Chapter 15 - Ibu dan Anak

7K 288 21
                                    

Munding dan Nurul kembali ke RSUD Sukolilo dengan satu tas berisi baju dan keperluan mandi untuk Bapak dan Ibu.

Saat mereka sampai di sana, Pak Yai sudah dipindahkan ke kamar rawat inap. Untuk RSUD sekelas kota kecamatan seperti ini, fasilitas rawat inapnya tentu tidak secanggih dan semewah RS di kota besar.

Pak Yai ditempatkan di bangsal perawatan kelas 1 dengan rekomendasi dari Pak Razak, kepala desa Sumber Rejo. Di bangsal kelas satu ini, cuma ada dua pasien di setiap kamarnya. Dan kebetulan untuk kamar yang ditempati Pak Yai, ranjang sebelah sedang tidak ditempati pasien.

“Ibu, ini baju-bajunya. Biar Nurul yang gantian jagain Bapak, Ibu mandi sama makan dulu,” kata Nurul kepada Ibunya.

Munding berdiri di belakang Nurul dan matanya tak lepas menatap Pak Yai yang masih tak sadarkan diri tapi dengan nafas yang teratur.

Munding terlihat sedang berpikir keras dan menekan amarahnya sebelum akhirnya dia melepaskan nafas panjang dan akhirnya terlihat sedikit lebih tenang. Perubahan wajah dan gesture tubuh Munding tidak diketahui oleh Nurul dan Ibunya.

“Bu Nyai, Nurul, Munding mau lihat ke rumah dulu, siapa tahu ada yang lupa belum dikunci. Nanti Munding balik lagi kesini,” kata Munding pelan.

Nurul melirik sebentar ke arah Munding dan dia tidak melihat sesuatu yang aneh disana, kemudian Nurul pun tersenyum manis dan menganggukkan kepalanya, “ati-ati lho Mas. Setelah pulang langsung kesini,” kata Nurul, mirip dengan kata-kata seorang istri kepada suaminya.

Bu Nyai menangkap sesuatu yang aneh dari nada dan cara bicara anaknya ke Munding. Dan setitik kecurigaan mulai timbul di hatinya. Tak lama kemudian setelah Munding keluar meninggalkan ruangan rawat inap, Bu Nyai ingin memastikan kecurigaannya.

“Nurul, coba ambilin nasi goreng yang kamu bungkusin tadi, Ibu laper, mau makan dulu baru nanti mandi,” kata Bu Nyai.

Nurul pun berdiri seperti biasanya, tapi tiba-tiba, sisa rasa perih di kemaluannya membuatnya berhenti sejenak dan menggigit bibirnya. Setelah itu dia berjalan pelan ke arah kantong plastik yang diletakkannya di meja.

Karena rasa perih yang ada di kemaluannya, cara berjalan Nurul tidak seperti biasanya. Seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal di antara kedua pahanya.

Bu Nyai yang memang sengaja ingin memastikan keadaan anaknya, ketika melihat semua tanda-tanda dari anaknya, tiba-tiba menutup mulutnya dan air mata menetes dari matanya.

Nurul kembali mendekati ibunya dengan membawa nasi goreng dan sendok kemudian memberikannya kepada Ibunya. Tapi tangan Nurul berhenti ketika dia melihat Ibunya memandangnya sambil meneteskan air mata.

“Ibu kenapa?” tanya Nurul dengan lembut.

“Nurul, kamu ... sama Munding ...?” kata-kata Bu Nyai memang patah-patah, tapi Nurul langsung tahu apa yang dimaksud Ibunya. Nurul sangat dekat dengan Ibunya, Ibu yang telah mengajari semuanya kepada Nurul.

Nurul menjatuhkan nasi goreng ke lantai dan kemudian memeluk Bu Nyai.

“Maafin Nurul ya Bu,” bisik Nurul perlahan.

Bu Nyai masih terisak-isak dalam tangisannya selama beberapa menit, Nurul masih tetap terdiam dan memeluk Ibunya.

“Masmu yang minta atau Nurul yang ngasih?” tanya Bu Nyai pelan di sela tangisannya yang mulai reda.

“Nurul yang ngasih Bu,” jawab Nurul pelan.

Bu Nyai menyeka air mata yang keluar dari matanya. Dia menatap ke arah anaknya dan kemudian bertanya ke arah Nurul.

“Nurul beneran rela jadi istri Munding?”

“Nurul rela Bu,” jawab Nurul pelan.

Bu Nyai pun mengelus-ngelus kepala Nurul yang masih tertutup jilbab.

“Sakit?” tanya Bu Nyai sambil tersenyum.

“Sakit banget,” jawab Nurul, “Nurul sampe nangis.”

“Jangan sampai Bapakmu tau, bisa habis nanti Masmu dihajar Bapak,” kata Bu Nyai sambil mencium kening Nurul yang mulai tersenyum bahagia.

“Sekarang ceritain sama Ibu, gimana kalian nglakuinnya ..” kata Bu Nyai yang disambut dengan rona merah di muka Nurul.

Author note:

Sampe disini terus terang saya jadi galau. *cie macam abg labil aja.

Maksudnya ceritanya mau dibawa kemana gitu, saya ngerasa gagal membuild up karakter 'munding' jadi seorang psychopath. Akhirnya kepikiran untuk ganti judul cerita aja.

Judulnya saya ganti dari 'I am a Psychopath' menjadi 'munding'. Saya serahkan saja pada pembaca apakah seiring cerita nanti munding bisa dikategorikan psycho atau nggak.

Maaf kalau chapter yang ini agak pendek.

Oke. Next chapter saya akan mencoba menulis 'fight scene'. Adegan perkelahian pertama munding dalam cerita ini.

munding (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang