘Dia’ membalikkan tubuhnya ke arah Munding, “harusnya kamu tahu kenapa aku bersedih? Bukankah aku bagian dari dirimu?” katanya pelan.

Munding tiba-tiba merasakan ada sesuatu yang sangat penting sedang terjadi disini. Dia kembali teringat pesan terakhir Pak Yai tentang Serigala Petarung.

Langkah terakhir untuk menjadi Serigala Petarung yang sesungguhnya adalah ‘inisiasi’. Dan kata Pak Yai, seorang petarung dianggap sudah diinisasi kalau dia pernah mengambil nyawa orang lain dengan kedua tangannya.

Munding merasa kalau sekarang adalah titik yang sangat tepat untuk inisiasi. Tapi dia kebingungan. Bukankah seharusnya dia hanya perlu membunuh seseorang dengan kedua tangannya untuk bisa terinisiasi?

Tidak, semuanya tidak akan semudah itu, kata hati Munding. Kalaulah semudah itu, sudah banyak para pembunuh yang menjadi serigala petarung, bukankah mereka sudah menghabisi banyak orang dengan kedua tangannya?

Munding melihat kembali ‘Munding’ yang ada di depannya dan pancaran rasa sedih dan bersalah yang keluar dari ‘dirinya’.

Bersalah?

Tiba-tiba Munding teringat perlakuannya kepada istri Jumali, Bu Carik. Itulah satu-satunya hal yang membuatnya merasa bersalah malam ini dan mungkin untuk beberapa saat yang lampau.

Kenapa?

Kenapa aku merasa bersalah pada Bu Carik? Bukan. Aku merasa bersalah kepada Bapak. Kenapa aku bisa merasa bersalah kepada Bapak? Bukankah aku tidak pernah bertemu dengan Bu Carik sebelumnya?

Apakah karena Jumali adalah sahabat setia Bapak yang bersedia mengorbankan nyawanya demi Bapak? Tapi kalau seperti itu harusnya aku merasa bersalah kepada Jumali, bukan kepada Bapak.




Author Note:

Sorry Gaesss,

Hari ini cuma dapat 3 chapter ini. Mungkin ada yang nggak terima kenapa Munding harus 'memperkosa' Bu Carik di chapter 38.

Tapi bagian itu memang tidak dapat saya hilangkan dari alur cerita karena Munding butuh itu untuk proses inisiasinya.

Cerita hampir klimaks dan mendekati endingnya gaesss. Harap bersabar dan tunggu kelanjutannya besok sore.

munding (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang