Chapter 3

12K 1.4K 115
                                    


....

Pertemuan dengan Taehyung di siang hari saat matahari kian menyorot terik mampu mengantarkan perkara yang masih rumit untuk dijalani. Ketika pemuda itu membeberkan sebuah fakta tentang siapa suamiku yang sebenarnya, latar belakang Jeon Jungkook, dan menampar bisu tentang 'siapa aku di pandangan seorang Jungkook'. Berlawan arah dengan impian yang mendarah daging bahwasannya aku adalah seorang wanita yang tak lebih hanya sebagai seorang pajangan.

Malang. Kemalangan yang menimpaku.

Bagaimana bisa aku tidak menyadari sikap Jungkook yang terkesan tiba-tiba. Dan dengan bodohnya, aku terpukau dengan permainan neraka kecil itu. Tapi bagaimanpun, aku tidak bisa mengelak jika aku menyukai permainan yang dibuatnya. Membual pun bukan waktu yang tepat di saat kondisi nyaris memprihatinkan semacam ini.

Kesibukan pada jam makan siang kian mencampuri sedikit selingan fokusku yang tersimpan. Irisku menatap Taehyung yang tengah memperhatikan guratan menyedihkan dari sorot mataku.

Apakah semudah itu lukaku dapat terlihat?

"Jadi, apa aku boleh tahu siapa dan di mana istri pertama Jungkook saat ini?" tidak ingin bertele-tele dengan bersikap biasa saja tatkala Taehyung jauh lebih mengetahui latar belakang Jungkook.

Selalu saja seperti ini, ketika egoku ingin mengatahui, tetapi tubuhku menanggapi hal lain seolah menyuruhku untuk tetap terdiam daripada mengetahui fakta yang lebih membunuh.

"Jeon Yeji, lebih tepatnya Song Yeji. Usianya sekitar dua tahun lebih tua dari Jungkook," jedanya dengan atensi yang masih terpaku padaku, "Dia tinggal di sebuah apartemen elit di pusat kota. Dan, dia salah satu pasien psychotherapy di salah satu rumah sakit di Seoul," imbuhnya, begitu.

"P-psychotherapy?" mataku melebar seiring fakta nyata yang tidak sama sekali kuketahui.

Taehyung mengangguk, telunjuk tangannya terangkat memutar pelan pinggiran cangkir. Matanya masih terfokus pada kegiatan aneh yang menjadi ciri dimana pemuda itu tengah dirundung kebingungan, "Aku masih belum mengetahui apa yang dideritanya. Tapi aku berani bertaruh, jika dia—sakit jiwa."

"Hei, bicaramu itu. Kemarikan tanganmu, biar kugigit sampai putus." Atensiku kembali membulat seraya mencoba memukul pelan tangannya.

Pemuda itu meringis was-was, "Eiy, aku 'kan hanya bercanda."

Aku kembali termenung dengan berbekal fakta yang Taehyung berikan. Lantas, apa yang harus aku lakukan setelah ini?

Semuanya jelas.

Taehyung mengetahui lebih dulu fakta menyakitkan, dan mengalahkan aku yang menjabat sebagai seorang wanita bermarga Jeon yang kedua. Tentu saja aku bukan yang pertama.

"Kenapa kau masih setia mempertahankannya, sih, Bi? Bahkan aku bisa membawamu pergi dari pria bajingan seperti Jungkook."

Taehyung berucap kelewat serius.
Matanya masih setia merangkapku.
Entah sudah berapa kali Taehyung membujuk, bahkan hampir di setiap pertemuan pemuda itu selalu memaparkannya. Dan, Jawabannya pun sama. Selalu sama.

"Percaya padaku, aku akan membuatnya seperti Jungkook yang dulu. Maafkan aku, Tae."

Sekiranya begitulah yang mampu kujawab untuk saat ini.

Pada umumnya, semua orang akan satu pemikiran dengan Taehyung. Menyuruhku untuk berhenti sampai di sini. Berbalik untuk meninggalkan Jungkook, dan beralih untuk mencari kehidupan yang jauh lebih baik. Sepanjang hidup pun aku tidak pernah merasa baik, semuanya buruk, menyakitkan, menyesakkan, seolah penderitaan itu sudah menjadi teman hidupku sepanjang hari, sampai hari-hari berikutnya. Tapi, kehidupanku yang ku akui malang seakan terombang-ambing itu—jauh lebih berharga tatkala Jungkook menemukanku dengan segudang teka-teki.

ᴅᴇᴄᴇɪᴛꜰᴜʟ; ᴊᴊᴋ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang