Chapter 26 - The Truth part 1

5.1K 263 8
                                    

Selama beberapa hari berikutnya, Ayu selalu berdiri di depan pintu gerbang sekolah Nurul.

Pertanyaannya, kenapa dia nggak nunggu di depan SMA-nya Munding? Ayu sudah mencoba, tapi Munding bakalan langsung menghilang lenyap tanpa bekas setiap bel berbunyi.

Nurul sebenarnya pulang lebih dulu daripada Munding, tapi karena dia harus nungguin Munding, jadi Nurul biasanya ke perpus atau sholat dulu ke mushola di SMP-nya.

Biasanya dia baru akan berjalan ke depan gerbang setelah jam bubaran anak SMA. Karena itu berarti, Munding pasti sudah menunggunya di depan.

“Mas, kasihan kakakmu lho Mas. Dia udah beberapa hari ini nungguin Mas terus disini. Udah jadi langganan cuci mata cowok-cowok sekitar sini lagi,” kata Nurul ke Munding sesaat setelah dia berjumpa di depan gerbang.

“Iya deh,” jawab Munding yang sebenarnya kasihan juga.

Munding dan Nurul kemudian menghampiri Ayu yang berdiri menunggu Munding di sebelah mobilnya. Melihat mereka berdua menghampirinya, Ayu terlihat agak gugup dan membetulkan rambutnya yang sedikit acak-acakan tertiup angin.

“Ayu minta maaf Dek,” kata Ayu ketika mereka berdua sudah di depannya.

“Ke Nurul Mbak, bukan ke Munding,” kata Munding pelan.

“Maafin Mbak ya Dek Nurul?” kata Ayu sambil memegang tangan Nurul.

Nurul cuma mengangguk sambil tersenyum manis ke arah calon kakak iparnya.

“Nggak enak ngobrol disini, kita ngobrol di restoran deket taman kota aja yuk?” ajak Ayu ke Munding, “Munding biar naek mobil sama Ayu, nanti Dek Nurul bisa pulang sendiri naek motor Munding.”

“???” terlihat di wajah Munding dan Nurul.

“Mbak, kalau mau ngomong dipikir dulu bisa nggak sih?” kata Munding, “Munding ya sama Nurul, ngapain juga jauh-jauh ke taman kota, tuh di sebrang sana ada warung es teler.”

Ayu terlihat berpikir sebentar dan agak kaget mendengar kata-kata Munding barusan, lha emang tadi ada yang salah dengan permintaan dia ya? Ayu kan cuma ngajak Munding, nggak ngajak Nurul, batin Ayu.

“Iya deh,” jawab Ayu, “Nurul ikut juga?”

Tapi kali ini, Munding dan Nurul saling melihat, kemudian mereka berdua tertawa bersama. Baru sekarang mereka sadar, mungkin sudah sifatnya Ayu kayak gitu.

“Keliatannya Nurul bakalan susah adaptasi ni sama calon kakak ipar,” bisik Nurul lirih di telinga Munding dan dibalas dengan ketawa kecil oleh Munding.

Tak lama kemudian.

Munding duduk di sebelah Nurul dan Ayu duduk di seberang meja mereka. Ayu dan Nurul masing-masing pesan es teler, sedangkan Munding cuma pesan air putih.

Ya. Cuma air putih. Itulah satu-satunya minuman yang sekarang boleh diminum Munding, tentu saja atas intruksi Pak Yai.

Tapi bagi Munding itu nggak masalah, yang sekarang jadi masalah, semua mata lelaki yang ada di warung es teler tertuju ke arah meja mereka. Gimana enggak, ada dua cewek manis dan cantik duduk disana.

Bahkan ada sepasang kekasih yang bertengkar, gara-gara cowoknya nglirik terus ke arah Ayu yang bodynya memang aduhai.

“Kok Munding cuma minum air putih saja sih?” tanya Ayu.

“Instruksi Bapak,” jawab Munding.

“Bapak siapa?” tanya Ayu.

“Bapak mertua, siapa lagi?” jawab Munding yang disambut dengan cubitan mesra Nurul di pinggangnya.

Munding mengaduh dan mereka berdua pun tertawa, Ayu cuma memperhatikan tingkah Munding dan Nurul sambil sesekali tersenyum.

Ternyata kehidupan Munding nggak seburuk yang dia bayangkan selama ini. Munding juga mendapatkan kebahagiaannya sendiri selama empat tahun ini.

“Kamu tu makin lama makin mirip Bapak lho Dek ..” kata Ayu sambil melihat kearah Munding, tapi ada sedikit keanehan yang Munding rasakan dari tatapan mata kakaknya.

“Bapak??” tanya Munding.

“Bapak kita,” jawab Ayu, “Wage.”

Mendengar nama bapaknya disebut kakak kandungnya, raut muka Munding terlihat sedikit aneh, ada kesedihan, kemarahan, rindu, senang, bercampur aduk disana.

Nurul cuma terdiam sambil memegang dan meremas tangan Munding. Dia tahu secara garis besar kehidupan masa kecil Munding. Dan Nurul juga tahu kalau Bapaknya adalah salah satu titik sensitif yang dimiliki Munding.

“Kenapa?” tanya Ayu, “Munding pasti nggak pernah menyangka kan kalau Ayu yang bukan darah daging bapak, menganggapnya seperti bapak kandung Ayu sendiri.”

“Ayu dari dulu tu selalu iri sama Munding, Munding tiap hari diajak Bapak ke sawah, mencari rumput dan banyak hal lainnya di luar rumah.”

“Tiap kali Ayu merengek ke Bapak, Bapak selalu bilang, ‘Ayu itu wanita, di rumah aja, biar kulitnya nggak kusam dan hitam’, Bapak juga selalu nyuruh Ayu belajar masak, belajar menjahit dan banyak lagi pekerjaan wanita dari Ibu.” Ayu menghela napas sebentar.

“Bapak nggak pernah tahu kalau Ibu tu sama sekali nggak seperti yang dia bayangkan. Tak pernah sekalipun Ibu mengajari Ayu jadi wanita yang baik. Memasak, menjahit atau apalah, nggak ada.”

Nurul mengenggam erat tangan Munding dengan kedua tangannya. Tentu saja dia kawatir kalau kekasihnya kembali larut dalam kenangan pahit masa kecilnya.

“Itulah kenapa dari dulu Ayu pengen sekali ikut Bapak sama Munding ke sawah. Nemenin Bapak membajak sawah, menyiangi rumput atau apapun. Yang penting Ayu nggak mau tinggal di rumah."

"Setiap kali Ayu ngelihat Munding tertawa bahagia saat pulang dari sawah bersama Bapak, Ayu tu iri sekali. Kenapa cuma Dek Munding yang boleh ikut Bapak?” kata Ayu pelan dan air mata terlihat mulai keluar dari pelupuk matanya.

Ayu menarik napas dalam dan kemudian mengambil sapu tangan dari tasnya. Dia mengusapkan sapu tangan itu untuk mengeringkan air matanya, “tapi Ayu ke sini, bukan mau ceritain itu sama Munding.”

Ayu terdiam dan kemudian melirik ke arah Nurul. Setelah itu dia menatap Munding, “Dek, kamu beneran serius kan sama Nurul? Ayu mau ngomong sesuatu yang penting banget ni. Kalau bisa kita ngomong berdua aja.”

Munding melirik ke arah Nurul dan tersenyum, “Munding serius kok sama Nurul. Mbak kalau mau ngomong, silakan ngomong aja. Apa yang Munding musti tahu, Nurul juga boleh tahu.”

Nurul cuma tersenyum mendengar kata-kata Munding dan tidak melepaskan genggaman tangannya dari tadi.

“Ayu nggak bermaksud begitu Dek, tapi menurut Ayu, cuma hubungan darah yang abadi, seperti Ayu sama Munding. Bapak juga meninggal karena terlalu percaya sama sahabatnya. Ayu nggak ingin hal itu terulang sama kamu Dek,” kata Ayu.

Munding cuma terdiam tanpa menanggapi, bukan hanya satu atau dua kasus, kakak dan adek kandung memutuskan tali silaturahmi bahkan saling membunuh hanya karena rebutan harta warisan orang tua.

munding (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang