Banyak ungkapan pun kata yang hendak Jeon Jungkook keluarkan. Entah ada pada pada sebuah gerangan, Jungkook hanya mampu terdiam seraya membisu tanpa membuahkan hasil yang jelas. Menatap bagaimana hatinya terasa sedikit perih—mungkin—atau bagaimana? Bahkan ia enggan hanya untuk mengejar, terlepas dari apa yang Jungkook inginkan.
Hempasan napas jengah tak habis pikir terlalu sering Jeon Jungkook bubuhkan, pun berbaur begitu saja dengan dinginnya udara malam. Perihal Song Yeji, Jungkook enggan untuk berpikir jauh lebih keras. Tungkainya seringkali berjalan tertatih nyeri, barangkali Jungkook rasa—Yeji terlalu enyah pada semua masalah yang ada.
Kepalanya bahkan terasa kembali pening dengan segudang perasaan kacau yang menggenangi. Maksud baik dari hati—kendati memang Jungkook sudah bergaris keras pada diri, bahwasannya ia enggan kembali bertindak untuk melayangkan cecapan kasar pun torehan perih yang selalu dihasilkan pada presensi Ahn Seulbi. Ia bertekad untuk merajut semuanya agar jauh lebih baik.
Namun, apes yang menimpa—ataupula kebodohan yang terlalu melekat. Jungkook berpikir keras, apakah ia terlalu mendewakan Song Yeji? Dan melupakan malaikat sesungguhnya seperti Ahn Seulbi?
Tidak, tidak, dan tidak.
Jungkook menggeleng dengan mata yang terpejam rapat. Asumsinya terlalu gila, bahkan ia benar-benar mencintai istri pertamanya dengan sepenuh hati. Jungkook berhak paten pada diri sendiri—jika tidak ada seorangpun yang dapat mengambil alih perasaan yang mendominasi.
Sekalipun itu, Ahn Seulbi.
Jungkook meneguhkan itu, sungguh. Namun ada sesutu yang kembali mengusik. Entah ada apa dengannya, hanya saja—serbuan hawa panas seakan menyambar heboh tatkala irisnya minilik seberapa berani wanita itu merangkum lembut ranum pemuda lain.
Sial.
Geram sendiri tatkala ia membayangkan, pun kepalan tangannya yang meminta lebih untuk segera mendapat tempat hajaran akan pelampiasan. Namun cukup disayangkan, kondisi yang selalu dirutuknya tidak memungkinkan tubuh Jungkook beranjak untuk setidaknya menghajar tembokan sana, ataupun julangan kaca cermin di dekat lemari pakaian.
•••
Kim Taehyung masih setia bermuara pada kursi meja makan yang senantiasa mendorong irisnya untuk menyorot penuh. Bagaimana gemasnya punggung kecil itu disibukkan pada suatu hal yang mampu menciptakan decakan liur yang terasa nyaris keluar jika tidak segera ditahan.
Aroma masakan semerbak wangi menggelituk lubang pernapasan. Dentingan saling beradu fokus untuk segera menyelesaikan pekerjaan dengan giat. Seulbi rasa, ia ingin segera berangkat kerja untuk kembali memasukan lembaran uang pada dompetnya yang bahkan masih tersimpan apik dalam tas dengan isian yang nyaris tandas seakan terkuras. Setidaknya, Seulbi tahu diri untuk tidak terlalu lama bermalam panjang di kediaman Kim Taehyung. Bagaimanapun itu, Seulbi masih terpanggil sebagai sesosok seorang istri. Meski—terlihat sedikit memprihatinkan.
"Aku sudah membuatkan nasi goreng untukmu. Makanlah selagi hangat, aku akan menyeduh susu cokelat terlebih dulu."
Taehyung menatap hidangan tersaji yang diiringi kepulan asap kecil seakan menemani. Telur mata sapi yang setengah matang setidaknya mampu membuat Taehyung menenggak liur susah payah. Aromanya teramat menggoda, sungguh. Bodoh sekali manusia yang dengan sengaja mengabaikan masakan yang terasa seperti hidangan di restoran berbintang lima. Taehyung mencecap rasa dengan lumatan yang takjub akan lidah yang seolah mendapat kejutan. Masa bodoh jika ia yang akan dipandang seakan berlakon dramatis penuh aksi.
Jika keadaanya memang mendukung betul seperti ini, semuanya bisa apa?
"Kau tidak akan sarapan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ᴅᴇᴄᴇɪᴛꜰᴜʟ; ᴊᴊᴋ
FanfictionKetika semuanya berubah menjadi neraka, tidak ada seorangpun yang dapat menciptakan surga di antara kepungan hitam yang melanda. Started : 09 December 2018 Finished : 19 September 2019 ©Piperlight Tersedia E-book version Cover by pinterest