Menerawang dari satu sudut untuk menerka apa yang akan terjadi ke depannya, nyatanya aku pun enggan untuk berulah dan kembali berangan akan hubungan yang jauh lebih baik. Perasaan cemas menghinggap tatkala bayangan Jungkook meninggalkanku dengan seutas tali sirat akan rasa sakit—melilit tidak ingin terlepas.
Waktu kian merangkak naik, larut bergerak lincah menjamah malam seiring tilikan demi tilikan yang kulakukan pada jam dinding menghantarkan perasaan seolah mengejek akan diri yang terus terpaku tanpa membuahkan hasil. Mengharap kedatangan Jeon Jungkook menjadi damba menyakitkan untuk saat ini. Aku menginginkan kepulangannya, cemas padanya yang entah di mana—pergi nyaris satu minggu tidak kunjung menghampiri kediaman.
Selalu saja seperti ini, setiap malam menghening seorang diri seakan menjadi kewajiban tatkala aku berpangku kaki pada dinginnya sofa yang mutlak menjadi teman ketika sang dominan seakan lupa arah jalan untuk pulang. Aku hanya mampu menarik napas dalam, menyesuaikan keheningan untuk berbaur dengan sapuan napasku yang terdengar menyakitkan.
Menutup mata sekejap—mengecap rasa lelah yang menimpaku akhir-akhir ini. Belum genap sepuluh menit terpejam resah, aku terbangun dengan pandangan binar tatkala Jungkook berjalan sedikit menyeret ke arah sofa di sampingku. Aroma alkohol semerbak terhirup begitu kuat, tampilan surai tersusun acak, kameja dengan jas yang sudah tanggal hinggap di bahu kanannya.
Aku hanya mampu tersenyum miris nyaris tak terlihat. "Apa yang membuatmu terlihat begitu kacau akhir-akhir ini? Ingin mencoba untuk bercerita, Jung?"
Matanya terpejam tatkala tanganku mengulur, merapikan pun mengusap tatanan rambut hitam yang menjadi kegemasan untuk disugarkan penuh hangat. Jemariku menangkup pipi idaman itu yang terlihat memerah. Lengannya terangkat, menimpa tanganku untuk digenggam tanpa berpindah untuk melepaskan.
Jungkook membuka matanya perlahan, jelaga berlawanan di seberang sana terlihat memerah. Siratan di dalamnya terlihat kacau, nyaris menangis jika saja pemuda itu tidak merengkuhku untuk masuk ke dalam dekapannya. Mengeratkan pelukan tatkala kepalaku menjadi sandaran dagunya pun kecupan kecil yang dibubuhkan.
Entah aku merasakan bahagia atau duka, menghadapi sikap manis yang Jungkook berikan di saat kesadarannya tengah mengawang jauh di atas sana. Tidak tahu diri jika aku beria suka tatkala desiran darah pun detak jantung yang kian membuncah aku nikmati.
"Maaf, maafkan aku."
Usapan pada lengannya aku hentikan, suara parau yang meluncur begitu saja dari mulut Jungkook mampu membuatku terdiam sesaat sebelum dia melanjutkan kata yang menciptakan sebuah hantaman.
"Song Yeji,"
Untuk saat ini kalimat racauan yang suamiku bubuhkan bukanlah sesuatu yang mengundang senang. Aku bangkit sedikit bergeser memberi jarak, fokusku kembali pada Jungkook untuk membawanya ke kamar. Memapahnya sempoyong dengan sekuat tenaga, nyatanya tubuh Jungkook tidaklah seringan kapas.
Aku merebahkannya dengan hati-hati. Mehilangkan apa yang baru saja Jungkook ucapkan tidak semudah bayangan yang akan leyap tatkala malam kembali tiba. Ingin sekali rasanya mengulik apa yang Jungkook lalui belakangan ini. Setelah melihatnya terlelap nyaman, aku pun merebahkan diri di sampingnya, menghadapa di mana wajah itu terlihat sangat menggemaskan tatkala mimpi tengah menyambangi.
Tanganku kembali terangkat untuk memainkan surainya yang menggelitik. "Ingin rasanya memukul jiwa sendiri ketika faktanya kau bahkan jauh lebih rapuh dariku, Jungkook," bisikku tanpa ingin mengusik.
Kepalaku sedikit terangkat untuk mengecup singkat bilah bibirnya yang sedikit terbuka. Sapuan napasnya terdengar teratur, aku tersenyum tipis sebelum berbalik untuk memunggungi. Mencoba untuk menyelami mimpi, berharap pada angan jika mimpiku kali ini akan jauh lebih menyenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ᴅᴇᴄᴇɪᴛꜰᴜʟ; ᴊᴊᴋ
FanfictionKetika semuanya berubah menjadi neraka, tidak ada seorangpun yang dapat menciptakan surga di antara kepungan hitam yang melanda. Started : 09 December 2018 Finished : 19 September 2019 ©Piperlight Tersedia E-book version Cover by pinterest