Barangkali Ahn Seulbi berniat untuk menolak, nyatanya ia terlalu cepat untuk menangkis itu dan lebih berlapang dada pun berbunga dengan sirat akan diterimanya penawaran yang Jungkook bubuhkan pagi tadi. Terdorong akan penawaran yang sekecil-kecilnya seolah membawanya untuk berdamai dengan hati. Pasang surut di antara kelabu kerap kali Seulbi hadapi dengan sekuat-kuatnya hati. Melihat Jeon Jungkook mendaki sikap akan rasa hangat mampu menghantarkan perasaan yang terus memuncak. Jeon yang satu ini memang super sekali, bukan?
Seulbi menentukan tampilan dengan waktu yang nyaris terbuang dua jam. Ia ingin sekali meresap rasa menjadi ratu walau sesingkatnya malam ini, walau kemungkinanya hanya sebatas kedipan sebelah mata. Polesan menjadi pemanis untuk mendapat sekiranya—mungkin senyum hangat Jungkook malam nanti yang Seulbi terima. Seulbi terkadang merasa bodoh jika ia sering kali tersenyum tipis dengan haluan yang entah kapan akan terlaksana. Namun, Seulbi hanya mampu bersyukur jika kali ini mimpi yang selalu ia harap terlaksana walau ada perasaan sedikit mengganjal untuk dilakon.
Dengan keadaan perasaan mulai berdebar, Seulbi berjalan ke arah halte bus terdekat. Mengutip pesan dari Jungkook yang dikirimnya beberapa jam yang lalu—jika jamuan makan malam kali ini bertempat sesuai dengan keinginannya. Seulbi hanya mampu mengiyakan takut-takut jika Jungkook merasa tidak senang jika ia menolak ajuan tempat sang gerangan.
Pandangan Seulbi melirik hilir mudik sebagaimana kehidupan kota besar pada umumnya. Tatapan kosong—entah apa yang tengah diterawang. Terlalu sulit untuk dijabarkan, Seulbi merasa jika perasaannya kian berkecimpung tajam pada satu titik. Ingin mengeluh, tetapi tidak dihendaki. Seolah hatinya sekuat baja. Sial!
Seulbi mengembusakan napas tatkala jemarinya sukses mendorong—tidak tergesa pada pintu kaca yang terasa menusuk dingin pada telapak. Obsidiannya menilik satu persatu tempat yang dapat membuat Jungkook merasa nyaman. Oke, Seulbi hanya perlu memikirkan perasaan Jungkook kali ini, tidak, tidak kali ini, ralat—maksudnya—seringkali, lebih tepatnya.
Seulbi mendudukan bokongnya pada barisan meja dekat dengan untaian kaca, menyuguhkan kembali objek yang senantiasa membuat diri sedikitnya merasa jenuh. Masih tersisa limabelas menit untuk menunjukan waktu sesuai janji. Seulbi kembali mengalihkan tatapannya pada rentetan lampu kendaraan pun kedai-kedai yang bernyala ramai seiring merangkaknya waktu.
Masih belum terdapat tanda-tanda munculnya presensi sang suami. Seulbi rasa waktu seakan berjalan sangat cepat melebihi biasanya. Entahlah, ia pikir hanya perasaan yang kerap kali gelisah, pun membawa akal buruk pada pikiran yang kian mengetuk. Seulbi melirik jam pada ponselnya.
19.55
Ia kembali mengembusakan napas, kembali menepis jauh-jauh perasaan gelisah. Seulbi menanamkan pada kepala jika Jungkook akan segera tiba, mungkin lima menit lagi, atau bahkan tiga menit lagi. Ya, tiga menit lagi. Ah, atau Jungkook sedikit terlambat—barangkali terjebak macet.
Seulbi memejam matanya sejenak, ia menampis opsi yang ketiga. Nyatanya ia jauh lebih tahu jika jalanan sangat, amat, dan terbilang cukup lancar.
Irisnya kembali merangkak pada waktu,
20.10
Tidak, tidak, tidak. Suaminya pasti akan datang sebentar lagi. Seulbi rasa ia hanya harus bersabar jika Jungkook adalah seorang pengusaha yang tentunya sangat sibuk. Kembali memungkinkan diri jika Jungkook sedikit tersendat pada pekerjaan dan mengharuskan datang jauh lebih lamban dari ketentuannya.
20.35
Sial. Jungkook pasti datang, kan?
Ya, pasti.
Seulbi mengangguk dalam hari. Jungkook tidak sejahat itu untuk membiarkannya terdiam menunggu seperti orang bodoh tatkala pandangan hujat menyerang dengan sirat seperti,
'Terdiam seperti orang tolol tanpa bergerak untuk setidaknya memesan air putih. Cih! memalukan.'
21.00
Seulbi hanya mampu menolak halus tatkala pelayan yang keempat kalinya datang untuk sekadar menanyakan perihal apa yang ingin dipesan. Lagi-lagi Seulbi menjawab dengan,
'Aku akan memesan jika suamiku sudah datang.'
Namun jauh dari kata nyata, Jungkook bahkan tidak sama sekali berkehendak diri untuk menampilkan presensinnya barang satu menit. Seulbi meringis dengan hati yang sedikit tertohok. Menahan segala rasa perasa yang muncul tatkala matanya kembali melirik waktu yang kian larut.
21.35
Tidak ada jamuan makan malam, tidak ada senyuman harap akan pujian cantik, tidak ada pula peranan menjadi ratu tetap pada malam yang didamba. Bahkan jika memang ia harus menjamu tuangan seorang diri, apa masih pantas jika ini disebut sebagai makan malam? Seulbi rasa ini nyaris menghinggap tengah malam.
Dengan perasaan sakit yang dibendung, Seulbi bangkit untuk memesan coklat panas. Setidaknya itu dapat mengurangi asumsi bodoh yang melintas di perpotongan rungunya. Perjalanannya untuk kembali ke apartment hanya berbekal sepatu yang melingkup pun sesekali sesapan pada cairan ia luncurkan.
Tangannya masih setia menggenggam ponsel yang sedari tadi tak luput dari sorotan. Mengharapkan panel notifikasi yang memunculkan balasan pesan dari pemuda di seberang sana. Alih-alih masa menunggunya berbuah hasil, nyatanya Jungkook sama sekali tidak berkeinginan untuk membalasnya. Seulbi rasa ia cukup tahu diri untuk ini.
Gemuruh kendaraan menemani pijakan demi pijakan untuk mencapai kediaman. Seulbi lebih memilih untuk berjalan kaki ketimbang menaiki kendaraan tatakala perasaannya tengah dirundung kacau. Hembusan napas berat entah sudah berapa kali wanita itu layangkan. Seulbi hanya merasa sesak, amat sesak. Terkadang ia tertawa miris mengulang kejadian yang amat ia benci, menunggu kehadiran suaminya selama dua jam—dan yang ia dapat hanya sebatas harapan yang dihantarkan oleh angin.
Aku pikir harapanku kali ini akan benar-benar terkabul. Nyatanya ini kembali membuatku sakit, Jeon Jungkook.
•••
Dentingan pintu lift terbuka terdengar nyaring. Lorong apartment terasa amat sunyi. Malamnya kembali dirundung duka. Seulbi ingin menangis meraung jika ia diperkenankan untuk menjadi wanita yang kembali lemah.
Ketukan sepatu berwarna semerah darah kembali bertemu dengan dinginnya lantai. Suara rincian pada password huniannya kembali terdengar selepas ia tinggalkan beberapa jam yang lalu, pun kembali dengan perasaan yang tidak sama. Seulbi melepaskan alas dengan hati yang kembali tercubit. Sepatu yang dipakai Jungkook pagi tadi nyatanya masih enggan untuk bertengger manis di antara sepatu dingin lainnya. Seulbi kembali tersenyum kacau, Jungkook ternyata belum pulang sama sekali.
Sial. Seulbi tidak ingin menangis, sungguh.
Kurasa kau tidak akan pulang malam ini, Jung. Ataupun malam-malam berikutnya.
—
TBC
a/n: Jungkook php, bre:') kolom komentar masih kosong jika kalian ingin memberikan kata-kata mutiara untuk Juki yang satu ini.
Oh, ya, aku lagi bucin Jungkook anzer:')ko dia hensem sekaleh, sih, jadi gak tega buat ngeduain Yuungikuh:') gak kuwad aku kalo terus liat mv nya:')*hikseuu semuanya kasep yurubun.
Big luv ...
Dali😘
KAMU SEDANG MEMBACA
ᴅᴇᴄᴇɪᴛꜰᴜʟ; ᴊᴊᴋ
FanfictionKetika semuanya berubah menjadi neraka, tidak ada seorangpun yang dapat menciptakan surga di antara kepungan hitam yang melanda. Started : 09 December 2018 Finished : 19 September 2019 ©Piperlight Tersedia E-book version Cover by pinterest