Chapter 32

6.4K 996 106
                                    

Berbicara perihal sebuah pilihan, manusia seringkali maruk dengan tekad berkeinginan besar untuk mendapatkan semuanya. Tidak ingin mengambil satu di antara pilihan yang lain, selalu ingin mendapatkan sesuka hati. Kendati kehidupan seringkali pula terdapat pilihan yang mengharuskan untuk mengambil salah satu yang benar-benar harus diperjuangkan.

Keadaan hawa memang termasuknya terbentang luas di awangan cakrawala. Memamerkan seberapa megah kehidupan di atas awan dengan rembulan memicing tajam diiringi kedipan gemas yang menjadi teman tatkala sang malam kian melarut aman. Suara jangkrikan malam samar-samar terdengar tatkala heningan waktu melanda bundaran meja makan dengan kelutan pikir yang seringkali menghinggap akhir-akhir ini.

Jika dikata dongkol, Seulbi luar biasa teramat dongkol. Dentingan perkakas makan saling beradu pelan seakan menyahut detikan jam pada dinding. Seharusnya Seulbi tidak membiarkan Jungkook untuk kembali menjejakan tungkai di dalam kediamannya. Ya, seharusnya begitu. Ikatan sudah terputus tanpa bekas, lantas apa pula yang mengharuskan Seulbi mengangguk sinting dengan teramat terpaksa tatkala mantan suaminya menghadap dengan tampang idiot yang disertai paksaan—menginginkan sebuah hidangan malam yang menggiurkan.

Suhu di luar sana memang mendorong Seulbi untuk mengiyakan paksaan yang Jungkook inginkan. Bibir pucat dengan gigilan pelan pada tubuh pemuda itu mampu menghantarkan perasaan nyeri yang timbul tersendiri. Sungguh, entah apa yang ada dalam pemikiran si Jeon itu. Nyatanya jika dihitung dengan teliti, Jungkook nyaris satu minggu lebih tiga hari menampakan diri tanpa absen dengan alasan ingin menumpang sarapan.

Seulbi seringkali mendecih pelan ketika mendengar pemaparan yang sama. Tak jarang pula ia berucap teramat kejam, jika perusahaan berpuluh-puluh lantai milik mantan suaminya terlampau menurun saham, sampai-sampai meminta belas akan sarapan yang terbilang sederhana yang wanita itu buat.

Seulbi mengambil napas pelan. Ia harus menuntaskan semuanya saat ini, sungguh. Ini tidak sesuai dengan alur. Jeon Jungkook tidak seharusnya kembali bertindak sesuka hati.

"Apa kau tengah mempermainkanku?" ujarnya tiba-tiba dengan obsidian menatap penuh presensi Jungkook yang tepat berada di seberangnya.

Nyaris saja tersedak dengan butiran nasi, Jungkook menatap mantan istrinya yang tengah menatap dingin dan datar seperti biasanya. Pertanyaan yang begitu tiba-tiba, Jungkook tidak sepatutnya pula terkaget dengan tampang lihai yang seolah menyembunyikan segudang tujuan.

"Aku tidak seharusnya bertindak seakan tersentak kaget dengan pertanyaan yang kau lontarkan secara tiba-tiba," ucapnya dengan diiringi kekehan miris.

"Karena aku tahu, jika kau akan berucap demikian, Bi," lanjutnya begitu.

Jungkook tidak tahu harus begaimana dan seperti apa. Inilah hidupnya, sepatutnya pula ia menggunakan setumpuk caranya. Nyatanya Jungkook tidak semudah itu untuk sekadar melepaskan, sungguh.

"Lantas apa tujuanmu kali ini, Jungkook?" Seulbi kembali bersuara dengan dataran nada penuh tanya.

"Membuatmu untuk kembali padaku, Ahn Seulbi, tentu saja." Jungkook menyahut pelan dengan getaran yang kian mendominasi. Ia tidak tahu kenapa kisahnya akan se-konyol ini.

Kendati Seulbi termangu bodoh dengan sebuah pemaparan yang baru saja tersampai, ia hanya tersenyum miris.

"Kenapa sekarang?" lirihnya pedih. Seulbi tidak tahu apa yang akan lelaki itu lakukan.

"Kau—"

"Kemana saja kau selama ini?! Kau selalu saja bertindak sesuka hati. Aku menyesal seumur hidup dapat memperjuangkanmu dengan teramat dalam. Seorang pemuda berharga diri tinggi sepertimu tidak akan pernah tahu seberapa sakit yang wanita bodoh ini rasakan. Sungguh, aku benar-benar membencimu, Jeon Jungkook." Seulbi tidak dapat menahan segala rasa yang mengganjalnya akhir-akhir ini. Hatinya terpukul bilahan luka, lagi dan lagi.

Bersandar pun pada siapa. Nyatanya Jungkook terlebih dulu menampar pada sebuah rasa akan pahit. Hembusan napas kasar terlalu menghantar perihan duka. Semuanya membusuk secara perlahan, api membakar lahan pada haluan yang menginginkan kembalinya sebuah dominan. Sejenis apakah Jeon Jungkook sebenarnya? Ya, seperti inilah. Seorang lelaki keturunan keluarga Jeon yang semaruknya menikahi dua orang wanita dengan tabiatnya yang berbeda.

"Kau tidak tahu alasanku menyetujui keputusan sepihakmu, Ahn Seulbi," serunya sendu.

Linangan pada percikan air mata kian bergerumul untuk segera meluncur. Mendongak menatap atapan putih di atas sana, Seulbi melakukannya guna menghambat liquid pesakitan—menampilkan bentukan sebuah hati yang kembali rapuh.

"Tidak. Aku tidak sebaik itu untuk kembali mendengarkan alasan ringanmu. Sekarang, kumohon dengan teramat dalam, kau bisa mening—"

"Aku mencintaimu. Hanya itu alasanku. Terdengar ringan dan sepele, bukan? Terputus sebuah status, bukan berarti terputusnya pula jalan untuk memperbaiki semuanya dari awal. Itu yang aku teguhkan. Kau berhak bahagia, Bi. Jadi, kali ini biar aku yang berjuang dengan tertatih sekalipun untuk kembali mendapatkan apa yang menjadi milikku sedari awal, Ahn Seulbi."

Jungkook berucap dengan kilatan sebuah sorot yang mendukung penuh seonggokan hati. Pemuda itu terkadang mengolok diri tatkala seringakali ia berpikir singkat akan sebuah hal. Barangkali Jungkook bermain pecut dengaan sebuah ego yang kembali pula menghantarkan decihan hina akan ledekan angan yang jauh lebih dulu ia terima.

Benar-benar tolol, pikirnya.

Percakapan tanpa ada kecapan manis dengan Jungkook, memang terlalu sering Seulbi cicipi. Kendati olokkan yang terucap seakan sudah menjadi asupan makanan pahit setiap hari, jika mengingat perihnya seretan luka yang ia hadapi lampauan lalu.

Ada beberapa pikiran berkecamuk yang selalu timbul tatkala renungan hampa yang menghinggapnya di malam hari sebelum tidur. Gelisah jika Jungkook akan kembali menjeratnya, pun gelisah tatkala irisnya menangkap seorang yang teramat enggan untuk kembali ia temui. Perasaan jijik terkadang mengerut menjadi satu.

Dengan surai yang sedikitnya menutupi pelipis, Seulbi menarik napas sekejap sebelum menimpal pelan, "Aku membutuhkan waktu. Jika kau memang ingin berjuang, silahkan. Aku akan melihatmu darimana tempat aku berpijak, Tuan Jeon."

Entah keterlaluan atau tidak. Nyatanya Seulbi berucap seakan abai, pun bergegas berbalik dengan kepalan tangan—menahan kuat agar air matanya tidak terjatuh meringis, tepat di hadapan mantan suaminya. []

ᴅᴇᴄᴇɪᴛꜰᴜʟ; ᴊᴊᴋ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang