Chapter 7

8.8K 1.1K 101
                                    

...

Kemajuan yang lebih dulu didaki bukanlah sebuah perkara mudah. Jungkook bergerak lebih cepat untuk menuntut apa yang selama ini menjadi sebuah tanya. Pengaduan akan ocehan mulut beberapa orang nyatanya tak pernah ia indahkan. Bagian suatu topik yang harus Jungkook ketahui melalui kepala dan matanya sendiri. Menyingkirkan tuntutan di luaran sana untuk dirinya percaya.

Kayu jati penyangga ranjang berderit kasar. Jungkook membanting tubuh ringkih Yeji—mengukung di bawah kuasanya. Mengemukakan apa yang Jungkook rasakan saat ini hanya akan menambah gertakan lain yang kian timbul. Kebingungan, ketakutan, dan kekacauan mulai piawai mengambil alih tubuhnya untuk terus memanas.

Kendati Jungkook memaki dengan apa yang dimaksud dengan bengis, ia lebih dulu menyatukan bibir dengan gerakan rusuh yang terbilang kacau. Yeji membelalak dengan wajah kentara akan pucat pun bulir keringat yang mulai timbul. Kenekatan pada tubuh Jungkook kian memanjat. Tangannya tak tinggal diam untuk bergerak mejelajahi tubuh istrinya. Jungkook murka, keadaan nafsu birahinya tak dapat dibantah.

Yeji menggeram tertahan tatkala tangan besar itu menangkup dan meremas kasar belahan dadanya.

Berengsek.

Song Yeji benar-benar merasakan sakit dan mual secara bersamaan.

Kecapan kasar terdengar menjijikan memasuki kedua rungunya seolah mengejek. Ketakutan serta perasaan jijik pada pemuda di atasnya benar-benar membuat Yeji ingin mengumpat kotor tepat di depan wajah pemuda Jung. Tetapi jauh pada angannya untuk bergerak, nyata akan sebuah fakta bahwasannya tubuh Yeji terlalu kecil jika harus disandingkan dengan awak pria segagah Jeon Jungkook.

Merasa kantung udara kian menipis, Yeji memukul kecil dada Jungkook. Dengan keadaan terengah ia berusaha untuk meraup napas yang berhamburan tak terlihat sang panca. Dengan keadaan wajah pucat disertai keringat dingin, Yeji mendorong tubuh Jungkook agar enyah dari atas tubuhnya. Rasa jijik itu kian menyeruak tanpa bayangan. Mual yang tertahan terasa benar-benar menyiksa. Bangkitnya Jungkook menjadi peluang besar untuk segera bergegas memaki penuh arti.

Suara tamparan menghantam malam tanpa berkeingin untuk mencoba menghentikan waktu. Yeji menatap tajam dengan arahan mata kian memburam seiring genangan likuid yang siap terjun membelah pipi.

"Bajingan!" Yeji menghardik tanpa ingin melempar perasaan iba tatkala Jungkook memegang pipinya yang terasa memanas dengan guratan merah.

Pandangan lawan menajam tanpa merampas untuk melakukan sesuatu. Jungkook kerap kali terdiam tatkala Yeji balik memandang dengan sorot menjijikan. Apa seburuk itu Jungkook di pandangan Song Yeji?
Bahkan, Jungkook lupa terakhir kali ia bisa untuk dapat menjamah tubuh istrinya leluasa dalam arti besar sebagai sebuah kewajiban—meski Jungkook tahu itu tak lebih dari sekadar ciuman yang singkat.

"Seberapa besar benci itu menguasai dirimu, Yeji? Sebegitu menjijikannya sampai-sampai kau membuangku pada wanita lain." Jungkook tertawa sumbang. Memiliki Yeji sepenuhnya apakah harus serumit ini? Ia menampar kenyataan, jika dirinya terlalu mengharap sesuatu yang dikecap mustahil.

Yeji membuang pandangan, hatinya merasa terpukul tatkala Jungkook berucap demikian. Jika ia dapat memiliki opsi lain, Yeji enggan untuk mengambil keputusan seperti ini. Ia merasa jika dirinya terlalu buruk untuk Jungkook. Yeji hanya seorang wanita pesakitan. Ya, pesakitan. Persakitan yang tak lebih buruk dari sampah.

...

Seulbi mengakui kebenaran, bahkan ia terlalu bodoh ketika sang gerangan harus mengambil keputusan jabir yang dapat menciptakam guratan takdir menyedihkan. Tentu saja semua tidak hanya berlaku untuknya. Bahkan manusia lain terlalu pintar jika membodohi diri untuk menjerumuskan takdir ke dalam lubang hitam yang sama.

ᴅᴇᴄᴇɪᴛꜰᴜʟ; ᴊᴊᴋ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang