Chapter 10

8K 1.1K 114
                                    

...

Seulbi tidak tahu apa yang akan dibicarakan Kim Taehyung sore ini. Bermaksud untuk menanyakan apa tujuan dan gerangan nyatanya ditolak kilat Taehyung, pun membantah keras jika topik yang akan disampaikan tidak semurahan berita jalanan sampai-sampai harus digelar melalui sambungan seluler.

Seulbi mengeluarkan napas pelan seraya sedikit menimang tanpa sulit untuk segera mengangguk meski si pemuda di seberang sana tak dapat melihat perihal anggukan yang digunakan.

Segenap kepercayaan Seulbi pada Taehyung—ia berikan. Sungguh. Seulbi tidak akan pernah membual akan itu. Bukannya bermaksud untuk memanfaatkan keadaan yang ada, hanya saja ia terlebih dulu menyadari bahwasannya Seulbi hidup tidaklah memiliki seseorang yang mampu menemani di kala dunia kembali menghimpitnya agar terlihat lebih kecil—melebur hancur.

Dan pula, ketika di mana Jungkook perlahan akan pergi menjauh meninggalkan tanpa berkeinginan untuk saling mengaitkan lengan—meski hati kecil Seulbi meraung menginginkan barang sekecilnya sebuah sentuhan.

...

Hembusan angin mendorong awan agar terus melaju meski gerakan seolah merangkak untuk segera mencapai haluan. Memegahkan diri terdengar mustahil jika kehidupan dikelilingi elokan dunia yang dapat memanjakan hasrat akan kemewahan yang memikat.

Jari berbalut lingkaran cin-cin berharga jutaan won masih enggan untuk berpindah dari pijakan akan lengan yang masih setia memutar pinggiran cangkir. Seulbi menatap kosong selepas kecapan ngilu yang Taehyung paparkan. Masih enggan untuk mempercayai, tetapi kuatnya bukti menjadi kekalah tersendiri. Seulbi tahu jika semuanya memang bukan sebuah tipuan.

"I-ini sedikit membuatku ragu, Taehyung. Tetapi perihal Song Yeji, apakah ucapanmu benar-banar nyata?" Seulbi meneguk liur pun rasanya terasa pahit. Kelebat bayang akan dirinya yang menjadi sebuah perempuan akan pelarian—terdengar memilukan. Mengasihani diri tidak pernah berhenti untuk terus Seulbi bumbungkan meski semuanya nyaris membakar hati.

Taehyung sedikit mendengus kesal. "Kau pikir aku mengada-ngada perihal bukti yang kuberikan. Kau bercanda?"

Seulbi meringis mendengar penekanan kata yang Taehyung keluarkan. Tidak seharusnya ia meragukan apa yang Taehyung sampaikan. Teramat baik pemuda itu masih sudi untuk membantunya, memberikan seonggok bukti yang dengan jelas menyatakan seberapa hina seorang Ahn Seulbi.

"Maaf, maafkan aku. Aku tidak bermak—"

"Ahn Seulbi, berhenti untuk terus menyakiti dirimu sendiri. Lepaskan jika memungkinkanmu untuk melepaskannya. Aku akan selalu ada di sini, sungguh. Kau seharusnya mendengarkan ucapanku jauh lebih awal."

Taehyung berucap seadanya. Ia tidak bermaksud untuk berucap kasar ataupun mengucapkan sebuah kata semenyebalkan itu. Taehyung marah pada dirinya sendiri, tidak lepas dari kegagalan diri untuk membujuk wanita di hadapannya agar tidak berjuang terlalu jauh.

Seulbi tertegun, seketika menolehkan pandangan. Matanya mamanas, hatinya rapuh, harapannya terjatuh, Seulbi merasa terpuruk. Jiwanya memburuk ketika mengaharuskan Taehyung melihatnya dengan keadaan luka yang sama.

"Ya. Aku akan segera melepaskannya jika dia benar-benar menyuruhku untuk berhenti mengikat."

Mencoba untuk mengurangi tekanan batin sedari dulu adalah keinginannya. Seulbi menginginkan itu. Tetapi jauh dari harapan, Seulbi hanya dapat memperingati jika itu hanyalah sebuah sapuan angan yang mulai berpencar tidak ingin menyatu kembali kepada keinginan.

•••

Perkataan Taehyung masih melekat jelas pada ingatan. Aku merasa menjadi manusia paling bodoh tatkala kecapan segudang penjelas mengalir tak tersendat begitu saja seolah sangat mudah untuk dicerna, padahal jauh dari kata mudah, nyatanya itu barangkali mampu membuatku berpikir keras ke belakang sana dengan rentetan kelebat bayang pada kejadian-kejadian lampau.

Seusai Taehyung menuangkan seluruh informasi yang didapat, tepat di saat itu pula Jungkook menghilang tanpa kabar. Tiga hari sudah aku tidak menemukan presensi Jungkook. Entahlah, aku tidak tahu apakah ia sudah mengetahui lebih dulu kebenaran yang—sedikit melenceng. Atau pun ia berlagak seolah tidak tahu.

Hm, oke, sedikit menyakitkan jika Jungkook mengahadap dengan gurat penuh luka akan sebuah wanita yang terlalu disayang—berbelok arah dengan tujuan tak masuk akal.

Menatap penuh atensi pada langitan putih pucat di atas sana. Berpikir dengan terus berpikir seolah tanpa habis untuk menjelajah jawab yang nyatanya tak kunjung ditemu. Helaan napas mengikuti jalur akan detikan waktu yang kian merangkak tanpa ingin berhenti.

Derit engsel sedikit meriut ngilu jika gelombang hening tak cukup kecil untuk perbendar dengan malam. Obsidianku teralihkan, menatap sedikit terkejut pun rasa sakit seolah berpadu dengan rasa iba tatkala wajah itu sirat terlihat jelas akan serpihan luka yang mungkin saja Jungkook terima beberapa waktu terakhir.

Tubuhku beranjak menghampiri meski terang-terangan jelaga hitam itu menajam seiring rampasan pada jas di bahunya aku rampas. Sedikit membuatku meremang, tentu saja.

"Aku akan menyiapkan air hangat untukmu."

Dengan segera aku berbalik—
melangkah untuk mencapai tuas pintu. Namun, belum genap aku melangkah lebih jauh, seruan datar di belakang sana mampu membuat kedua tungkaiku berhenti untuk meniti. Aku menoleh tanpa ragu, mencoba mengabaikan perasaan gelap yang kian melingkup.

"Kau sudah tahu?" Jungkook melayangkan suara dengan pertanyaan yang mampu membuatku membatu seiring mencerna perihal topik apa yang tercipta.

"Jangan membual jika kau tidak ingin terlihat kembali menjadi manusia paling menyedihkan, lagi, dan lagi." lanjutnya penuh penekanan.

Mata hitam itu menatap penuh kecaman. Kesedihan pun kesakitan kembali meraup jiwa untuk kembali rapuh.

Menyedihkan sekali, sungguh.

Kupejamkan mata seiring langkah kaki di seberang sama kian mengikis jarak. Kembali membuka atensi dengan objek yang berbeda. Menatap lantai marmer dengan perasaan tak menentu. Aku tahu Jungkook bukanlah seorang gegabah yang membiarkan seonggok sampah sepertiku mengetahui kehidupannya.

"Tatap mataku, Ahn Seulbi!" Jungkook murka. Pancingan amarah kian timbul.

Perlahan irisku menaut penuh pada sang dominan. Hatiku merasa terpukul melihat binaran manik miliknya penuh dengan perasaan kacau. Kutarik napas sebelum menimpal tuntutan jawab yang Jungkook inginkan.

"Ya, aku mengetahuinya," timpalku sesingkat mungkin.

Aku melihatnya membuang napas kasar, mengusak acak surai dengan gerakan penuh gejolak akan tindakan. Rahangnya mengeras dengan kepalan tangan yang kian membentuk urat. Menonjolkan bringas seolah siap untuk melulu—lantah keadaan.

Matanya memerah, pun berucap, "Aku ingatkan padamu dengan lantang, Seulbi. Kau tidak seberharga itu sampai-sampai harus mengulik jauh kehidupan pribadiku. Kau hanyalah manusia yang patut untuk bersyukur karena aku masih berkeinginan untuk menampungmu. Dan pula, berhenti untuk menjadi manusia paling tidak tahu diri. Kau di mataku, terlihat amat begitu menyedihkan. Aku bersungguh untuk itu, Ahn Seulbi." []

ᴅᴇᴄᴇɪᴛꜰᴜʟ; ᴊᴊᴋ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang