Seseorang dari banyaknya hal yang terjadi bisa saja mengguncang hidup seorang dari mereka. Berbincang ke sana ke mari demi mencari sebuah amunisi untuk menerjang telak argumen dari sebuah serangan yang barangkali dapat dikecap sebagai musuh. Menguar akan berita buruk, mengejek akan sebuah petunjuk, pun tak akan pernah mengelak tatkala seorang bisa saja terpuruk.
Jeon Jungkook.
Ia terkadang bisa saja melenyap pada semua hal yang menimpa penuh hina akan sebuah kasih yang menjijikan—menimpa pada belas kasihnya yang nyata. Mencintai nyatanya tak dicintai, Jungkook merasakan itu. Entah sejak kapan seorang pemuda kasar seperti Jungkook merasakan rapuh, serapuh helaian kapas.
Menertawakan kebodohan yang menimpa namun pada kenyataan tidak dapat mengubah semuanya. Berharap sampai mulut berbusa pun tak akan pernah menyetujui semua untuk berpihak. Jungkook meringis—dunia bertepuk sinis.
Terkadang ia mencebik akan kelemahan yang tidak membantu sama sekali, semuanya menjerumus. Jungkook terjerumus pada akal dan perasa akan sebuah hal yang disebut cinta. Ia mencintai, menyayangi, menginginkan seorang wanita dari segelintir kumpulan wanita di belahan dunia yang sampai saat ini tidak dapat mengalahkan sesosok Song Yeji.
Mengabulkan permintaan menyakitkan dari Yeji adalah salah satu dari perasaannya yang menggebu. Bukan enggan untuk membantah, namun itulah kelemahannya. Jungkook tidak bisa berkutik untuk mengalirkan seringai barang sedetik pun jika itu sudah menaut pada kelemahan. Mendecih pun terasa hampa tanpa perasa untuk menolak.
Tepat sampai saat ini, meski hati dirundung jijik—Jungkook tidak munafik untuk menolak ajakan makan malam di kediaman tercinta yang selalu menjadi unggulan. Hunian mewah yang menjadi santapan para konglomerat penjajah kenikmatan. Sial, Jungkook tidak termasuk ke dalamnya, tentu saja.
Ketukan sepatu bersol mewah berhenti cekatan di depan pintu, menekan password kilat seolah sudah menjadi ahli. Dengan perasaan tak karuan, Jungkook melangkah—berlagak palsu. Mentameng semuanya untuk berpura agar tidak menjadi bahan akan sebuah kontrol yang dapat mengikat amarah.
Tidak, Jungkook tidak bisa marah, sungguh.
Tatanan terpangkas bermode pada bidangan meja makan berhiaskan lilin kecil penuh decakan. Termangu sekejap sebelum benar-benar melangkah tanpa melepas lakon. Darah kembali berdesir, cipratan romansa penuh cerita dapat menimbulkan kembali gejolak yang tertimbun perasaan enggan pun jijik.
Gelengan kecil menampar kesadaran, Jungkook tidak seharusnya termakan oleh rayuan manis semanis gula. Nyatanya ini alibi, menipu diri untuk kembali berkhianat pada fokus utama.
Kakinya menyeret ke arah meja makan, sejamang ia menilik bulatan jam yang tertempel di dinding. Pandangan menyorot ke seluruh penjuru, mencari sesosok yang selalu didamba, mungkin.
"Kau sudah datang." Song Yeji melangkah cermat memilah pijakan anak tangga.
Jungkook tersenyum kelewat manis. Perasaannya kembali tertohok—mengingat keganjilan apa yang wanita di hadapannya perbuat. "Apa aku membuatmu menunggu?"
Yeji menggeleng tak lepas raut binar akan balas senyum yang selalu membuat Jungkook terpikat. "Tidak sama sekali,"
"Duduklah," lanjutnya.
Derit kursi seakan menghantam sebegitu ngilu perasaaan seorang Jeon Jungkook saat ini. Duduk saling berhadapan tak mengelak untuk kembali mencipta sebuah perasa hening yang menjadi canggung.
"Tidak biasanya kau seperti ini. Apa yang ingin kau bicarakan padaku, Yeji?"
Seolah mengetahui tabiat sang istri, Jungkook mencoba untuk memahami apa keinginan Yeji yang memaksa kehendak menyuruhnya memakan santapan yang jarang sekali Jungkook cicipi. Senang, tentu saja Jungkook riang. Namun sekarang berbeda pada alur, ia tidak merasa seperti awal-awal sebelumnya. Semuanya tertutup, menguap begitu saja entah kemana. Bukan, bukan berarti Jungkook tidak lagi mencintai istrinya, hanya saja sebuah fakta mengukung semuanya—mengubur akan derita yang menjadi sebuah masalah.
Yeji menatap ke arah suaminya. "Kau tahu itu? Memang suami idaman kau ini, Jung."
Jungkook menatap Yeji yang tengah tertawa sengau.
"Aku akan membahasnya setelah kita habiskan ini terlebih dulu," lanjutnya. Song Yeji bergerak memapah tuangan agar terhidang untuk segera disantap.
Keduanya terdiam dengan pikiran yang mejejal kepala masing-masing. Dentingan sendok menjadi sanksi di mana tindakan saling bungkam untuk menutup agar isi kepala tidak keluar begitu saja. Yeji akan berucap perihal semua masalah selepas kajian makan malam telah tandas meski selera Yeji dan Jungkook untuk menjejal asupan tidak pernah nikmat sebagaimana mestinya.
Jungkook berdehem setelah menyelesaikan santapan meski tersisa tak ingin dilanjutkan. Nafsu makan tidak ada, Jungkook menginginkan paparan yang tiba-tiba didamba tatkala kunyahan dengan perasaan tak karuan akan hatinya yang bisa saja kembali dihantam.
Mengerti apa yang Jungkook maksud, Yeji mencoba menegakkan tubuhnya. Kedua tangan saling menaut penuh bukti, atensi teralihkan pada manik hitam di seberang sana dengan tatapan yang sulit Jungkook tafsirkan.
Yeji menghela napas sesaat seraya memejamkan mata,
"Mari akhiri semuanya, Jeon Jungkook."
Pemuda itu mendongak, menyaksikan mulut itu yang seolah melayangkan sebuah serulit pada ulu hati. Tatapannya dingin, Jungkook tidak tahu harus berucap seperti apa. Mengelak pun percuma, Yeji akan dengan sangat keras mempertahakan apa yang baru saja terucap.
Tiba-tiba Jungkook tertawa miris, "Kau—tentu saja bercanda, 'kan?"
Yeji kembali menggeleng.
"Tidak, aku serius perihal ini. A-aku akan mengurus semuanya," suaranya bergetar. Ia tidak sanggup jika harus kembali menyakiti Jungkook.
"Tapi kenapa?! Kita bahkan baik-baik saja, Song Yeji." Jungkook tidak ingin kembali berulah. Ia mencoba mengatur degup jantung yang memasok bisikan iblis untuk segera melepas emosi.
Yeji memalingkan wajah, ia merasa menjadi wanita paling bodoh jika harus kembali menyakiti Jungkook untuk kesekian kalinya. "Berhenti untuk membodohi dirimu sendiri, Jungkook. Bahkan kau sudah mengetahui semuanya—"
"Termasuk seberapa menjijikannya aku untukmu," sambarnya seraya melirihkan nada di akhir kalimat menandakan seberapa sakitnya Yeji saat ini.
Jungkook menggeleng cepat, matanya terasa perih. "Tidak, itu tidak akan pernah terjadi. K-kau akan sembuh Yeji, pasti. Aku akan membuatmu seperti dulu. Kumohon, perca—"
"Tidak, Jungkook. Kau hanya perlu melepaskanku, dan—cobalah untuk mencintai Ahn Seulbi." []
KAMU SEDANG MEMBACA
ᴅᴇᴄᴇɪᴛꜰᴜʟ; ᴊᴊᴋ
FanfictionKetika semuanya berubah menjadi neraka, tidak ada seorangpun yang dapat menciptakan surga di antara kepungan hitam yang melanda. Started : 09 December 2018 Finished : 19 September 2019 ©Piperlight Tersedia E-book version Cover by pinterest