Chapter 48 - Pulang

5.3K 272 19
                                    

Dua jam kemudian Munding yang berjalan tertatih-tatih dan dengan darah yang memenuhi seluruh tubuhnya sampai ke dekat jembatan penghubung desa. Dan di sana Munding melihat dua orang laki-laki berbadan tegap yang berdiri sambil memegang rokok di tangannya.

Melihat Munding yang berjalan pelan-pelan mendekati ke arah mereka, kedua prajurit itu sama sekali tidak bereaksi apa-apa. Mereka tetap asyik menikmati rokoknya dan melihat ke arah Munding yang penuh luka.

“Kami sudah menunggumu lebih dari 4 jam disini. Apa yang membuatmu lama sekali?” kata salah seorang dari prajurit itu.

Munding cuma terdiam sambil menatap ke arah mereka. Munding sebenarnya sudah pasrah, dia sudah tidak lagi punya cukup tenaga untuk melakukan pertarungan dengan siapapun.

Apalagi melawan dua orang prajurit terlatih di depannya. Belum kalau memikirkan mereka dilengkapi dengan senjata api. Cuma satu hasil akhirnya.

Munding tewas tanpa perlawanan.

Melihat Munding tidak memberikan reaksi apa-apa terhadap pertanyaannya, prajurit yang bertanya tadi kemudian melemparkan rokok yang dipegangnya ke arah kakinya dan menggunakan kakinya untuk menginjak dan mematikan bara dari puntung rokok itu.

“Karto??” tanya Prajurit itu lagi.

Munding cuma melambaikan amplop yang ada ditangannya dan prajurit itu paham maksudnya.

“Kami disini bukan untuk menahanmu atau menghentikanmu. Silahkan lewat,” kata Prajurit yang dari tadi menanyai Munding.

“Kami bisa memastikan kalau kasus ini tidak akan ditangani oleh pihak kepolisian tapi akan ditangani oleh militer. Tapi kami tidak bisa berjanji apa-apa untuk tindakan yang akan diambil oleh atasan kami. Bersiap-siaplah!” kata Prajurit satunya yang dari tadi terdiam saja.

Kedua prajurit itu kemudian berjalan melewati Munding menuju arah desa Sukorejo. Sesekali mereka bercanda dan tertawa.

Munding terdiam di tempatnya dan menarik napas dalam. Dia sudah pasrah akan nasibnya, tapi mungkin takdir berkata lain. Munding tahu sejak awal dari nalurinya kalau kedua prajurit tadi tidak memberikan rasa permusuhan sama sekali kepada dirinya.

Munding kemudian berjalan kembali menyeberangi jembatan. Ke desa Sumber Rejo. Pulang ke rumahnya.

Tapi ketika dia sampai di ujung jembatan, langkah kaki Munding tiba-tiba berhenti. Dia menoleh kearah belakang ke desa Sukorejo, tempat kelahirannya.

Munding pun tersenyum, karena sekarang sudah tidak ada lagi yang membuatnya terikat dengan desa ini. Dan Munding tidak tahu kapan dia akan menyeberangi jembatan ini lagi.

Semburat merah mulai terlihat di ufuk timur. Munding tahu kalau fajar akan segera menyingsing. Cuma satu yang ada di pikirannya sekarang, siapa yang adzan subuh di mushola pagi ini?

=====

Munding melihat ke ruangan yang didominasi warna putih di sekelilingnya. Dia tahu dimana ini, Rumah Sakit Umum Daerah Sukolilo, atau orang sering menyebutnya RSUD Sukolilo. Seluruh tubuh Munding dibalut perban. Rasa gatal dan sakit juga memenuhi seluruh bagian tubuhnya. Terutama di bagian perut, dada dan punggung.

Nurul tertidur sambil duduk di sebelah ranjang Munding. Setelah melihat berkeliling sebentar, Munding tidak menemukan Pak Yai dan Bu Nyai di dalam ruangan ini. Tangan Munding mengelus-elus kepala Nurul yang tertutupi jilbab pelan.

Nurul pun terbangun ketika dia merasakan ada yang memegang kepalanya, “Mas? Mas Munding dah sadar?”

“Kan Nurul sudah lihat sendiri kalau Mas sudah sadar, kok masih pakai nanya sih?” jawab Munding sambil tersenyum.

munding (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang