Chapter 9 - Waktu mengalir seperti air

5.2K 358 25
                                    

Seorang pemuda sedang mengayunkan pukulannya ke batang pohon mangga yang dibalut dengan tali ijuk di sekelilingnya. Pemuda itu berkulit agak gelap dengan tinggi badan sekitar 170cm.

Meskipun wajahnya tidak bisa dibilang ganteng sekali, tapi tetep enak dipandang, apalagi kalau wajah itu sedang dialiri keringat dan terlihat sedang berkonsentrasi dengan latihan beladirinya. Pemuda itu memancarkan pesona yang lain.

Pesona yang bukan semata-mata berasal dari wajah, tapi memancar dari seluruh bagian tubuhnya. Bukan ‘ganteng’ ala boyband korea yang kadang membuat kita susah membedakan mereka itu laki-laki apa wanita. Atau membuat kita bertanya-tanya mana bagian wajah yang belum pernah operasi plastik.

Bukan juga ‘ganteng’ ala artis-artis metroseksual yang rajin ke salon untuk pedicure manicure.

Ketika melihat keringat yang membasahi seluruh tubuhnya dengan badan yang tidak sekekar binaragawan namun garis-garis otot tergambar jelas. Ketika melihat gerakan tubuhnya saat melakukan pukulan ataupun tendangan ke sasarannya. Cuma satu kalimat yang mungkin terlintas di otak.

Seperti inilah harusnya seorang lelaki.

Tak jauh dari pemuda itu, seorang gadis berjilbab sedang duduk sambil menopang dagunya dan sambil tersenyum melihat ke arah pemuda yang tanpa lelah mengayunkan pukulannya itu. Dia duduk di tanah dengan hanya beralaskan tikar lipat yang dia bawa dari rumah.

Tidak terlihat tanda-tanda make-up di wajah gadis itu. Namun kecantikan alami nampak tergambar jelas disana. Ketika si gadis tersenyum, dua lesung pipit kecil menghiasi senyumnya. Sesekali dia berteriak memberi semangat kepada pemuda itu sambil menepukkan kedua tangannya.

Dia memberi semangat kepada pemuda yang telah membuat harinya selalu ceria dan berwarna selama beberapa tahun terakhir.

Mereka adalah Munding dan Nurul.

4 tahun telah berlalu sejak pertama kali Nurul dan Bapaknya bertemu dengan Munding yang terluka di tengah tanah lapang desa Sukorejo. Nurul yang waktu itu diajak Bapaknya ke acara kondangan rekannya bertemu dengan Munding saat perjalanan pulang.

Selama empat tahun ini, Munding kecil yang dulu merintih-rintih di tengah lapangan sudah menjadi pemuda yang kuat dan tampan. Idola para gadis di kampung Nurul. Bukan sekali dua mereka meminta tolong Nurul untuk menitip salam kepada Munding.

Empat tahun memang bukan waktu yang lama, Munding kini telah duduk di kelas satu SMAN 1 Sukolilo, sedangkan Nurul sudah menjadi siswa kelas 3 SMPN 1 Sukolilo. Tak perlu ditanya Nurul mau melanjutkan kemana.

Sudah pasti dia akan menyusul Munding.

“Mas Munding, istirahat dulu, ini minumnya,” teriak Nurul.

Munding pun tersenyum dan berjalan ke arah Nurul yang duduk di atas tikar. Mereka sebenarnya latihan di kebun Pak Yai, cuma berjarak 30 m saja di belakang rumah Pak Yai, Bapaknya Nurul.

Tapi Nurul selalu menganggap kalau mereka seperti sedang berpiknik. Membawa minum, makanan ringan dan tikar lipat untuk menemani Munding.

“Jangan dekat-dekat Nurul lho. Mas Munding bau keringat!” kata Nurul sambil berpura-pura menutupi hidungnya.

“Ihhhh. Mana ada?” Munding mencoba mengendus-ngendus kaosnya yang berkeringat tapi sama sekali tidak mencium bau yang dimaksud Nurul.

“Hahahahahahahahahahaha, becanda ah Mas. Gitu aja diseriusin sih,” kata Nurul sambil tetap tertawa.

Munding cuma tersenyum kecut dan menerima botol air yang diberikan oleh Nurul. Kemudian dia duduk meluruskan kakinya di tepian tikar sambil menarik napas panjang.

Pandangan mata Munding pun menerawang ke hamparan sawah yang ada di dekat kebun. Hamparan sawah yang juga memanjang hingga ke belakang mushola yang sampai sekarang menjadi ‘rumah’ Munding.

Munding teringat sawah Bapaknya yang ada di kampung Sukorejo dan kembali menghela napas. Tak terasa sudah empat tahun Munding tinggal di rumah Pak Yai. Empat tahun yang paling menyenangkan yang dia rasakan sejak Bapaknya meninggal.

Munding pun tersenyum dan mengucap syukur kepada Allah.

“Ngapain Mas Munding senyum-senyum sendiri? Lagi mikirin cewek ya?” tanya Nurul.

Munding melirik ke arah Nurul dan mencoba menjitak kepalanya, “anak kelas 3 SMP dah ngomongin pacar-pacaran, Mas bilangin ke Bapak lho nanti,” ancam Munding.

Nurul bersungut-sungut, dia paling benci kalau Munding menganggapnya anak kecil, “Nurul tu udah dewasa sejak kelas 1 SMP Mas, lagian kita kan cuma beda umur 1 tahun aja, sok dewasa banget deh Mas Munding ini,” kata Nurul sambil cemberut.

Dan Munding pun tertawa terbahak-bahak. Dia kembali teringat kejadian yang dimaksud Nurul. Kejadian lucu yang terjadi waktu Munding kelas 2 SMP dan Nurul kelas 1 SMP.

Seperti biasa, Nurul seharusnya mengajari Munding mengaji selepas maghrib, karena ba’da ashar sudah menjadi waktunya Pak Yai menghajar Munding dengan batang rotan kesayangan. Selesai sholat maghrib, Munding menunggu di mushola seperti biasanya dan kemudian datanglah seorang gadis kecil berjilbab yang mengucapkan salam di depan mushola.

“Assalamualaikum,” salam si Gadis Kecil itu.

“Waalaikumsalam,” jawab Munding.

Tanpa disuruh gadis berjilbab tersebut langsung duduk di depan Munding dan mulai membuka Al Qur’an. Munding tentu saja kaget karena merasa tidak kenal dengan gadis di depannya.

“Maaf Mbak, sampeyan siapa ya? Saya masih nunggu guru ngaji saya di sini,” kata Munding.

Gadis kecil itu kemudian mengangkat mukanya dan melihat ke arah Munding, tapi si Munding masih juga merasa asing dengan wajah di depannya.

“Mas Munding, ini Nurul!!! Mulai hari ini Nurul harus pakai jilbab. Nurul sekarang udah jadi seorang wanita,” kata Nurul sok dewasa.

Dan Munding yang terkejut pun spontan tertawa sambil menunjuk expresi lucu Nurul yang sok dewasa dengan wajah terbungkus jilbabnya.

Beberapa bulan kemudian barulah Munding tahu maksud Nurul kalau dia sudah jadi seorang wanita. Nurul rupanya sudah mendapatkan mens pertamanya.

Ckiittttttttttttttttttttt.

“Aduuuuhhhhhhhh,” Munding menjerit merasakan rasa sakit tiba-tiba di pinggangnya.

“Rasain! Pasti lagi ngetawain Nurul kan?” kata Nurul dengan nada sadis.

Munding yang barusan dicubit sama Nurul pun cuma bisa mengelus-ngelus pinggangnya.

“Sakit lho Dek ...” protes Munding sambil meringis.

“Biarin. Awas!! Nurul mau lipat tikernya, bentar lagi maghrib. Mas Munding belum mandi lagi. Nanti kalau telat mandi siapa yang mau adzan?” kata Nurul sambil mulai berberes-beres.

munding (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang