Chapter 2

15.2K 1.5K 279
                                    


...

Berkata pada diri sendiri bukanlah hal yang tabu, tentang bagaimana aku dengan keadaan tubuh yang kian melemah diiringi kelebihan luka yang kian menjamah. Mengingat jika keadaan kian mendorong seolah menyuruhku melenyapkan diri dari muka bumi.

Kendati aku menuruti keinginan keji yang diinginkan, akan jauh lebih baik jika aku memandang diri pada lapisan kaca dengan pandangan berpikir kritis. Berkaca pada diri sendiri tentang apa yang bermasalah denganku, seolah semuanya membenci dengan apa yang tubuh menyedihkan ini miliki.

Entah dosa apa yang aku perbuat terlampau waktu jauh di sana, atau pula pengucapan yang tidak pernah dapat kuhindari dan disadari—sehingga melukai hati salah satu dari mereka.

Kehidupan teori tentang kejahatan tidak seluruhnya nampak pada kasat mata. Kejahatan tidak berupa kehilangan akan barang berharga, atau kejahatan pula tidak berbentuk seolah menyerang fisik semena-mena pada kaum yang lemah. Tidak, itu adalah kejahatan yang terlihat umum untuk dihindari.

Ada salah satu kejahatan yang dapat diingat sepanjang hidup, atau pula dapat diingat sampai si korban masuk liang lahat sekalipun. Tentang pengucapan silat lidah yang mampu menyobek perasaan tanpa tahu kesakitan batin yang ditimbulkan.

Ya, aku merasakannya. Mengingat jika hidup penuh dengan hinaan, tentu membuat siapa saja dapat merasakan apa itu yang dimaksud dengan 'lidah tak bertulang'.

Dan ini adalah hari ketiga pasca kejadian di mana aku hampir saja meregang nyawa tak berdaya. Di bawah ufuk yang kian melapuk, aku terbangun seraya menilik halus tempat dingin yang tak pernah berpenghuni selama tiga hari. Entah bagaimana rasanya, tetapi aku hanya menanggapi seolah itu adalah hal biasa. Di tinggal olehnya berhari-hari pun merupakan jadwal hidup yang harus diterima sukarela. Tidak ingin menampik, ataupun membantah. Kenyatannya memang hidupku amat—sangat amat menyedihkan.

Ketika tungkai masih dapat menapak dengan baik, apa salahnya jika harus tetap berdiri? Melupakan apa itu derita, dan melupakan apa itu luka.

Sungguh, bukan hal aneh jika kehidupanku monoton dengan alur yang begitu-begitu saja. Terkadang aku berpikir, jika aku merupakan seorang istri yang tidak banyak menuntut. Tentu saja sebuah kebanggaan akan itu.

Tapi, satu lagi.

Atau mungkin pula—aku hanya tidak mampu meminta apa itu kebahagiaan seorang istri pada seoranh suami. Huh, tentu, semuanya memang rumit. Mengingat jika suami sendiri tak pernah menuntut lebih padaku yang jelas-jelas istrinya.

Ketika mengingat kembali kepada waktu lampau, apa yang menyebabkan diri terjerumus ke dalam neraka buatan Jeon Jungkook—merupakan sebuah hal menyakitkan yang cukup pasaran.

Lahir dari seorang wanita kuat tentu saja menjadi penyangga akan kebutuhan sosial tentang bagaimana kehidupan yang sejak dulu aku lalui. Tidak ada yang menarik, sungguh. Menderita dari dulu merupakan sebuah petaka, atau malah sebuah keberuntungan.

Lima tahun yang lalu lebih tepatnya (sebelum menjalankan kehidupan mengerikan seperti saat ini), aku hanyalah seorang pekerja paruh di sebuah kedai sederhana di pinggiran kota. Menjadi putri dari seorang ibu yang tidak memiliki suami; lebih tepatnya seorang janda. Bukanlah suatu kesalahan, tentu saja.

Tapi apa kalian tahu—bagaimana hari-hari yang aku lalui ketika umurku menginjak tiga belas tahun?

Semuanya meninggalkanku. Bahkan ibu yang selalu aku banggakan sekalipun—dengan berbekal perasaan tega pada seorang anak yang membuatku hidup seolah sebatang kara.

Mengingat jika aku bukanlah seorang gadis dari keluarga konglomerat, dan ditambah lagi ibuku hanyalah orang tua tunggal. Apa yang harus aku banggakan? Ketika melihat bagaimana ibu di cap sebagai seorang wanita selingkuhan, atau pula bisikan-bisikan menyakitkan yang tentu menghujam sisi buruk keluarga.

ᴅᴇᴄᴇɪᴛꜰᴜʟ; ᴊᴊᴋ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang