Chapter 19

6.5K 1K 242
                                    

Jung Hoseok memang dari awal berpikir jika meniti kehidupan seorang Jeon Jungkook tidak akan pernah ada habisnya. Kendati Hoseok mengenal jauh lebih unggul dari pada yang lain, barangkali jika ia memang sudah berteman semenjak keduanya saling berbagi popok dalam tali eratnya sebuah pertemanan.

Jadi, jangan kira Hoseok akan terdiam saja tatkala Jungkook mendapat guncangan perihal masalah yang mampu membuatnya turut ikut andil dalam semua hal. Mengenai pernikahan yang tanpa didasari landasan akan sebuah perasaan dengan Ahn Seulbi, tentu Hoseok tahu tentang itu. Perihal tentang hubungannya yang nyaris berakhir dengan istri pertamanya, Hoseok pula tahu itu. Jadi, apa yang tidak Jung Hoseok ketahui tentang pemuda Jeon?

Tepat pada malam pertengahan musim kemarau, Jungkook datang kepadanya dengan segudang curahan yang berakhir dipaparkan pada Hoseok tanpa adanya sebuah sendatan. Jung Hoseok melihat manik hitam milik Jungkook membinar tatkala pemuda Jeon itu berucap jika pernikahan yang nyaris kandas—terdapat sedikit perubahan hingga membangkitkan kobaran semangat Jeon Jungkook untuk terus bertahan hidup, dramatisnya seperti itu.

Ada perasaan lega dalam benak, tentu saja. Hanya saja, ada perasaan lain yang mampu membuat Hoseok sedikitnya meringis secara bersamaan. Mengenai Ahn Seulbi, harus atau tidaknya Hoseok berpikir jika wanita itu akan terus kembali dibubuhkan perasaan luka oleh suaminya. Kendati jika Ahn Seulbi memang teramat mencintai Jungkook, meski terang teramat terang jika Jeon Jungkook menendang dan menatap remeh perasaan wanita itu padanya.

Seperti saat ini, Hoseok berkunjung pada kediaman Jungkook untuk sekiranya menyentil kuat pelipis yang masih perlu dipertanyakan isi dari kepala pemuda itu. Suara gemuruh mesin pendingin masih setia mengapit topik di antara keduanya. Hoseok sedikit bertanya pada si Jeon, mengapa ia harus bertemu di hunian Jungkook dengan Seulbi—jika Hoseok masih setia untuk bekerja di kantor Jungkook esok pagi?

Alih-alih Jungkook menjawab kelewat lantang, ia hanya mengeluarkan sedikitnya suara parau, pun berucap sedemikian pucat. "Kepalaku hanya sedikit pening."

Sebenarnya, Hoseok bisa saja membatalkan gerangan untuk berkunjung. Hanya saja, Jungkook bersuara teramat kekeh jika ia baik-baik saja. Hanya demam kecil, apa yang harus dikhawatirkan, toh, jika Jungkook masih mampu untuk sekiranya berjalan tegak dan berdiri, katanya tak mau kalah.

"Kau yakin baik-baik saja, Jeon?" Hoseok berucap sedikit paranoid sendiri tatkala tangannya menyentuh pelipis Jungkook yang terasa sedikit hangat.

Rasa-rasanya jika dalam keadaan lemah seperti ini, aura kasar dari seorang Jeon Jungkook tidak gencar untuk mengudara. Setidaknya dalam keadaan sakit seperti ini, si Jungkook tidak dapat mengeluarkan hardikan tajam yang mengundang Hoseok untuk terus menetap seraya berharap jika semuanya akan baik-baik saja.

Enggan untuk kembali menimpal, Jungkook hanya mampu menyandarkan tubuh pada punggung sopa seraya kepala mendongak ke atas dengan kedua mata yang terpejam rapat. Mengetahui jika waktu nyaris melewati jam makan malam, Hoseok meniti pandangan ke seluruh penjuru. Dahinya sedikit mengerut kecil tatkala ia mengetahui jika Ahn Seulbi tidak ada dalam kediaman. Bahkan waktu kian merangkak pada larut.

"Ahn Seulbi tidak ada?" Jung Hoseok bertanya seraya menatap ke arah jarum jam yang hampir menghinggap angka sebelas.

Kepalanya terasa berat bukan main, perihal Ahn Seulbi yang belum menampakan presensi—menjadi masalah utama Jungkook untuk segera bergegas memanggil Jung Hoseok kemari. Setidaknya pemuda itu dapat membantu Jungkook untuk mencari keberadaan istrinya, pun di mana tempat wanita itu bekerja hingga pulang nyaris larut-larut saja.

Dalam diam Jungkook menyahut dengan berdehem kecil seraya tersenyum kecut. Konyol sekali, sungguh. Jungkook merutuk sinting dalam hati. Sudah terhitung hampir lima hari Seulbi menekuni pekerjaan tanpa melupakan kewajibannya sebagai seorang istri. Seulbi bahkan menyiapkan sarapan untuknya meski mati-matian ia mengabaikan dan berlalu begitu saja tanpa berminat untuk sedikitnya menyicip.

Tepat pada pagi tadi, Ahn Seulbi melewatkan kegiatan untuk membuatkannya sarapan seperti biasa, kendati semuanya akan terbuang sia-sia. Tapi mengapa ada perasaan sedikit kosong tatkala presensi itu meninggalkannya lebih dulu seraya berucap dingin.

"Kau tahu jika aku menyiapkan sarapan untukmu hanya akan berakhir di tempat pembuangan. Jadi untuk hari ini, aku meminta ijin padamu jika aku tidak dapat menyuguhkan hidangan seperti biasanya."

Jungkook mengembuskan napas sedikit panas. Hoseok mengetahui itu. Jika dilihat teramat jeli, ia dapat melihat jika adiknya tengah dirundung perasaan kacau. Perasaan hati yang buruk mengawali pemikiran Hoseok pada Jeon Jungkook. Enggan untuk membuang waktu, Hoseok kembali berucap dengan perasaan tak karuan, "Jadi, alasan apa yang mengharuskanku malam-malam seperti ini pergi ke kediamanmu, Jungkook?" tanyanya, seperti itu.

Jungkook memejamkan irisnya lamat-lamat sebelum menyipit terbuka—menatap langitan putih di atas sana. "Aku membutuhkan bantuanmu untuk mencari di mana Seulbi selarut ini, dan pekerjaan apa yang tengah ia lakoni."

Hoseok tahu sekarang. Jeon Jungkook teramat menjaga martabat tingginya untuk sekadar mengorek kehidupan Seulbi saat ini. Kenapa tidak ia tanyakan sendiri, toh, keduanya tinggal di bawah atap yang sama. Hoseok tidak habis pikir dengan apa yang Jungkook inginkan. Tidak menginginkan, tapi ingin peduli pada kehidupannya. Bukankah seharusnya masing-masing saja, kendati Jungkook tidak mengharap pun menginginkan Ahn Seulbi untuk terus berada di sampingnya.

"Kau—peduli padanya?" Hoseok bertanya secara tiba-tiba.

Keduanya menghening secara bersamaan. Jungkook terdiam seraya mencerna pertanyaan bodoh yang baru saja terlempar. Peduli, katanya.

•••

Suara deru mesin pendingin ruangan tak kembali menyeruakan desisan. Kepala yang terasa berat benar-benar teramat menyiksa. Senyaman-nyamannya tidur di atas sopa, siapa yang akan terlelap dengan perasaan setenang air. Jungkook mengingat malam tadi, selepas Hoseok meninggalkan kediamannya, ia merebahkan tubuh di sopa panjang di dekat meja dengan timpaan lengan pada pelipisnya yang masih terasa hangat. Menanti kepulangan sang istri yang tak kunjung timbul, nyatanya Jungkook terlebih dulu terlelap dalam keadaan hening pun berhamburannya udara dingin yang menghinggap.

Dengan akal yang masih mengulang apa yang dilakukannya malam tadi, Jungkook bergegas untuk terbangun dengan dahi yang mengerut heran. Kompresan pada pelipis menjadi bukti nyata jika Seulbi pulang amat sangat larut. Butir-butir keringat dingin bekas semalam tak nampak lagi untuk menunjukan daya tahan tubuh yang begitu lemah. Tetapi tetap saja, Jungkook mengeluhkan keadaan kepala yang tidak dapat mengerti keadaan, pun kondisi badan yang terasa nyeri—nyaris terasa pada seluruh sendinya. Semuanya mengharuskan Jungkook untuk kembali merutuk pada keadaan.

Atensinya terpaku pada mangkuk di atas meja yang berisikan bubur dengan kepulan sisa uap yang masih tertempel pada penutup. Coretan kecil pada secarik kertas menjadi pelengkap—siapa gerangan yang sudi untuk menyajikan hidangan padanya. Jungkook meniti tulisan dengan kesadaran yang kian membaik.

Semalam kau demam, Jung. Aku membuatkan makanan untukmu, dan jangan lupa untuk meminum obat yang sudah kusiapkan.

Maaf, aku tidak bisa menemanimu, Taehyung membutuhkanku. Akan aku usahakan untuk pulang secepatnya, istirahatlah.

Ahn Seulbi

Tiba-tiba decihan keluar begitu saja dari mulut yang tertampil sedikit pucat. Tangannya meremat teramat lamat seeonggok kertas yang berubah menjadi konyakan kasar tak berbentuk.

Pria macam apa yang membutuhkan istri orang di pagi hari buta.

Jeon Jungkook terkekeh remeh, bisa-bisanya wanita itu pergi di saat suaminya tengah demam terkapar lemah. Sial, bahkan kepalanya terasa kebas, kembali berdenyut pening yang tertahan.

Kutunggu kepulanganmu, Jeon Seulbi.

***

a/n: lama up, ya:')maafkan. Dobel up, janji. Tapi, besok, yeah.

Big Luv❤

Dali💜💜

ᴅᴇᴄᴇɪᴛꜰᴜʟ; ᴊᴊᴋ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang