Chapter 6

8.6K 1.1K 98
                                    

...

Ketika orang-orang bersantai ria dengan kepungan mimpi yang kian menjamah, dan di situlah aku hanya mampu merenung menatap kosong ke atas langit tanpa celah untuk berhenti. Udara kian mendingin seiring sapuan angin yang menjadikan tubuh kecil ini menggigil menangkis suhu. Indah yang melekat di hamparan sana setidaknya dapat dijadikan teman malam yang setia untuk selalu menyambangi.

Menunggu seseorang yang tidak pernah memunculkan presensi nyatanya mampu membuat kesadaran terus saja memukulku. Hingga kemunduran akan diri menghampiri dengan mendobrak hebat melalui sebuah ketukan yang amat ringan. Bersahabat dengan malam membawa sebuah pelukan pada angan untuk terus menghalau udara tanpa ingin menoleh ke arah pintu balkon yang masih setia enggan tertutup. Menggodaku untuk segera memasukan diri ke dalam ruang bidang dengan mesin penghangat yang berfungsi kelewat baik.

Tidak jauh dari tempatku berpijak, kedipan gemas pada ponsel yang tergeletak di atas meja kecil di dekat pintu menyita seluruh atensiku. Deringan memecah malam walau tak terlalu mengganggu. Setidaknya hanya aku yang dapat mendengar dari jarak sedekat ini.

"Taehyung-ah," sambarku dengan sedikit senyum walau tak nampak di depannya. Tidak terlalu mengejutkan jika nyaris tengah malam Kim Taehyung selalu menghubungiku, meski tidak untuk setiap waktu.

Setidaknya untuk menemanimu menggunakan suaraku bukanlah sebuah larangan. Begitu, katanya.

Helaan napas di ujung sana terdengar jelas. Aku tahu, bahkan dia tidak menyukai kebiasaanku yang selalu terjaga di waktu—tepat untuk semua makhluk tertidur berbaur dengan mimpi.

"Kebiasaanmu tidak pernah berubah, Bi. Aku merindukan ketika kau tertidur sangat awal dan mengabaikan panggilanku."

Susunan senyum tipis seraya sorot tidak kalah miris mampu mengutip diri agar sesegera mungkin untuk mengundurkan hati menghentikan laju.

"Statusku sudah berbeda sekarang. Aku harus menunggu suamiku pulang," balasku. Deret rencana apalagi yang tengah kurangkai untuk menutupi kecacatan yang kian timbul.

"Bahkan dia tidak pulang sama sekali, Seulbi."

Aku terdiam dibuatnya, seolah mendapat pukulan telak tepat pada ulu hati. Yang dikatakannya memang benar, menghadapi dengan tarikan napas semoga dapat setidaknya mengurangi perasaan sesak yang tiba-tiba menginvasi.

"Ya, aku tahu itu. Tapi aku yakin dia akan pulang."

Memikirkan yang tidak-tidak sejak dulu mengenai Jungkook memang sudah menjadi hal hitam bagi perasaan. Aku tahu menjadi seorang wanita yang baik pada sesosok suami adalah sebuah peraturan yang sudah melekat pada kewajiban. Menahan-nahan untuk segera menyerah pun percuma, nyatanya aku masih bisa berdiri walau dalam keadaan pincang sekalipun.

"Sudah kuduga kau akan menjawab seperti itu."

Mendengarnya terkekeh sumbang cukup membuatku merenung. Menadah air mata yang lagi-lagi timbul mengurungkanku untuk bersuara dengan keadaan tercekat. Aku hanya seorang gadis dengan ego tinggi yang berjiwa besar untuk mempertahankan apa yang menjadi prioritas walau harus mendapat luka berkali-kali tanpa seorang pun yang dapat mengobati.

"Baiklah, aku akan menutup sambungannya. Cepatlah beristirahat, tidak baik jika memaksakan tubuh untuk terus terjaga. Selamat malam."

Menekankan suara walau hanya sekadar deheman—pemuda itu lantas memutuskan sambungan. Aku melahap udara dalam-dalam, berbalik dengan apik seraya kembali menutup pintu dan berjalan untuk mendahului waktu yang kian merangkak. Tingkah untuk merasakan seduhan susu hangat rasa-rasanya akan terlihat lebih baik.

Berjalan dengan segenap hati mengikuti tungkai untuk bertindak. Penggalan bayang-bayang yang senantiasa menghantui dapat mengirim beribu tusukan yang tak mampu aku kilah. Lenganku terangkat untuk mencapai deretan gelas di atas sana, menuangkan air panas dengan begitu ramah. Menimbun hamparan serbuk berwarna putih yang selalu menggoda untuk disesap.

Putaran demi putaran sendok berdeting dilalui dengan sedikit helaan untuk menyatukan semuanya menjadi padu. Ketukan adu keduanya terdengar nyaring hanya untuk bersanding dengan detikan jarum jam yang terpajang dekat pintu utama di seberang sana.

Apa arti dari bersanding secara kiasan jika tidak tahu memperhebat diri dalam artian yang sebenarnya. Kiasan bukan digunakan untuk sebuah pajangan seperti sebuah gucci antik di terasan sana, akan jauh lebih baik jika itu semua dapat mengeraskan diri apa tujuan dan maksud tertentu yang sebenarnya—
jika itu benar akan kehendak yang sekuat-kuatnya untuk tetap disembunyikan.

Pergi menyambut angan rasanya sia-sia saja ketika mendengar suara dorongan pintu yang terdengar seperti amukan. Kedatangannya tiba-tiba tidak kuharapkan ketika dia menampilkan sebuah perangan yang enggan kuhadapi, tapi—tunggu. Pegangan pada cangkir kian mengerat diiringi desakan rasa sakit yang mengulur tanpa mundur.

Dia membawanya ke mari.

Jungkook mengatur semuanya dengan baik. Menghancurkan seekor buruan dengan sekali coba. Menakjubkan sekali. Sangat.

Tabiatnya sangat buruk jika dia memperlakukan seorang wanita seperti itu. Melihatnya menyeret seorang wanita dengan kasar mampu membuatku terdiam tanpa mengucapkan kata sambutan hangat selamat datang yang baik. Persamaan yang tidak dapat ditendang dari kenyataan.

"Kau menyakiti lenganku, Jungkook!" Wanita itu kian memperlihatkan sirat akan ketidak sukaan dirinya pada sesosok Jeon Jungkook.

Memasang layar untuk berjalan menatap akan keduanya yang terus menjadi pokok utama pada sebuah hati yang kian dihujam. Sebenarnya apa yang terjadi? Saling menghantam satu sama lain terkesan benar-benar menyakiti. Kupikir dia nyatanya akan tetap melihatku walau dengan pandangan buram sekalipun. Tapi ini, menjadi seonggok sampah tatkala Jungkook berhasil melewatiku dengan kaku seolah menganyam akan kebenaran yang kian terbentuk.

Aku melihatnya terdiam sesaat sebelum benar-benar memasuki kamar kami.

"Jangan pernah masuk sebelum aku keluar, Ahn Seulbi!" ucapnya dengan memberikan sebuah petuah panas. Jungkook kembali berjalan tanpa meninggalkan seretan pada Yeji yang terus meronta meminta sebuah pembebasan.

Aku merasa bahwa Jungkook mengikatku teramat erat sampai terasa sesak walau hanya bernapas barang satu detik pun. Sesuatu membelit sampai rasa-rasanya ingin segera mengakhiri drama dari semuanya.

Deguman daun pintu tertutup seiring dengan air mata keluar tanpa iringan tangis. Aku memejamkan atensi seraya mengembuskan napas yang berupa sebuah hembusan rasa sakit. Berkelok-kelok menuju hal paling bahagia di dunia nyatanya begitu mustahil. Dilihat dari manapun akan tetap seperti itu.

Tungkaiku berjalan ke arah kamar tamu yang terasa berdebu dan dingin nyaris tak terisi. Merebahkan diri setidaknya untuk tetap meratap nasib akan kebahagiaan yang terus terbengkalai.

Menggulung diri dengan selimut yang hampir tak pernah kupakai sudah melekat dengan gigitan yang kubuat pada ujungnya. Meredam tangis dengan sesekali isakan bukanlah sesuatu yang mudah. Nyatanya terlalu menderita jika hanya menelan kepahitan seorang diri.

Masih besar harapanku untuk merubahnya, Tuhan. []

...

a/n: hanya ingin bilang 'Halo' :") dan work baru udah di up manteman, semoga like🙆

yeah:')

Dali💜

ᴅᴇᴄᴇɪᴛꜰᴜʟ; ᴊᴊᴋ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang