Chapter 30 - 'Dia' ada disana

5K 284 19
                                    

Munding membuka matanya yang terpejam. Dia merasakan sensasi yang sama seperti ketika dia berkelahi dengan kelompok Saud waktu itu.

Munding bisa melihat lebih jauh dalam kegelapan malam. Dia bisa melihat barisan semut yang berjalan di tembok sambil membawa gula yang entah mereka dapat darimana. Suara gemericik air dari sungai kecil yang mengalir di sebelah mushola ke sawah yang ada di belakang sana.

Munding merasakan kalau semua inderanya bertambah jauh lebih peka.

Munding juga merasakan sensasi kekuatan yang mengalir dalam tubuhnya. Sensasi yang dulu pernah membuatnya percaya kalau dia tidak terkalahkan dan membuatnya yakin kalau dia bisa menghancurkan balok es dengan pukulan tangannya.

Pak Yai tersenyum di depan Munding. Keringat terlihat menetes dari wajah Pak Yai. Menunjukkan betapa sebenarnya dia sangat kuatir dengan apa yang baru saja mereka lakukan.

“Bagaimana perasaanmu Le?” tanya Pak Yai.

“Rasanya aneh Pak Yai. Sama seperti yang Munding alami saat ...” Munding menghentikan kalimatnya dan melihat ragu ke arah Pak Yai.

“Saat kamu menghajar preman-preman pasar Sukolilo itu?” sambung Pak Yai sambil terkekeh.

Munding menundukkan kepalanya, dia tidak menduga kalau Pak Yai mengetahui apa yang sudah dia lakukan malam itu.

“Bapak memaksamu untuk berlatih lebih keras setelah pulang dari RSUD gara-gara itu. Kapolsek Sukolilo mendatangi Bapak beberapa hari setelah kamu menghajar preman-preman itu,” kata Pak Yai.

“Beraninya mereka melapor ke polisi ...” amarah Munding tiba-tiba meluap dan dia bisa merasakan tubuhnya juga seolah-olah mengikuti perubahan emosi Munding, ada sesuatu yang meledak-ledak dan ingin dilepaskan dari sana.

“Cukup!!” potong Pak Yai sebelum kalimat Munding selesai diucapkan.

“Mereka tidak akan berani melakukan apa-apa ke Bapak. Jadi urusanmu sama preman-preman itu maupun kepolisian berhenti disini. Ngerti??” kata Pak Yai tegas.

Munding menganggukkan kepalanya dan seiring redanya amarah di dadanya, tubuhnya juga berangsur-angsur menjadi seperti sebelumnya. Munding melihat kearah kedua telapak tangannya. Kemudian dia mencoba mengepalkan dan membukanya berulang-ulang. Berusaha untuk lebih familiar dengan apa yang dia rasakan dengan tubuhnya.

“Le, kamu berlatih silat terlalu singkat. Seharusnya, seseorang butuh waktu belasan tahun melatih tubuh dan jiwanya sebelum dia mencoba memiliki apa yang kamu rasakan sekarang. Tapi mungkin kamu memang seorang serigala petarung alami. Bapak sempat kuatir kalau tadi kamu gagal ditengah-tengah jalan,” kata Pak Yai pelan.

Munding cuma terdiam dalam kebingungan. Dia tidak tahu apa yang Pak Yai katakan. Melihat raut muka bingung Munding, Pak Yai cuma tersenyum.

“Yang terpenting sekarang, kamu sudah berhasil melewatinya. Ingat Le, karena waktu berlatihmu terlalu singkat, tubuhmu belum maksimal untuk masuk ke ‘mode tarung’ seperti sekarang ini.”

“Jangan pernah mencoba melakukan yang sekarang kamu lakukan kecuali memang tidak ada pilihan lain dan nyawamu dalam keadaan terancam. Dan itupun kamu cuma boleh masuk ke ‘mode tarung’ tak lebih dari lima menit,” kata Pak Yai.

Munding menganggukkan kepalanya, paling tidak dia mengerti pesan Pak Yai barusan.

“Sekarang, lepaskan ‘mode tarung’-mu. Kalau tadi saat kamu memasuki ‘mode tarung’ dengan menggunakan emosi negatif seperti kemarahan, kesedihan, ketakutan. Untuk melepaskan ‘mode tarung’ gunakan emosi positif. Coba kamu ingat-ingat hal apa yang membuatmu bahagia atau memori terindah yang kamu miliki,” kata Pak Yai.

munding (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang