Jika semuanya akan berjalan teramat baik seperti apa yang diharap, bukan berarti Seulbi akan mengalah begitu saja, benar? Angan pada haluan sudah menjadi makanan sehari-hari, kendati memang dari hati yang paling dalam—Seulbi menginginkan hal itu.
Dangkalnya hati dari si pemuda Jeon benar-benar terasa sedikit berdenyut ngilu, seakan merasakan kenyataan pahit yang baru saja terlontar. Masalah Jungkook merasa tergores atau tidak, Seulbi selalu mengingatkan—jika itu bukan atas segala kehendak. Terserah saja jika Jungkook memang merasa ngilu, barangkali Seulbi hanya berpikir kelewat risau tatkala ia bahkan nyaris menjadi sesosok yang jahat.
Apa bedanya ia dengan Jungkook?
Tidak, dan bukan.
Sekarang lain waktu untuk membahas perihal perasaan suaminya. Taehyung lebih dominan tergores akan sebuah rasa sakit. Seulbi tahu itu. Menjadi pelampiasan bukanlah seonggok jiwa yang hebat, pun hal yang patut dibanggakan. Kendati memang Taehyung seakan bersikap seperti biasa saja.
Belum genap Seulbi melangkah sepuluh kaki dari tempatnya. Jungkook berucap terlebih dulu kelewat lembut, "Aku menunggumu di rumah. Pulanglah, Bi," ucapnya ringan begitu saja, seakan berkicau tanpa jiwa.
Seulbi terdiam dengan kejapan sedikit menimang. Tungkainya berjalan tersendat tidak kentara, meski hanya berlalu beberapa langkah saja. Lututnya terasa ingin kembali memaku, kembali menjejal aliran kicau dari mulut suaminya.
Jungkook tidak tahu apa yang tengah ia kecapkan saat ini. Hanya saja, perasaannya terlampau gelisah, pun torehan perasa bimbang menjadi satu. Waspada tidak karuan seringkali menginvasi hati. Mencegah Seulbi untuk tidak berlalu di hadapannya merupakan opsi yang terdengar sia-sia. Barangkali kekehannya hanya akan menghamburkan waktu.
Kendati Seulbi akan selalu menolaknya dengan teramat keras. Jungkook tahu itu. Istrinya bertabiat keras kepala, sama sepertinya. Bukankah akan terlihat sangat buruk, jika keduanya beradu argumen akan sebuah ego. Jika kemungkinan mengalah adalah pilihan yang lebih aman, kenapa tidak Jungkook lakukan?
Seulbi memejamkan mata sekejap sebelum bergerak berlalu begitu saja, tidak mengindahkan lontaran yang baru saja Jungkook paparkan. Tubuh Seulbi seakan tertampar pada kisah kelam kehidupan hitamnya yang entah kapan akan benar-benar segera berakhir. Rasa-rasanya, ia sudah tidak sanggup jika harus berjalan dengan dorongan alur melilit, seakan tanpa lelah untuk terus mempermainkan hingga terlilit mencekik. Kakinya teramat berdarah—sekecilnya jika harus menapak pada lantai selembut pun seempuk kapas.
Jungkook menatap punggung Seulbi yang berlalu begitu saja dengan abaian yang Jungkook terima. Tidak, Jungkook tidak merasakan sakit, sungguh.
Alibinya seperti itu, mungkin.
Ia hanya merasa tidak rela jika istrinya pergi dengan pemuda lain di depan matanya sendiri. Alih-alih Jungkook menghantam wajah Taehyung dengan gemas, Jungkook lebih dulu beranjak, bergegas pergi untuk setidaknya menghilangkan perasaan kalut sialan yang menghinggap—seperti saat ini.
•••
Rasa sakit yang paling terasa nyeri adalah di mana kita hidup seakan jauh dari sebuah kata dihargai. Seulbi merasakan itu jauh lebih awal. Merasa dibuang tanpa sekecap kata yang mampu membuat diri sedikitnya berharga. Perjuangan dari titik di mana ia harus bergerak seorang diri.
Jika memang usahanya hanya dipandang tidak berguna, kenapa tidak bicara secara terang guna menghentikan kekonyolan yang Seulbi perbuat. Bukan, bukan berarti Jungkook tidak berbicara secara lantang. Hanya saja, Seulbi terlalu bodoh untuk memahami perkataan pun sikap yang selalu Jungkook tunjukkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ᴅᴇᴄᴇɪᴛꜰᴜʟ; ᴊᴊᴋ
FanfictionKetika semuanya berubah menjadi neraka, tidak ada seorangpun yang dapat menciptakan surga di antara kepungan hitam yang melanda. Started : 09 December 2018 Finished : 19 September 2019 ©Piperlight Tersedia E-book version Cover by pinterest