Chapter 13

7.1K 1K 123
                                    

Tumbang dalam hal untuk mencakup kesempurnaan bukanlah bagian dari hidup. Terkadang aku berbenah diri untuk mencapai apa yang aku harap. Entah sempurna dalam hal apapun, tetapi semua hanya sia yang menghambur waktu. Karena jelas tanpa batas semua makhluk tidak ada yang sempurna.

Bukankah seperti itu kita hidup?

Dan perlu dirasa ketika menjadi wanita yang kedua bukanlah sebuah kenikmatan. Mari mencoba untuk berlaku jujur pada diri sendiri. Pahit ketika aku mengatakan bahwa aku seorang wanita menyedihkan yang terperosok jatuh ke dalam pesona Jeon Jungkook. Aku tidak tahu jika dia mengikatku hanya untuk meraih laba tertentu. Sedikit kecewa, memang. Atau entah kecewa meresap menjadi sebuah rasa sakit.

Hatinya berduri, sangat perih pun berdarah jika kugengggam.

Pandanganku mengarah penuh pada tuangan yang kubuat. Mencoba untuk melayani Jungkook yang akhir-akhir ini bersedia untuk sekiranya terduduk di pagi hari seraya menyantap sarapan yang kusaji sebelum bergegas beranjak ke kantor. Hatiku menghangat dengan perasaan tersendiri.

Suara derit kursi terdengar sedikit nyaring. Aku sedikit tersenyum tipis di baliknya.

"Kau butuh bantuan?" ujarku tatkala menyaksikan Jungkook sedikit kesulitan untuk menata dasi hitam selaras dengan warna jas yang tersampir di bahu kursi.

Aku menghampiri—mengambil alih tangannya yang bertaut tanpa membuahkan hasil. Jemariku terampil cekatan untuk mengikat sampul demi sampul ketika suasana begitu hening. Sedikit canggung, memang, atau hanya perasaanku saja. Selepas aku berucap dengan perasaan menggebu waktu itu, nyatanya tidak ada sautan yang serius dari Jungkook. Dan aku hanya berpikir—dia hanya memerlukan waktu untuk merenung.

"Makanlah, aku sudah membuatkan sarapan untukmu."

Aku segera beranjak dari hadapannya. Bukannya enggan untuk bergabung, hanya saja ini terasa sedikit aneh. Belum terbiasa akan sebuah hal yang—sedikit berbeda. Ucapanku mantap untuk menekankan bahwa Jungkook dapat kembali mencintaiku. Tapi jika ditilik sekarang ini, mungkin lebih tepat jika aku bersikap sedikit untuk mengindari. Entah apa alasannya, hanya saja aku merasa perlu berlaku demikian selepas Jungkook memaparkan jika hubungannya akan segera berakhir dengan wanita terkasih suamiku. Ternyata mengakui kebenaran akan sengilu ini.

"Kau tidak ingin menemaniku?" ujarnya datar di belakang sana.

Kugerakkan kepalaku sedikit untuk menoleh. "Tidak. Aku harus membersihkan diri, kau akan terlambat jika harus menungguku," balasku tanpa mengeluarkan senyum tipis barang sedikit pun.

Tungkaiku bergerak untuk kembali melangkah tanpa berniat memutar badan—mengahampirinya dengan tampang bodoh meralat ucapan yang baru saja aku keluarkan.

Aku tidak tahu kenapa suasana tiba-tiba terasa begitu mencekam. Mencoba untuk mengabaikan, karena aku tahu—mungkin saja Jungkook di belakang sana tengah mencoba untuk menahan geraman agar tidak kembali menghajar dengan begitu menyakitkan. Masih terlalu pagi jika harus beradu dengan emosi, bukankah begitu?

Kudengar Jungkook mendengus sedikit kesal, mungkin.

"Kau sedang menghindariku, Bi?" tanyanya.

Aku termangu dengan perasaan gugup yang tidak kuketahui bermunculan dari mana. Tiba-tiba aku merasa tidak enak, tentu saja. Padahal aku tidak menunjukan sikap yang terlalu kentara. Aku masih terdiam di anakan tangga kelima yang baru saja kupijak.

Tubuhku berbalik untuk melihatnya yang tengah menatapku di bawah sana. "Bu-bukan, bukan begitu. Maksudku-aku tidak ingin membuatmu tidak nyaman dengan penampilanku. Y-ya, penampilanku."

Aku meringis dalam hati mendengar alasan bodoh yang kukeluarkan. Mencoba untuk tersenyum, walau aku tebak senyumanku terlihat sangat kaku.

"Hmm, terserahmu saja."

Aku melihatnya kembali berbalik menghadap meja makan. Suaranya terdengar seperti ejekan perihal alasanku yang tidak masuk akal.

Kuhembuskan napasku sedikit lega, nyatanya nyaliku sedikit mengerut—takut-takut jika Jungkook mempermasalahkan hal kecil seperti ini. Sedikit bersyukur karena Jungkook dapat berlaku baik setidaknya enggan untuk menghardik keras.

Napasku terbuang lega, kenapa aku tidak mencoba untuk menghindarinya di saat dia masih berulah untuk menorehkan luka menganga yang kapan saja dapat ia lakukan. Kenapa perasaan ingin menghindari itu muncul ketika peluang besar untuk mendapatkan Jungkook agar kembali ke dalam genggaman setidaknya sedikit lagi akan kuraih. Meski hal negatif akan kegagalan dari semuanya sering kali terlintas di benak.

Bukan, bukan berarti aku menyerah dan tidak mencintainya lagi. Hanya saja—ini seperti perasaan ingin mengistirahatkan jiwa atau hati terlebih dulu, atau mungkin perasaan lelah dan mencoba untuk menerima jika Jungkook nyatanya enggan barang sekecilnya menatapku.

Aku menggeleng sengau, pemikiran berbelit yang mampu memutar arus. Aku tidak mau gegabah dan tersesat lagi seperti biasanya. Dengan perasaan tak menentu, aku segera membasuh diri di bawah guyuran air. Setidaknya itu dapat sedikit mengurangi perasaan kalut yang seringkali menghinggap. Suara senandungan kecil aku kekuarkan layaknya gadis masa-masa remaja yang tengah dimabuk cinta.

Huh, menggelikan.

•••

Aku menatap kosong pantulan cermin yang senantiasa menyorot kagum.

Kagum?

Ingin mendecih saja rasanya. Menyaksikan betapa ringkih tubuh sekasarnya hanya sebatas tulang yang dilapisi kulit. Semenyedihkan itukah hidupku?

Enggan untuk meratapi nasib yang tidak akan ada habisnya. Aku lantas segera beranjak untuk menyuap setidaknya satu helai roti berselai nikmat. Pandanganku menyorot jam pada dinding yang berdetak di atas pintu.

Delapan tigapuluh.

Aku kembali bernapas lega. Jungkook sudah dipastikan berangkat tigapuluh menit yang lalu. Sedikit terheran, kenapa aku malah mengindarinya. Masih mencoba untuk berpikir alasan di balik ini semua.

Dengan apik aku memijak anakan tangga dengan teliti. Jauh-jauh hari sepintas pihak aku berpikir jika—mungkin saja—aku akan menyerah dari ini semua seperti seorang pengecut dan pula merajut kehidupan yang baru dengan perasaan mengikat yang menyiksa. Tapi percayalah, jika semuanya tidak semudah itu.

Langkahku berjalan ke arah dapur. Menenggak susu putih dengan sedikit kepulan asap mungkin akan sedikit menyenangkan, pun kunyahan halus pada lembar roti berselai coklat yang memenuhi rongga mulut.

Ketika disimpannya gelas kaca yang sudah berisi pada meja makan. Gerak lenganku terhenti tatkala tatapanku terpaku pada sepercik kertas putih di atas meja. Tanganku bergerak untuk meraihnya.

Aku akan menjemputmu pukul tujuh tigapuluh. Kita akan makan malam di luar.
Beriaslah secantik mungkin, jangan sampai kau mempermalukanku.

- Jeon Jungkook

Aku terdiam meresapi barisan tiap kalimatnya. Seketika pipiku terasa panas dengan rongga dada yang berdebar. Jantungku kembali meronta gila, berulah lagi dengan si sang dominan yang menjadi pemicu.

Aku berharap jika kali ini doaku akan terkabul.

•••

a/n: kira-kira seulbi dibiarin menyerah atau tetep ama si mang juki. Komen yo komen, nanti tak ketjup dari bang yuungi😗

Dan buat bucin-bucinannya nanti dulu, ya. Huhu, aku gak tega bikin adegan bucin tapi pas semalem suwamiku jatuh, huwaa😭 semoga kamu baik-baik aja bang. Saranghae❤

Dali💜

ᴅᴇᴄᴇɪᴛꜰᴜʟ; ᴊᴊᴋ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang