...
Desakan detikan jarum jam lugas menjadi tuntutan perkara akan sebuah tabir yang masih terbilang awam. Mengayak kegelisahan tatkala iris itu menatap penuh diskriminasi pada sebuah manik yang tidak mampu berkilah untuk melawan. Ragu-ragu hanya untuk mengangkat dagu, aku hanya terdiam seraya memandang kosong ke arah marmer selepas Jungkook meminta untuk berbicara secara awas padaku.
"Mataku masih cukup jeli jika mengharuskan melihatmu siang itu-lebih tepatnya dua hari yang lalu. Dan, pergi ke mana saja kau akhir-akhir ini?" Jungkook mengawali sebuah lontaran dingin dengan sorot mata tak kalah tajam.
Menjadi budak pendiam tatkala berhadapan langsung dengan Jungkook merupakan sebuah perkara rumit ketika kedudukan jiwa lemah akan diri sendiri mulai menjunjung tinggi. Kebingungan seperti orang bodoh dengan ciutan nyali yang kian meluncur ke bawah.
Aku menghela napas sedikit layu, terdiam sesaat-meminta tenaga untuk sebuah balasan yang mangkuh membenteng diri. "Aku hanya bertemu dengan temanku, dua hari yang lalu. Dan pula, akhir-akhir ini aku hanya menghabiskan waktu di sini seorang diri."
Tempo waktu merangkak cukup lambat untuk segera memulai ke arah topik inti dari permasalahan. Kemungkinan besar pemuda itu akan dengan senang hati berkeinginan untuk membeberkan sebuah penjelasan. Aku menantikannya, amat sangat menantikan.
Jungkook berjalan mendekat dengan berbekal sebuah tampang angkuh yang mulai mendominasi. "Siapa?" ujarnya sedikit menyeringai penuh arti. "Kim Taehyung," tatapannya kian menghantam.
Mataku melebar akan keterkejutan yang sedikit tidak apik. "K-kau mengetahuinya? Bagaimana bisa ka-" ucapanku terpotong begitu saja ketika Jungkook berdecih sumbang tanpa nada.
"Kau pikir apa yang tidak kuketahui. Kau istriku dan aku suamimu, jika kau lupa."
Semua ucapannya benar, memancing akan perkara yang kembali siap untuk memanjang. Tubuhnya mulai menepis jarak, kepala dan leher itu merunduk ke depan agak condong.
"Seharusnya kau tahu batasanmu, Jeon Seulbi." Jungkook berbisik seolah mencantumkan sebuah ultimatum yang masih mengambang. Entah tertuju padaku, ataupula padanya, Kim Taehyung.
Lelaki itu memutar langkah tanpa meneruskan sebuah obrolan yang nyaris mencapai inti.
"Apa kau tidak ingin menjelaskan sesuatu?"
Aku pun menatapnya yang hampir mencapai gagang pintu. Tubuh itu sepenuhnya termangu dengan rahang menonjol sedikit mengeras.
Jungkook menolehkan kepalanya sekejap tanpa berniat kembali menatapku. "Tidak ada lagi yang perlu kujelaskan. Kupikir semuanya sudah sangat jelas."
Pemuda itu kembali mengayun langkahnya yang sempat terhenti. Membanting pintu-menimbulkan degum pekikkan yang tak pernah kuharapkan.
Dan aku tahu sekarang, aku hanyalah seorang wanita pengemis yang membutuhkan sebuah penjelasan akan pencocok di dalam suatu hubungan-entah berantah jalinan apa yang aku dapatkan seakan datang dengan begitu tiba-tiba. Ketahuilah bahwa terdapat satu hal tentang kehidupan, yaitu titik tertinggi dari sebuah kesetiaan adalah seberapa besar pihak tertentu memberanikan diri untuk berkorban demi kebahagian bersama.
•••
Satu timpuk bantalan sofa melayang begitu saja tanpa haluan. Hoseok melakukannya guna memberi pelajaran yang berbuah sia-sia ketika Jimin menangkis dengan lihai. Bukan sebuah lawakan pada acara lawas di televisi, dan bukan pula sebuah kontes stand up comedy yang merupakan jejeran para manusia akan bakat humoris yang melekat pada jati diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
ᴅᴇᴄᴇɪᴛꜰᴜʟ; ᴊᴊᴋ
FanfictionKetika semuanya berubah menjadi neraka, tidak ada seorangpun yang dapat menciptakan surga di antara kepungan hitam yang melanda. Started : 09 December 2018 Finished : 19 September 2019 ©Piperlight Tersedia E-book version Cover by pinterest