Chapter 27 - The Truth part 2

4.9K 272 6
                                    

“Dek, kamu kan dulu sering ikut Bapak ke sawah, kira-kira kamu bisa nebak nggak luas sawah Bapak itu berapa?” tanya Ayu.

Munding terlihat berpikir sebentar, waktu itu dia kan cuma anak kelas 4 SD, memang setelah itu dia masih sering ke sawah Bapaknya, apalagi waktu dia sering dibully dan kangen sama Bapak. Munding pasti lari ke sawah itu.

Tapi Munding sama sekali tidak pernah memikirkan berapa sih sebenarnya luas sawah yang dimiliki oleh Bapaknya. Munding pun asal menebak, “setengah hektare?”

Ayu tersenyum sambil menggelengkan kepalanya, “luas sawah Bapak yang dia garap sendiri, yang dulu sering jadi tempat maen Munding itu luasnya 1,5 hektare,” kata Ayu.

Munding cuma menganggukkan kepalanya tanda mengerti.

“Maksud Ayu, itu sawah yang Bapak garap sendiri, karena Bapak dari kecil memang suka menjadi petani, sawah Bapak yang dia serahkan untuk digarap keluarga lain dengan sistem bagi hasil, luasnya 19,5 hektare.” lanjut Ayu.

Dan kali ini Munding dan Nurul pun tercengang. Apalagi Munding, dia sama sekali tidak mengira kalau keluarga Bapak itu punya lahan sawah seluas itu.

“Coba Dek Munding hitung, harga sawah di kampung kita antara 50rb-100rb per meternya. Sekarang Munding bisa kira-kira kan berapa nilai asset sawahnya Bapak,” kata Ayu.

“Waktu Ayu kelas 5 SD, Ayu pernah merengek-rengek ke Bapak minta dibeliin boneka. Bapak malah tertawa. Waktu itu Bapak justru cerita tentang masa kecilnya sama tradisi keluarga kita Dek.”

“Kata Bapak, dia nggak inget tradisi ini dimulai dari jamannya siapa, tapi dari dulu keluarga Bapak itu selalu mengajarkan untuk hidup sederhana. Gunakan seperlunya sesuai kebutuhan, kalau memang berlebih bantulah orang lain yang membutuhkan.”

“Itulah kenapa, sebagian besar sawah yang dimiliki keluarga Bapak, diserahkan ke keluarga lain untuk diolah, sistemnya bagi hasil dan keluarga Bapak sendiri nggak pernah nagih ke mereka. Tapi tetep semua sertifikat atas nama keluarga Bapak.”

“Kata Bapak, dalam keluarga mereka, anak-anak dianggap dewasa kalau sudah menginjak usia 18 tahun. Saat itulah nanti si anak diberi asset untuk dikelola masing-masing. Tapi karena Bapak anak tunggal, semua asset jadi milik Bapak.”

“Waktu itu Ayu udah tahu kalau Ayu bukan darah daging Bapak, siapapun juga bakalan tahu. Wajah sama kulit Ayu kan mirip chinese gini. Sedangkan Bapak kan jawa tulen, mirip kamu Dek. Jadi waktu itu Ayu iseng nanya ke Bapak, Ayu kalau sudah besar nanti bakalan dapat asset dari keluarga juga nggak?”

“Bapak tertawa sambil mengelus-elus kepala Ayu, dia bilang, ‘pasti, Ayu kan anak Bapak yang paling cantik, makanya sekarang Bapak mau tanya, Ayu mau dibeliin boneka sekarang atau uangnya disimpen dulu baru dikasih nanti kalau udah gede?’ Waktu denger jawaban Bapak, Ayu senengnya bukan maen. Ternyata selama ini Ayu tu dianggep anak kandung sendiri sama Bapak.”

“Apalagi waktu Bapak udah meninggal dan Ayu tahu kalau Bapak nggak berbohong. Ayu bener-bener kangen sama Bapak,” mata Ayu terlihat menerawang.

“Ibu selama ini ternyata sengaja nikah sama Bapak cuma karena ngincar harta Bapak. Semuanya sudah direncanain dari awal,” kata Ayu.

“Ibu terlahir dari keluarga miskin, satu-satunya kelebihan yang dia punya adalah wajahnya yang memang cantik. Dulu dia banyak dikejar-kejar sama cowok-cowok di desa kita. Kalau kata orang, kembang desa lah. Waktu SMA, Ibu punya kekasih, namanya Jumali.”

“Tapi orang tua Jumali nggak suka sama Ibu, mereka menjodohkan Jumali dengan wanita lain. Jumali waktu SD punya sahabat dekat namanya Wage, bapak kita Dek, tapi berbeda dengan Ibu dan Jumali, Bapak nggak mau nerusin sekolah lagi setelah lulus SD. Dia milih nyangkul di sawah.”

“Dan karena mereka sangat dekat, Bapak sangat percaya sama Jumali. Waktu Bapak berumur 18 tahun, semua asset keluarga dilimpahkan ke Bapak. Bapak yang cuma lulusan SD meminta tolong sahabatnya Jumali untuk membantu mengurus proses balik nama dan tetek bengek lain. Termasuk membuatkan rekening tabungan untuk Bapak.”

“Jumali yang awalnya ikhlas dan tulus membantu sahabatnya mulai berpikiran jahat saat dia tahu jumlah uang yang mau dimasukkan ke rekening dan luas sawah yang dibaliknamakan. Dia mungkin nggak nyangka kalau Bapak kita tu sebenarnya orang kaya.”

“Waktu itu Ibu yang diputusin kekasihnya, si Jumali, padahal sudah ngasih kegadisannya patah hati. Ibu selalu merasa kalau hidupnya itu tidak adil, dia pengen hidup mewah, menggunakan baju-baju bagus dan punya banyak uang. Akhirnya dia mulai mendekati laki-laki lain yang punya banyak uang satu per satu.”

“Sampe akhirnya Ayu hadir di rahim Ibu. Dek Munding pasti sudah bisa nebak kan siapa ayah Ayu? Cuma ada satu laki-laki chinese di kampung kita Dek. Tapi Ayu nggak pernah nanya ke Ibu soal itu.”

“Waktu Ibu tahu kalau dia hamil, dia datang mencari Jumali untuk meminta pertanggungjawaban. Terang saja Jumali menolak, dia tahu sudah berapa banyak laki-laki yang meniduri Ibu.”

“Dan akhirnya, Bapak lah yang jadi korban mereka. Bapak yang sederhana dan lugu. Sahabat Jumali sendiri. Apalagi waktu Jumali ngasih tahu soal kekayaan Bapak. Ibu langsung mengiyakan rencana Jumali.”

“Kamu pasti tahu cerita seterusnya Dek. Bapak nikah sama Ibu dan nggak tahu kalau ternyata Ibu sudah hamil 3 bulan.” kata Ayu mengakhiri ceritanya.

“Kok Mbak bisa tahu cerita ini?” tanya Munding, Nurul sedari tadi cuma diam mendengarkan, dia tahu kalau urusan ini adalah urusan keluarga Munding.

“Saat kamu minggat, mmmm, maksud Ayu pergi dari rumah, Jumali datang menemui Ibu. Mereka bertengkar hebat, Ibu nyalahin Jumali karena Ibu ngerasa dia sudah ditipu sama Jumali.”

“Bertahun-tahun Ibu mencoba bersabar hidup miskin sama Bapak, tapi ternyata hasilnya sama juga. Ibu gagal mendapatkan harta warisan keluarga Bapak. Dan penyebabnya kamu Dek, gara-gara kamu lahir ke dunia.”

“Kata Ibu, saking senengnya Bapak karena punya anak laki-lakinya sendiri, Bapak nggak nunggu kita gede dulu baru balik nama, tapi langsung saat itu juga Bapak nyari Jumali. Bapak minta sawah dibagi dan tabungan keluarga dibagi, buat Ayu sama kamu Dek.”

“Bapak minta sama pihak Bank untuk nahan tabungan kita, terus diserahin ke kita saat umur 18 tahun. Kalau sertifikat tanah dan rumah, Bapak titipin ke Jumali. Sampai saat ini.”

“Itulah yang bikin Ibu marah. Mungkin dia merasa sudah berkorban banyak untuk Bapak, tapi malah Bapak ngasih warisannya ke kita berdua.”

“Bentar lagi Ayu ultah yang ke 18 tahun. Itu artinya Ayu bakalan dapat tabungan keluarga dari Bank, tapi Ayu nggak tahu kalau sertifikat tanah dan rumah yang atas nama Ayu bakalan dikasih sama Jumali atau nggak.”

“Itu juga alasannya selama ini Ibu bersikap baik sama Ayu. Menurut Munding, apa mungkin Ibu tulus sama Ayu? Nggak mungkin Dek, karena dia sendiri nggak tahu siapa ayah Ayu sampe Ayu lahir. Ayu ini cuma anak yang nggak diinginkan. Hasil sampingan dari perbuatan Ibu sama laki-laki yang membayarnya.”

“Cuma Bapak yang selama ini nganggep kalau Ayu ini anaknya sendiri, padahal Ayu bukan darah dagingnya.”

Ayu, Munding dan Nurul terdiam.

munding (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang