Chapter 34 - Pasrah

5.1K 269 7
                                    

Asma melihat berkeliling, lima orang cowok yang mengelilinginya, Joko yang ada didepannya, Candra dan Puji yang asyik dengan mereka sendiri dan tanah lapang yang ada di pojok desa. Asma tahu kalau malam ini nasibnya sudah tergambar jelas.

Kegadisannya akan diambil oleh Joko, si pemimpin gerombolan, dan mungkin setelah dia puas, dia akan memberikan Asma kepada cecunguk-cecunguknya untuk menikmati tubuhnya. Kemudian dia akan menjadi seperti Puji dan mungkin gadis-gadis lain di kampungnya, pemuas nafsu pemuda-pemuda bejat ini, sampai waktu yang dia tidak tahu kapan akan berakhir.

Membayangkan tubuhnya akan dinikmati oleh sekian banyak laki-laki yang sekarang mengelilinginya dengan seringai penuh nafsu dan masa depan yang akan dia jalani. Asma membulatkan tekad dan mengambil keputusan dalam hati.

Ketika malam ini berakhir, Asma akan mengakhiri hidupnya sendiri.

Cuma satu penyesalan yang sekarang terbersit di kepala Asma, wajah seorang anak laki-laki yang tersenyum sedih dan berjalan sendirian di atas pematang sawah. Dan betapa setiap kali Asma melihatnya, dia ingin berlari dan berkata kepadanya.

“Jangan bersedih, semuanya pasti akan berubah menjadi lebih baik, Munding.”

Asma tersenyum pahit, sampai detik ini, tak pernah sekalipun dia mempunyai keberanian untuk mengatakan hal itu. Kalimat yang selalu dia ucapkan dalam hatinya setiap kali melihat bocah laki-laki itu, laki-laki yang selalu mengisi kepalanya dan tidak akan pernah dia jumpai lagi setelah malam ini.

Asma menundukkan kepalanya dan melepas kedua tangan dari dadanya. Air mata mengalir deras dan membasahi wajahnya. Dia terduduk di atas rumput tanah lapang dan pasrah pada nasib yang akan menimpanya.

Joko tersenyum melihat Asma yang terduduk di tanah, “jadi sudah menyerah sekarang? Sudah nggak seru lagi kalau gitu, sekarang tinggal menu utama malam ini saja yang bisa kita nikmati. Jeritanmu saat kontolku merobek selaput daramu,” kata Joko diiringi tawa kawan-kawannya.

=====

Munding berlari ke arah asal suara teriakan perempuan itu. Tak lama kemudian dia sampai di salah satu pojok tanah lapang ini, dia melihat empat sepeda motor diparkir tak jauh dari sana. Munding juga melihat ada 7 orang laki-laki dan 2 orang wanita.

Dalam gelapnya malam, Munding tidak bisa melihat dengan jelas wajah mereka, dengan cepat dia memutuskan untuk lebih mendekat ke arah gerombolan itu.

Dalam hitungan detik, Munding sudah berdiri tak lebih dari 15 meter dari mereka. Saat berlari kesini tadi, Munding sengaja berlari melewati kebun yang ada di samping tanah lapang. Hanya oranng bodoh yang berlari di tengah tanah lapang sendirian.

Bukankah itu sama saja memberitahukan kedatangannya kepada mereka?

Munding berdiri di sela-sela pepohonan. Dengan gelapnya malam dan mungkin dibantu oleh warna hitam dari jumper Munding, gerombolan itu tidak mengetahui kedatangan Munding sama sekali. Munding memutuskan untuk memperhatikan apa yang mereka lakukan sebelum dia mengambil tindakan apapun.

Dari jarak sedekat itu, Munding bisa melihat dan mengenali dengan jelas wajah-wajah gerombolan ini. Wajah yang terasa asing tapi sekaligus familiar dengannya.

Setelah empat tahun tidak melihat mereka, sekarang mereka jelas sudah berubah, dari yang dulunya bocah-bocah kecil, sekarang berubah menjadi remaja beranjak dewasa.

Tapi kelakuan mereka masih tetap sama.

Kemudian Munding melihat ke arah mereka dan mengidentifikasi mereka satu persatu.

Joko Sentono, Rangga Permana, Suprayogi, Bambang Kristianto, Abdul Hamid, Ediandres, Candra Kurniawan. Tujuh nama yang akrab sekali di telinga Munding, bukan sebagai kawan, tapi sebagai target saat Munding kecil dulu mengayunkan pukulannya ke batang pohon mangga.

Rasa sakit di kepalan tangannya membuat Munding enggan untuk memukul batang mangga itu dengan sekuat tenaga. Tapi dengan membayangkan ketujuh wajah musuh masa kecilnya itu Munding mengatupkan rahangnya dan tanpa ragu mengayunkan pukulannya, berkali-kali. Hingga darah mengaliri sela-sela jarinya yang terkepal.

Kini ketika Munding melihat mereka kembali, sedikit rasa terima kasih muncul di dadanya. Tanpa kalian, aku tidak akan bisa seperti ini, bisik Munding dalam hati.

Dua orang gadis yang ada didepannya, Munding juga mengenal mereka, Puji Astuti dan Hanif Asmawati. Munding melihat ke tingkah polah dan percakapan mereka dan dengan cepat Munding bisa mengetahui apa yang sedang terjadi. Joko dan gengnya sedang berusaha memperkosa Asma dengan bantuan Puji yang menjebak Asma.

Tapi.

Asma adalah anak Jumali. Jumali yang bersekongkol dengan Sutinah untuk mencelakai Bapaknya. Haruskah aku menolongnya? Setelah apa yang Bapaknya lakukan kepada Bapakku? Pertanyaan itu terus terulang-ulang di dalam kepala Munding.

Munding ragu. Munding bimbang. Haruskah aku menolong Asma? tanya Munding dalam hatinya, untuk yang kesekian kali.

Tapi, ketika Munding melihat tangisan Asma dan ekspresi pasrahnya ketika Asma jatuh terduduk di tanah, Munding mengambil keputusan. Mungkin Jumali berbuat jahat pada Bapakku, tapi anaknya tidak perlu bertanggung jawab untuk itu, kata Munding dalam hati.

Munding kemudian berjalan mendekati gerombolan itu.

“Kupikir aku masih bisa menikmati pertunjukkan ini lebih lama, tapi kalau si gadis sudah menyerah pasrah, tontonan ini jadi nggak seru lagi,” suara Munding yang tiba-tiba terdengar membuat tawa gerombolan Joko terhenti.

Seperti dikejutkan oleh petir yang tiba-tiba menyambar, Joko dan kawan-kawannya menolehkan kepala mereka ke arah suara itu berasal.

Candra dan Puji juga menghentikan aksi mesum mereka. Asma yang menundukkan kepalanya dan bersiap menerima kemalangan yang akan dia alami juga mengangkat wajahnya setelah mendengar suara yang terdengar akrab itu.

Mereka bertujuh serempak menoleh ke arah sesosok laki-laki yang berjalan dari sela-sela pohon di kebun samping tanah lapang. Laki-laki itu mengenakan jumper berwarna hitam dan menutupkan kerudungnya keatas kepala, membuat wajahnya tidak terlihat di bawah sinar rembulan.

Kedua tangannya masuk ke dalam saku samping yang ada di jumper hitamnya. Dia berjalan dengan penuh percaya diri ke arah Joko dan kawan-kawannya.

“Kau siapa? Nggak usah ikut campur urusanku. Aku Joko Sentono. Kau pasti tahu siapa aku kan?” bentak Joko ke arah laki-laki itu.

“Aku tahu siapa dirimu Joko, aku bahkan tahu kalian semua,” kata laki-laki itu sambil menarik kerudung kepalanya ke belakang dengan tangan kanannya.

Seraut wajah yang khas anak desa terlihat disana. Wajah yang meskipun sudah banyak berubah tapi masih menyimpan guratan-guratan yang sama dengan wajah yang mereka kenal bertahun-tahun lalu. Wajah yang menjadi sasaran bully-an mereka.

Wajah si Anak Lonte, Munding.

“Munding..” Asma menutup mulutnya ketika melihat Munding di depannya setelah empat tahun tanpa berita, wajah yang sama persis dengan yang dia bayangkan setiap malam sebelum tidurnya.

Joko terlihat kaget melihat Munding yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka. Tapi beberapa detik kemudian dia tertawa keras, terbahak-bahak.

“Hahahahahahahahahahahahaha.”

“Aku senang sekali. Munding, kupikir kau akan tetap bersembunyi di Sumber Rejo sampai kau masuk ke liang kubur, tapi sekarang justru kau yang datang sendiri,” kata Joko dengan raut muka senang.

“Kau pernah dengar pepatah Jawa ‘ulo marani gebuk’?” sambung Joko lagi, “ya, itulah dirimu, seseorang yang cari mati.”

Munding cuma tersenyum mendengar kata-kata Joko.

munding (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang