Chapter 50 - End part 2

6.6K 304 48
                                    

Munding duduk bersila di teras depan rumah menemani Bapak mertuanya. Sejak Munding berhasil melakukan inisiasi, Munding sebenarnya diperbolehkan Bapak untuk meminum minuman selain air putih, tapi Munding sudah terlanjur terbiasa dengan itu. Jadi di depan Munding hanya segelas air putih hangat dan tempe goreng saja yang tersedia.

“Kamu serius Le soal ini?” tanya Pak Yai ke Munding.

“Serius Pak. Nurul istri Munding dan Munding merasa berhutang budi atas meninggalnya Jumali. Jadi Munding merasa kalau ini adalah hal yang benar untuk dilakukan,” jawab Munding.

“Untuk keluarga Jumali, Bapak bisa pahami, tapi untuk Nurul, kamu ini kan suaminya. Apa bedanya kalau sawah ini tetep atas namamu? Nggak perlu diganti nama juga ke si Nurul to?” tanya Pak Yai.

Ya. Munding memang meminta Pak Yai untuk mengurus pemecahan sekaligus balik nama sawah Bapaknya menjadi dua. Separuh untuk istrinya dan separuhnya lagi untuk Asma. Tapi Munding sama sekali tidak mempunyai niat apa-apa kepada Asma. Dia melakukan itu semata-mata karena merasa berhutang budi kepada keluarga Jumali.

Sahabat Wage yang merelakan nyawanya demi amanah yang dititipkan kepadanya.

“Bapak, Munding kan sudah cerita semua kejadian yang Munding alami malam itu di Sukorejo. Munding merasa kalau mereka suatu saat akan datang dan menahan Munding,” kata Munding pelan.

“Tidak akan ada yang berani membawamu selama Bapak masih ada disini,” kata Pak Yai, kata-kata yang terdengar arogan tapi sebenarnya berasal dari rasa percaya diri yang dia miliki.

Munding terdiam. Dia tahu seberapa kuat Bapak Mertua dan guru silatnya ini. Dulu waktu dia belum tahu apa-apa, waktu dia masih belajar silat awal-awal, Munding merasa kalau Pak Yai hanyalah seorang guru ngaji biasa yang mungkin pernah berlatih silat di pondoknya.

Tapi sekarang, ketika Munding sepenuhnya menjadi serigala petarung yang sudah terinisiasi, petarung yang bahkan pernah merasakan duel hidup dan mati, Munding tetap merasa kalau dia tidak akan bisa mengalahkan orang tua di depannya ini. Sekalipun Munding masuk ke mode tarungnya, nalurinya berkata kalau Pak Yai bisa menghabisinya dengan sedikit usaha.

“Ya sudah gini saja, Bapak menghargai keinginanmu. Untuk gadis Sukorejo itu, aku akan membantumu mengurusnya segera. Dia sekarang yatim karena Jumali sudah tiada. Kalau dibiarkan lama-lama tanpa pemberi nafkah. Nanti banyak orang memanfaatkan kondisi ekonomi keluarga itu,” kata Pak Yai.

“Untuk Nurul, kamu memang suaminya, tapi kalau memang suatu saat kamu pergi, aku akan menjaganya. Untuk punya Nurul, biarkan saja menggunakan namamu. Bapak yang akan menyimpannya,” kata Pak Yai.

“Iya Pak Yai.” jawab Munding.

=====

Sekitar 2 bulan setelah kasus di Sukorejo. Malam hari.

Sekelompok pasukan menggunakan baju taktis berwarna hitam. Masing-masing anggota menggunakan alat komunikasi yang dipasang di telinga mereka. Mereka juga menggunakan baff hitam yang menutupi wajah mereka sampai sebatas hidung. Mereka berada dalam suatu kendaran tempur atau yang lazim disingkat ranpur buatan dalam negeri.

Dua buah kendaraan tempur buatan PINDAD yang memiliki nama Komodo tersebut terlihat berhenti di tepian jalan raya desa Sumber Rejo.

Agak jauh dari rumah Pak Yai.

Dari masing-masing Komodo turun sepuluh orang personel dengan penampilan yang sama dan senjata laras panjang tersandang di pundak mereka.

Mereka bukan Densus 88, mereka adalah team elite dari Sat 81 Gultor. Bagian terelit dari komando pasukan khusus milik Angkatan Darat yang memang dilatih dan ditujukan untuk menanggulangi serangan terorisme berat.

munding (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang